Senin, 29 Desember 2008

Fiqh an-Nisa -asy-Syaikh al-Albani

Najisnya Darah Haid (bag. 2)

299- إذا أصاب ثوب إحداكن الدم من الحيضة فلتقرصه ثم لتنضحه بالماء (وفي رواية : ثم اقرصيه بماء ثم انضحي في سائره) ثم لتسلي فيه
“Jika pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid, hendaklah ia menguceknya dan mencucinya dengan air (dalam riwayat lain : kuceklah ia dengan air kemudian basahilah seluruhnya) lalu shalatlah dengan baju itu.” (Ash-Shahihah)

Asy Syaikh al-Albani rahimahullah berkata,
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik (1/79), al-Bukhari (1/325), Muslim (1/166), Abu Dawud ( juz 3 no. 386 - termasuk dalam shahih Abu Dawud), dan al-Baihaqi (1/13), semuanya berasal dari Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fatimah binti al-Mundzir bin az-Zubair dari Asma’ binti Abu Bakr as-Shiddiq, bahwasanya beliau berkata, “Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah , “Apa pendapat anda jika salah seorang dari kami bajunya terkena darah haid, apa yang harus dilakukannya ?” Maka Rasulullah  bersabda, …. al-hadits."
Terdapat mutaba'ah pada hadits ini dari Yahya bin Said dari Hisyam, yang mana sanad ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/264), Muslim dan al-Baihaqi (2/406) dan Ahmad (6/346,353)
Juga mutaba'ah dari Hammad bin Salamah dari Hisyam dengan tambahan, وانضحي ما حوله"“(Dan basuhlah/cucilah yang ada disekelilingnya).
Riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 387), an-Nasa`i (1/69), Abu Dawud, ath-Thayalisi (1638) dan tambahan ini berasal darinya, Sedangkan Abu Dawud menyebutkan makna dari lafazh tambahan tersebut.
Saya mengatakan: Dan sanadnya berdasarkan syarat Imam Muslim. Dan terdapat mutaba'ah dari riwayat Waki’ dari Hisyam.
Diriwayatkan oleh Muslim. Dengan mutaba'ah dari riwayat Yahya bin Abdillah bin Salim dan Amru bin al-Harits.
Diriwayatkan juga oleh Muslim dan al-Baihaqi. Dengan mutaba'ah dari riwayat Isa bin Yunus dari Hisyam.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Dengan mutaba'ah dari riwayat Abu Khalid al-Ahmar meriwayatkan hadits ini dari Hisyam.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah (1/217) beliau mengatakan Abu Bakr bin Abi Syaibah menceritakan kedapa kami, dia mengatakan bahwa Khalid al-Ahmar menceritakan kepada kami, …al-hadits. Dan lafadznya, "اقرضيه واغسليه وصلي فيه" (kuceklah bajunya, cuci dan shalatlah dengannya).
Terdapat mutaba'ah dari riwayat Abu Mu’awiyah, beliau mengatakan, Hisyam telah menceritakan kepada kami hadits ini.
Sanadnya diriwayatkan oleh Ahmad (6/345 & 353)
Juga terdapat mutaba'ah dari riwayat Sufyan bin Uyainah dari Hisyam, hanya saja lafazh haditsnya, "اقرضيه بالماء ثم رشيه" (kuceklah ia dengan air lalu siramlah)
Hadits dengan lafazh di atas diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1/254-255), ad-Darimi (1/239), as-Syafi`i dalam “al-Umm” (1/58) dan al-Baihaqi (1/2013/406).
At-Tirmidzi berkata: “Dalam bab ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ummu Qais binti Mihshan,"
Beliau berkata, “Hadits Asma’ adalah hadits hasan shahih” .

