Minggu, 23 November 2008

Dakwah Salafiyah di Villani II (bag. 4)

7. Menghidupkan sunnah Rasulullah  dalam setiap permasalahan ibadah, suluk dan setiap aspek kehidupan, hingga para pelaksana as-Sunah dianggap sebagai kaum yang terasing ditengah-tengah komunitasnya.

Telah shahih diriwayatkan didalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi  bersabda,
"Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing. Dimana Islam akan bersembunyi diantara dua masjid sebagaimana seekor ular berada bersembunyi didalam sarangnya."
Dan pada lafazh hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau  bersabda, "Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing."[1]

8. Celaan terhadap fanatisme kepada selain Kalam Allah, kalam Rasul-Nya 

Allah ta'ala berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengedepankan –diri kalian- dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha mendenger lagi Maha mengetahui." (Al-Hujurat: 1)

Dan Allah ta'ala telah mencela segala bentuk taklid, dimana Allah ta'ala berfirman,

"Dan apabila dikatakan kepada mereka agar mereka mengikuti segala yang Allah turunkan –berupa wahyu-, mereka mengatakan, bahwa kali mengikuti segala yang kami dapati dari bapak-bapak kami. Tidakkah bapak-bapak mereka sama sekali tidak mengetahui sesuatupun juga dan mereka tidaklah mendapatkan hidayah." (al-Baqarah: 170)

Al-Hafidz Ibnu Rajab –Dari catatan kaki kitab Iqazhu Al-Himam hal. 93 -, beliau mengatakan, “Wajib bagi setiap oang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah  dan dia telah mengetahuinya, untuk menerangkannya kepada umat, menasihati mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti perintahnya, walaupun hal itu bertentangan dengan pendapat ulama yang diagungkan. Karena perintah Rasulullah  lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti dibanding pendapat ulama besar manapun yang menyalahi perintah beliau di dalam beberapa perkara, dimana pendapat ulama itu terkadang keliru. Dari sini terlihat betapa para sahabat dan generasi setelah mereka menolak setiap orang yang menyelisihi As-Sunnah yang shahih dan tidak jarang mereka berlaku keras dalam penolakan ini[2].
Hal itu bukan didasari rasa benci terhadap orang tersebut, melainkan dia seorang yang sangat dicintai dan diagungkan di dalam hati manusia. Akan tetapi, Rasulullah  lebih dicintai oleh mereka dan perintah beliau lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Dan hal ini tidak menghalangi mereka untuk memberikan penghormatan kepada seorang alim yang menyelisihi perintah beliau  , walaupun orang itu mendapat ampunan kelak…”

9. al-Amr bil-Makruf wan-Nahyu 'an al-Munkar.

Allah ta'ala berfirman,

"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dimunculkan kepada segenap kaum manusia, kalian mengajak mereka kepada perbuatan yang makruf dan melarang dari perbuatan yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah." (Ali-Imran: 110)

10. Menyanggah setiap penyelisih agama Allah dan Sunnah Rasulullah , baik muslim ataupun bukan, bagaimanapun kedudukan si penyelisih. Baik penyilisihan tersebut dikehendakinya atau tanpa kesengajaan.

Allah ta'ala berfirman:

"Wahai Nabi , mestilah engkau berjihad menghadapi orang-orang Kafir dan kaum Munafiq dan berlaku tegaslah kepada mereka."[3]


"Dan demikianlah Kami paparkan Ayat-ayat Kami agar menjadi jelas jalannya orang-orang yang berboat dosa." ( Al-An'am : 55 )
Dan dalam Muqaddimah Shahih Imam Muslim 1 / 12 , dari hadist Abu Hurairah , Nabi  bersabda, "Akan ada pada akhir ummatku segolongan manusia yang mengada-adakan sesuatu yang belumlah kalian pernah mendengarnya dan tidak juga bapak-bapak kalian, maka berhati-hatilah kalian dan mereka."
Dari Aisyah radhiallahu 'anha beliau berkata: Rasulullah  membacakan ayat ini:

"Dan Dialah – Allah – yang telah menrunkan kepadamu –Muhammad- Al-Qur`an, yang padanya terdapat ayat-ayat yang muhkam yang merupakan Ummul Kitab dan selainnya adalah ayat-ayat mutasyabih. Dan adapun orang-orang yang pada hati-hati mereka penyakit maka mereka akan mengikuti yang mutasyabih itu dari Al-Qur`an untum mendatanghkan fitnah dan mendatangkan penta'wilannya. Dan tiada yang mengetahui ta'wilnya selain Allah. Dan orang-orang yang memiliki keluasan ilmu mengatakan : kami beriman kepada nya , semuanya berasal dari sisi Rabb kami , dan tiadalah yang berpikir kecuali Ulul Albab." ( Ali Imran : 7 )
Telah ditanyakan kepada Imam Ahmad, "Seseorang yang mengerjakan puasa, mengerjakan shalat dan i'tikaf apakah lebih anda senangi dari pada seseorang yang berbicaran –mengkritik- pelaku bid'ah?" Maka beliau menjawab, "Apabila seseorang mengerjakan shalat dan i'tikaf, maka hanya untuk dirinya sendiri, sementara seseorang yang berbicara mengkritik pelaku bid'ah adalah bagi kaum muslimin, dan yang ini lebih utama."[4]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Seseorang yang membantah ahlul bid'ah adalah seorang mujahid."[5]