Untuk diperhatikan :
Semua perawi ini telah sepakat dengan riwayat dari Hisyam bin Urwah yang tidak menyebutkan nama wanita yang bertanya, kecuali Sufyan bin Uyainah dalam riwayat asy-Syafi’i dan Amru bin 'Aun dalam riwayat ad-Darimi. Mereka berdua sama-sama meriwayatkan bahwa Sufyan bin Uyainah berkata, “Dari Asma, dia berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah…”
Keduanya menjadikan Asma’, yang merupakan perawi hadits, sebagai wanita penanya.
Al-Humaidi dalam riwayat al-Baihaqi menyelisihi mereka berdua dalam hal ini. Demikian pula Ibnu Abi Umar dalam riwayat at-Tirmidzi. Keduanya mengatakan dari Sufyan bin Uyainah seperti apa yang telah diriwayatkan oleh kebanyakan perawi. Dan tidak diragukan lagi bahwa inilah riwayat yang mahfuzh.
Adapun riwayat asy-Syafi’i dan Ibnu ‘Aun adalah riwayat yang syadz karena menyelisihi riwayat mayoritas ulama dari Hisyam, riwayat al Humaidi dan Ibnu Abi Umar dari Sufyan. Karena itu an-Nawawi mendha'ifkannya dan beliau benar dalam hal ini. Hanya saja beliau tidak merinci sebabnya sehingga menimbulkan keraguan yang tidak diharapkan. Sehingga al-Hafizh mengkritik an-Nawawi dalam “al-Fath”. Setelah menyebutkan riwayat asy-Syafi-i ini, beliau berkata (1/264), “Dan an-Nawawi menyendiri dalam hal ini, Beliau mendha'ifkannya tanpa dalil, padahal hadits ini shahih sanadnya dan tanpa adanya illat. Dan tidak seharusnya seorang perawi meragukan namanya sendiri, seperti yang akan disebutkan dalam hadits Abu Said tentang ruqyah dengan Fatihatul Kitab”.
Dan beliau pun berkata dalam “At-Talkhish” (13),
“Perhatian: an-Nawawi dalam “Syarhul Muhadadzab“ menegaskan bahwa asy-Syafi’i meriwayatkan dalam “al-Umm” bahwasanya sanad yang menyebutkan Asma’ sebagai penanya adalah dha'if. Ini tidak benar, bahkan sanadnya sah. Seakan-akan an-Nawawi mengaitkan sanadnya dengan Ibnu Shalah. Bahkan sebagian besar ahli hadits menganggap orang yang menyanggah “Al Muhadzadzab” telah keliru, padahal justru merekalah yang keliru.”
Saya mengatakan, “Sama sekali tidak benar. Bahkan merekalah yang benar dan al-Hafizh telah keliru, meskipun keyakinan beliau ini didasarkan pada kekuatan hafalan asy-Syafi’i dan memang demikian adanya. Namun riwayat jamaah lebih akurat dan lebih terjaga.
Mungkin dapat dikatakan bahwa kekeliruan bukanlah dari asy-Syafi’i, akan tetapi dari Ibnu Uyainah sendiri. Dengan dalil, bahwa kedua riwayat hadits ini sama-sama berasal dari Uyainah, yaitu riwayat yang disepakati oleh jamaah (mayoritas perawi hadits tersebut) dan riwayat yang menyelisihinya. Lalu asy-Syafii meriwayatkan hadits ini dan juga riwayat yang kedua. Sedangkan al-Humaidi meriwayatkan hadits tersebut bersama lainnya sesuai dengan riwayat al-Jamaah. Riwayat inilah yang lebih utama dan lebih otentik, sedangkan yang menyelisihinya adalah riwayat dengan illat syadz. Meskipun al-Hafidz telah mengumpulkan banyak riwayat dari Hisyam, seperti yang kami lakukan, namun beliau tidak menyanggah an-Nawawi dan yang sependapat dengannya, bahkan beliau turut menyepakati mereka dalam menyalahkan riwayat hadist ini.
Sesungguhnya kema’suman hanya milik Allah.
Adapun ucapan beliau “dan tidak seharusnya seorang rawi meragukan …” maka ini benar, akan tetapi ucapan itu tidak menjadikan sebuah riwayat yang didalamnya terdapat penyebutan nama menjadi syadz seperti yang ada pada hadits ini.
Yang menguatkan hal tersebut bahwa Muhammad bin Ishaq menjadi mutaba'ah bagi Hisyam dalam riwayatnya, ia berkata, Fatimah binti Al Mundzir menceritakan kepadaku dari Asma’ binti Abu Bakar, Ia berkata,
“Aku telah mendengar seorang wanita sedang bertanya kepada Rasulullah  bagaimana ia membersihkan bajunya dari darah haid bila ia telah suci. Maka Rasulullah  bersabda,
إن رأيت فيه دما فحكيه, ثم اقرضيه بماء, ثم انضحي في سائره فصلي فيه
“Jika engkau melihat ada darah di baju itu, maka keriklah lalu kuceklah dengan air dan basahilah seluruh pakaian itu, kemudian shalatlah dengannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (385), ad-Darimi (1/239) kontek lafazh hadits ini pada riwayatnya dan al-Baihaqi (2/406). Sanad haditsnya hasan dan ucapan Asma’ “Aku telah mendengar seorang wanita”, sudah secara jelas menunjukkan bahwa dialah yang mendengar dan bukan yang bertanya.

Untuk diperhatikan :
Dalam riwayat ini ada tambahan: ثم انضحي في سائره"“. Ini adalah tambahan yang penting. Karena menjelaskan lafazh "ثم لتنضه" pada riwayat Hisyam, yaitu bahwa yang dimaksud bukan hanya menyiram bagian yang terkena darah haid saja, namun juga seluruh pakaiannya.
Hal ini dipertegas oleh hadits Aisyah ketika beliau berkata,
كانت إحدانا تحيض ثم نقرص الدم من ثوبها عند طهرها فتغسله وتنضه على سائره, ثم تصلي فيه.
“Ketika salah seorang dari kami haid, ia akan mengucek area yang terkena darah dibajunya jika telah suci, lalu mencucinya dan menyirami seluruh pakaiannya, kemudian ia shalat dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/326), Ibnu Majah (1/217) dan al- Baihaqi (2/406-407)
Lafazh hadits ini menyebutkan apa yang sudah disebutkan oleh hadits sebelumnya. Yaitu bahwa air saja sudah cukup untuk mencuci darah haid, dan tidak mesti menggunakan zat pembersih untuk menghilangkan bekasnya, seperti sabun atau daun bidara. Hanya saja ada dalili yang menunjukkan wajibnya menggunakan pembersih, seperti hadits berikut ini:


300- حكيه بضلع واغسليه بماء وسدر
“Keriklah dengan memakai kayu gaharu dan cucilah dengan air dan daun bidara” (Ash-Shahihah)
Berkata al-Albani rahimahullah :
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/41, dengan syarah Aunul Ma’bud), an-Nasa`i (1/69), ad-Darimi (1/239), Ibnu Majah (1/217), Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya (235), al-Baihaqi (2/407), Ahmad (6/355,356) dari banyak jalur dari Sufyan, dia mengatakan bahwa Tsabit al-Haddad telah menceritakan kepadaku, dia mengatakan bahwa Adi bin Dinar menceritakan kepada kami, dia berkata, saya mendengar Ummu Qais binti Mihshan berkata,
“Saya bertanya kepada  tentang darah haid yang terkena pakaian, maka Beliau  bersabda, " … ” al-hadits.
Saya berkata: Sanad hadits ini shahih dan semua perawinya adalah perawi yang tsiqah. Meskipun pada diri Tsabit al-Haddad, dia adalah Ibnu Hurmuz al-Kuufi maula Bakr bin Wa’il, ada sedikit perselisihan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu al-Madini dan yang lainnya menganggapnya tsiqah, sedangkan sebagian yang lain mempermasalahkannya tanpa alasan. Dalam “At-Taqriib” disebutkan : “Dia perawi shaduq dan sering melakukan kekeliruan.”
Sepertinya, inilah sebab mengapa al-Hafizh tidak menganggap sanadnya shahih, karena beliau berkata dalam “al-Fath” (1/266) : “sanadnya hasan.” Beliau berkomentar dalam “at-Tahdziib”, “Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan haditsnya tentang haid dalam dalam kitab shahih mereka. Dan Ibnu al-Qaththan menshahihkannya lalu berkata, “Aku tidak mendapati adanya cacat dalam hadits ini. Tsabit perawi yang tsiqah. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menganggapnya dha'if selain ad-Daraquthni”.
Tentang dishahihkannya hadits ini oleh Ibnul Qaththan dinukil dalam “At-Talkhish” (Hal.12-13). Dan beliau benar dalam hal ini.