11. Membedakan antara kesalahan yang berasal dari seorang Ahlus-Sunnah dan kesalahan dari seorang da'i ahlil-bid'ah.

Dimana kesalahan dari seorang ulama Ahlis-Sunnah yang menegakkan asal dakwah mereka pada manhaj Ahlus-Sunnah adalah berasal dari ijtihad yang akan mendapat satu kebaikan sementara kesalahan mereka sendiri tertolak. Berbeda dengan ahlil-Bid'ah dimana asal muara ushul/dasar pondasi mereka tegak diatas manhaj yang menyelisihi manhaj Ahlus-Sunnah.
Imam asy-Syathibi mengatakan, "Seseorang yang dinisbatkan kepada bid'ah tidak terlepas dari keberadaannya sebagai seorang mujtahid ataukah seorang muqallid.
Lalu beliau berkata, kelompok yang pertama terbagi dua golongan:
Pertama, kedudukannya sebagai seorang mujtahid benar adanya. Hingga bid'ah yang terdapat darinya tidak terjadi kecuali terjadi dengan tanpa disengaja dan pengaruh dari luar bukan dari dzatnya langsung. Dan bid'ah tersebut dinamakan sebagai suatu kekeliruan dan ketergelinciran. Karena pelakunya tidaklah memaksudkan dengan pengikutannya kepada hal-hal yang mutasyabih (samar-samar) untuk menebar fitnah dan penafsiran Kitabullah –menyelisihi kandungan sebenarnya-.Yakni tidaklah dia menghendaki pengikutan pada haa nafsu dan sebagai suatu kesengajaan. Hal yang menunjukkan akan hal tersebut, apabila tampa kebenaran baginya, maka diapun tunduk pada kebenaran tersebut.
Kedua, adapun yang tidak tepat dengan berpedoman pada tolak ukur keilmuan sebagai bagian dari ulama mujtahid. Dimana dia dengan bebasnya beranalogi dengan segala sesuatu yang menyelisihi syariat, seperti yang telahdikemukakan sebelumnya. Dimana telah terkumpul padanya kebodohan akan kaidah-kaidah syara' dan hawa nafsu yang mendorongnya pada asalnya, dan hal tersebut hanya sebagai dampak ikutan."[6]

12. Beribadah kepada Allah dengan ketaatan kepada Pemerintah serta tidak mengadakan pemberontakan terhadapnya. Dan mengajak mereka kepada kebaikan dan saling kerjasama serta saling menasihati dengan penuh kejujuran.

Allah ta'ala berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada para pemimpin diantara kalian." (an-Nisa`: 59)
Dan Nabi  bersabda, "Barang siapa yang telah membai'at seorang imam, lalu dia menyerahkan perjanjian dan ketundukan hatinya maka dia harus mentaatinya semampunya.Jika datang seorang yang menentang imam tersebut, maka kalian penggallah leher –imam- yang lainnya."[7]

13. Hikmah dalam Dakwah ilallah

Allah ta'ala befirman,

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Ali Imran: 159)
Dan Rasulullah  bersabda, "Sesunguhnya kelemah lembutan pada sesuatu tidaklah kecuali akan menghiasinya dan tidaklah kelemah lembutan tersebut terangkat dari sesuatu kecuali akan menjadikannya aib."
Dan demikian juga dari banyak contoh teladan Rasulullah  dalam dakwah ilallah, dimana beliau  mengiringkan kelemah lembutan, kesantunan, ucapan yang tegas namun bil-hikmah serta akhlak yang mulia dalam interaksi dakwah, menunjukkan keutamaan hikmah dalam dakwah ilallah.

14. Memberikan perhatian pada ilmu syara' yang berdasarkan pada al-Qur`an, as-Sunnah dan atsar-atsar Salaful Ummah, menuntut ilmu tersebut lalu mengamalkannya.