Untuk diperhatikan :
Lafazh "بضلع" tertulis demikian pada setiap yang meriwayatkan hadits ini, yaitu dengan huruf adh-dhaad dengan harakat kasrah, dan huruf al-laam dengan harakat fathah dan harakat kasrah. Maknanya adalah al-'uud (kayu cendana).
Akan tetapi al-Hafizh dalam “at-Talkhish” (13) mengatakan, "Ibnu Daqiiqil ‘Iid menuliskan huruf adh-dhaad dengan harakat fathah dan huruf al-laam yang sukun setelahnya huruh al-'ain. Maknya adalah al-hajar (batu). Beliau berkata, “Pada beberapa tempat, dengan harakat kasrah pada huruf adh-dhaad dan fathah pada huruf al-laam. Mungkin ini hanya salah penulisan saja, karena tidak terkandung adanya makna pengkhususan adh-dhil'u (yaitu yang bermakna al-'uud) dengan keterangan itu." Demikian yang beliau katakan.
Akan tetapi ash-Shaghaani dalam “Al-‘Ibab” pada bab. dha-la-'a memberi penjelasan, “Dan di dalam hadits disebutkan, حتيه بضلع (Garuklah dengan kayu cendana)”
Ibnul 'Araby berkata, adh-dhal'u disini maksudnya adalah kayu cnedanya yang melengkung."
Demikian pula disebutkan oleh al-Azhari ketika menyebutkan kata yang sama, dan beliau menambahkan dari perkataan al-Laits, “Asal katanya adalah dhal'u al-haiwaan (tulang rusuk hewan),kemudian dipergunakan untuk kata al-'uud yang menyerupainya."


Fiqih Hadits
Dari beberapa hadits ini, kita dapat mengambil banyak hukum. yang terpenting diantaranya adalah :
Pertama :
Najis dapat dihilangkan dengan air dan bukan dengan zat cair lain. Karena darah haid sama kedudukan dengan semua jenis najis, tidak ada bedanya satu sama lain, sesuai dengan konsensus ulama. Pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama. Adapun Abu Hanifah berpendapat bolehnya mensucikan najis dengan zat cair yang suci.
Asy Syaukani (1/35) berkata, “Pendapat yang benar adalah bahwa air merupakan asal dalam bersuci. Karena al-Qur`an dan as-Sunnah telah mensifatinya dengan sifat yang mutlak sebagai pembersih dan yang mensucikan tanpa batasan.
Akan tetapi perkataan yang membatasi dan menniadakan penggunaan bahan cair selain air terbantah dengan hadits mengusap sandal/sepatu dan hadits tentang menggosok mani yang menempel di baju, juga tentang hadits menghilangkan mani dengan alat pengerik, serta hadits yang semisalnya banyak jumlahnya.
Pendapat pertengahan dalam masalah ini, yaitu hendaknya setiap jenis najis yang tercantum dalam nash al-Qur’an ataupun hadits, dibersihkan dengan pembersih yang memang sudah ditetapkan oleh nash tersebut.
Namun jika najis tersebut telah ditetapkan harus disucikan dengan air, maka tidak boleh menggantinya dengan zat cair selain air. Karena air memilki kelebihan/keistimewaan yang tidak dimiliki oleh zat cair lain.
Akan tetapi jika dianjurkan untuk bersuci dengan selain air, maka boleh menggantinya dengan air.
Adapun jika yang tertera dalam syara’ hanya perintah mutlak untuk bersuci, tanpa menyebutkan alat pembersihnya dari salah satu zat-zat pembersih melainkan hanya sebatas perintah yang mutlak untuk membersihkan najis, maka yang harus digunakan cukup air saja, karena dengan begitu akan terimplikasikan keteladanan dalam beramal dengan suatu yang yakin dan tidak terdapat keragu-raguan. Inilah jalan pertengahan antara dua pedapat yang tidak ada dalil untuk menghindar dari menitinya.
Saya mengatakan, inilah analisa yang tepat, maka pegang teguhlah.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa membersihkan darah haid tidak dibolehkan dengan selain air adalah sabda Nabi  dalam hadits yang kedua, يكفيك الماء. yang dapat dipahami dari hadits ini adalahbahwa selain air tidak dapat mencukupi pembersihannya. Maka perhatikanlah baik-baik hal ini.

Minggu, 28 Desember 2008

Fiqh an-Nisa - asy-Syaikh al-Albani

“ Najisnya Darah Haid”

298- يكفيك الماء ولا يضرك أثره
“ Air sudah cukup bagimu dan bekas-bekasnya bukanlah masalah untukmu”. ( Ash-Shahihah)

Syekh al-Albani rahimahullah berkata :
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/147-142 - dengan syarah Al-’Aun) dan Ahmad (2/38), keduanya berkata,
Qutaibah bin Said mengkhabarkan kepada kami, dia mengatakan bahwa Ibnu Lahii’ah memberitakan kepada kami dari Yazid bin Abi Habib dari ‘Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah, beliau berkata,
“Khaulah binti Yasar mendatangi Nabi  dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya hanya punya satu baju dan dipakai pula pada waktu haid, maka apa yang harus saya lakukan?” Beliau  bersabda, “Jika engkau telah suci, maka cucilah baju itu dan pakailah untuk shalat”. Khaulah bertanya lagi, “Kalau darahnya tidak keluar ?” Beliau lalu bersabda dengan hadits diatas”.

Hadits ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam “As-Sunan” (2:408) dari jalan Utsman bin Shalih, dia berkata bahwa Ibnu Lahi’ah telah memberitakan kami, dia mengatakan bahwa Yazid bin Abi Habib telah memberitakan kepadaku hadits ini. Dan keduanya mendapatkan mutaba'ah dari Abdullah bin Wahb, beliau berkata, “Ibnu Lahi’ah telah mengabarkan kepada kami hadits ini”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan juga Abul Hasan al-Qashshar dalam “Haditsuhu ‘an Ibni Abi Hatim” (2/2) dan Ibnul Himshi ash-Shufi dalam “Muntakhab min Masmu’atihi” (33/1) dan Ibnu Mandah dalam “Al Ma’rifah" (2/231/2).
Al-Baihaqi mengatakan sanadnya dha'if, “Ibnu Lahi’ah menyendiri dalam meriwayatkannya”

Saya berkata: Dan Ibnul Mulaqqin mengatakan dalam “Khulashatul Ibriiz linnabiih, Hafizhu Adiillatit Tanbiih” (lemb.1/266), “Mereka menganggapnya dha'if (lemah), tapi yang lainnya menganggapnya tsiqah (dapat dipercaya)”.
Al-Hafizh berkata dalam “Fathul Baari” (1/266), “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lain, dan didalam sanadnya terdapat perawi yang dha'if, namun hadits tersebut memiliki syahid penguat yang mursal”
Penulis “Aunul Ma’bud “ juga telah menukil hal ini dan mengukuhkannya (1/141-142).
Dan al-Hafizh mengatakan dalam “Bulughul Maram”, “Hadits ini telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan sanadnya dha'if”.
Berkata ash-Shan’ani dalam “Syarhu Bulughil Maram” (1/55) mengikuti acuan kitab asal yaitu “Badru at Tamam” (1/29/1), “Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi namun didalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah”.

Banyak dari para ulama ini yang mengikuti ucapan al-Hafizh dan menisbatkannya kepada at-Tirmidzi. Diantara mereka termasuk Siddiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” (1/17). Sebelum beliaa asy- Syaukani dalam “Nailul Authar,” beliau berkata (1/35), “Haditsnya diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Baihaqi dari dua jalur periwayatan dari Khaulah binti Yasar dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah.”
Demikian juga disebutkan oleh al-Hafizh dalam “At-Talkhish” (13), akan tetapi beliau tidak mengikutkan at-Tirmidzi dan Ahmad.