Allah ta'ala berfirman,

"Ketahuilah bahwa tiada Ilah yang hak selain Allah dan mintalah ampunan akan dosamu." (Muhammad: 19)
Dan dari Ali bin Abi Thalib a dan 'Abdullah bin Mas'ud a keduanya mengatakan, "Tidak akan bermanfaat suatu perkataan tanpa diiringi dengan amal, dan tidak akan bermanfaat suatu amalan tanpa perkataan dan tidak akan bermanfaat perkataan dan amalan tanpa diiringi dengan niat, dan tidak lah berarti suatu niat tanpa keselarasan dengan sunnah."[8]

15. Kesungguhan untuk mengadakan at-tashfiyah yang menyeluruh dan at-tarbiyah diatas pundasi at-tashfiyah ini.

Yaitu dengan mengembalikan pemurnian pemahaman dan ushul Dakwah ilallah kepada al-Qur`an, as-Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama as-Salaf. Makna at-tashfiyah adalah pemurnian Islam kembali kepada Islam dari segala sesuatu yang bukan bagian dari Islam, baik dalam aqidah, hukum dan akhlak, sehingga Islam kembali bersir cemerlang seperti pada pakaian Risalah Nubuwwah yang diturunkan kepada Muhammad . Sedangkan at-tarbiyah adalah, pencapaian diri manusia pada kesempurnaan yang sepadan sedikit demi sedikit.
At-tashfiyah (pemurnian) pada al-manhaj al-'ilmi dan juga al-manhaj al-'amali, dari setiap penyimpangan dan penyelisihan atas manhaj as-Salaf disertai dengan at-tarbiyah (pendidikan/pengajaran) ar-rabbaniyah. Nabi  sendiri adalah peletak dasar at-tashfiyah dan at-tarbiyah ar-rabbaniyah ini, Allah ta'ala berfirman,

"Dan Dialah yang telah mengutus pada kaum yang ummi, seorang rasul dari mereka. –Rasul itu- membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, membersihkan hati mereka dan mengajarkan mereka al-Kitab dan hikmah, walau mereka sebelumnya berada pada kesesatan yang nyata." (al-Jumu'ah: 2)
Dan sepeninggal beliau  yang melanjutkan kewajiban at-tashfiyah dan at-tarbiyah adalah para ulama dan thalabul ilmi, firman Allah ta'ala,

"Akan tetapi kalian jadilah para Rabbaniyyin, dimana kalian mengajarkan kaum manusia al-Kitab dan disebabkan kalian terus mempelajarinya." (Ali Imran: 79)
Dan manhaj at-tashfiyah dan at-tarbiyah ini adalah suatu yang harus selalu menyertai dakwah Salafiyah, dan sebagai suatu keharusan dalam manhaj ad-Dakwah, asy-Syaikh al-'Allamah Nashiruddin al-Albani mengatakan, "Dan menjadi keharusan untuk memulai dengan at-tashfiyah dan at-tarbiyah. Dan setiap gerakan apapun yang tidak ditegakkan dengan pundasi ini maka tidak ada faedah sama sekali pada gerakan tersebut secara mutlak."[9]

(Bersambung)


[1] Muslim 1/130-131
[2] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Walaupun yang mereka selisihi adalah orang tua dan ulama-ulama mereka. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ath-Thahawi didalam Syarah Ma’ani Al-Atsar (1/372), dengan sanad yang kesemua perawinya tsiqah, dari Salim bin Abdullah bin Umar, ia berkata: “Suatu ketika saya duduk bersama Ibnu Umar dimasjid. Tiba-tiba datang kehadapan beliau seorang penduduk Syam, lalu bertanya kepadanya tentang haji tamattu’, di dalam Umrah ke Haji.
Ibnu Umar berkata: “Itu adalah amalan yang baik lagi bagus.”
Laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya bapakmu pernah melarangnya.”
Ibnu Umar berkata: “Celaka engkau ! walaupun bapakku melarangnya, namun Nabi r telah melakukannya dan memerintahkannya. Apakah engkau akan mengambil pendapat bapakku atau perintah Rasulullah r ?!”
Laki-laki itu menjawab: “Dengan perintah Rasulullah r .”
Ibnu Umar berkata: “Pergilah diriku.”
Ahmad meriwayatkan semisalnya (no.5700), At-Tirmidzi (2/82-At-Tuhfah) dan beliau menshahihkannya.
[3] At-Tahrim : 9
[4] Majmu' al-Fatawa 28/231.
[5] Majmu' Al-Fatawa 4 / 13
[6] Al-I'tisham 1/193-194.
[7] HR. Muslim, Kitab al-Imarah 3/1473.
[8] Dikeluarkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari'ah hal. 131, Al-Laalikai dalam Syarh I'tiqad 1 / 57 dari perkataan Al-Hasan Al-Bashri dan Sa'id bin Jubair , dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 9 dari Sufyan Ats-Tsauri.
[9] Lihat al-Bashair hal. 118