Saya katakan: dalam ucapan mereka semua (para ulama yang terhormat) ini mengandung beberapa kekeliruan yang tidak dapat diabaikan, maka saya mengatakan :
Pertama :
Penisbatan hadits tersebut pada riwayat dari at-Tirmidzi adalah kekeliruan mutlak. Karena sebenarnya at-Tirmidzi tidaklah menriwayatkan hadits ini secara langsung. Beliau hanya mengisyaratkan akan hadits tersebut pada akhir hadits Asma` berikut ni, dengan mengatakan,
“Dan dalam bab ini dari Abu Hurairah dan Ummu Qais binti Mihshan”.
Karena itu, ketika Ibnu Sayyidin-Naas memulai takhrij hadits ini, sebagaimana kebiasaan beliau apabila mentakhrij hadits-hadits dari at-Tirmidzi yang mu’allaqah, beliau tidak menambah dari ucapanbeliau, “Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad”. Beliau tidak menisbatkan hadits tersebut pada satupun tempat didalam kitab “Sunannya”, bahkan tidak pula didalam kitab-kitab beliau –at-Tirmdzi- yang lain. Demikian juga yang dilakukan oleh al-Mubarakfuri dalam penjelasannya tentang hadits tersebut. Hanya saja Beliau melakukan kekeliruan yang lain ketika ia mengatakan (1/28), “Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibnu Majah”

Kedua :
Memutlakkan kedha'ifan Ibnu Lahi’ah dan sanad haditsnya ini tidaklah benar. Karena sudah menjadi ketetapan para Imam hadits bahwasanya beliau adalah orang yang tsiqah, akan tetapi buruk hafalannya. Beliau membacakan hadits dari kitab-kitabnya. Dan ketika kitab-kitabnya terbakar, beliau meriwayatkan hadits dari hafalannya sehingga sering melakukan kesalahan. Sebagian Imam hadits menerangkan bahwa haditsnya shahih jika diriwayatkan dari salah satu tiga perawi yang bernama Abdullah yaitu : Abdullah bin Wahb, Abdullah bin al-Mubarak, dan Abdullah bin Yazid al-Muqri’.
Al-Hafizh Abdul Ghani bin Said al-Azdi berkata. “Jika para Abdullah ini meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah maka haditsnya shahih : Ibnul Mubarak, Ibnu Wahab dan al-Muqri’.”
As-Saajiy dan yang lainnya juga mengatakan hal yang sama.
Selain itu juga ada ucapan Nu'aim bin Hammad, Saya mendengar Ibnu Mahdi berkata, “Aku tidak menganggap apapun yang aku dengar dari Ibnu Lahi’ah kecuali dari hadits yang didengar oleh Ibnul Mubarak dan yang serupa dengannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar pun telah mengisyaratkan hal ini dalam “At Taqrib” , “Ia perawi shaduq, haditsnya menjadi tercampur baur setelah buku-buku beliau terbakar. Dan riwayat Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahb yang berasal darinya lebih lurus daripada riwayat perawi lainnya”.
Dan jika anda telah mengetahui semua hal ini, maka akan jelaslah bagi anda bahwa hadits ini shahih. Karena telah diriwayatkan oleh salah satu dari tiga perawi yang bernama Abdullah yaitu Abdullah bin Wahb, berdasarkan riwayat al-Baihaqi dan yang lainnya, seperti sudah disebutkan sebelumnya. Riwayat ini harus dibedakan dengan jalan periwayatan Abu Dawud dan yang lainnya dari Abu Lahi’ah, karena riwayat beliau berasal dari jalur yang dha'if.
Inilah penelitian seksama yang berasal dari penelitian para Imam ahli hadits dalam penjelasan tentang kondisi para periwayat hadits berdasarkan ilmu al-jarh wat-ta’dil (Studi kritis perawi hadits). Wabillahit Taufiq.

Ketiga :
Sesungguhnya ucapan asy-Syaukani, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi melalui dua jalan dari Khaulah binti Yasar, dan dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah” juga keliru. Karena riwayat ini bukanlah pada hadits dari jalur periwayatan mereka kecuali dari jalan yang sudah disebutkan sebelumnya. yaitu dari Ibnu Lahi’ah dari Yazid bin Abi Habib dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah bahwasanya khaulah binti Yasar …
Jalur riwayat ini berhenti sampai Abu Hurairah saja tidak sampai ke Khaulah, dan yang meriwayatkan dari Abu Hurairah adalah Isa bin Thalhah, tidak selainnya.
Memang benar Ibnu Lahi’ah juga meriwayatkannya dalam sanad yang lain pada Syaikh beliau,, dia berkata dalam riwayat Musa bin Dawud adh-Dhabbiy, bahwa Beliau mengatakan, ibnu Lahi'ah menceitakan kepada kami dari Ubaidullah bin Abu Ja’far dari Isa bin Thalhah." Diriwayatkan oleh Ahmad (2/344).
Sanad ini jika benar, Ibnu Lahi’ah telah menghafalnya dari jalur lain yang berasal dari Isa bin Thalhah. Jika tidak, maka sanad ini termasuk salah satu kekeliruannya, karena riwayatnya bukan berasal dari salah satu dari tiga perawi yang bernama Abdullah. Bahkan sanad ini telah menyelisihi riwayat tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Maka sama saja, kedua jalan ini tidak dapat dikatakan sebagai jalan periwayatan yang lain dan juga sama-sama berasal dari Khaulah.
Mungkin yang dimaksud Asy-Syaukani dengan jalur lain itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi pada akhir hadits Abu Hurairah, dari jalan Mahdi bin Hafsh, dia mengatakan Ali bin Tsabit telah menceritakan kepada kami dari al-Wazi’ bin Nafi’ dari Abu Salamah bin Abdirrahman dari Khaulah binti Yaman, dia berkata,
“Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya haid. Sedangkan saya hanya punya satu baju dan baju itu terkena darah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cucilah baju itu dan shalatlah dengannya’” Saya berkata lagi, “Bekasnya masih ada”, Beliau menambahkan, “Itu tidak masalah.”
Al-Baihaqi berkata, " Ibrahim al-Harbi mengatakan, perawi selain al-Wazi’ bin Nafi’ yang lebih tsiqah, karena dia tidak pernah mendengar dari Khaulah binti Yaman atau binti Yasar kecuali dua hadits ini."
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Mandah dalam “Al Ma’rifah” (2/321/2) dan Ibnu Sayyidin-Naas dalam “Syarh at-Tirmidzi” (1/48/2) dari jalan Utsman bin Abi Syaibah, beliau mengatakan bahwa Ali bin Tsabit al-Jazari mengabarkan kepada kami, …al-hadits. Hanya saja perawi yang pertama dari keduanya hanya mengatakan “Khaulah” tanpa menyebutkan nasabnya. Sedangkan yang lain menyebut “Khaulah binti Hakim”. Hadist tersebut juga pada riwayat beliau dari jalan ath-Thabrani dari Ibnu Abi Syaibah. Begitu pula al-Haitsami menyebutkannya didalam “Al-Majma” (1/282) dari riwayat ath-Thabrani dalam “al-Kabir”, dia berkata, "Didalam sanadnya ada al-Wazi’ bin Nafi’ dan dia dha'if”.
Saya katakan, bahkan dia itu perawi matruk (ditinggalkan haditsnya), dan sangat dha'if. Adz-Dzahabi menyebutnya didalam “adh-Dhu’afa” dan berkata, “Berkata Ahmad dan Yahya, “Dia tidak tsiqah.” Karena itulah Ibnu at-Turkumani mengkritik al-Baihaqi yang telah meninggalkan tajrih (penyangkalan/kritk) seperti ini, dan meringkasnya dengan ucapan Ibrahim al-Harbi yang jelas keliru, yaitu, bahwa al-Wazi’ tsiqah tapi yang lain lebih tsiqah darinya. Padahal ia sama sekali tidak tsiqah.
Mungkin yang dimaksud dalam riwayat al-Baihaqi dengan ucapannya “Binti Yaman” dan “Binti Hakim”, dalam riwayat ath-Thabrabi dan yang lainnya, adalah yang berasal dari Al Wazi’ ini.
Dan sangat mengherankan perkataan Ibnu Abdil Barr dalam “al-Isti’ab”, ketika menulis bografi Khaulah binti Yasar, setelah menyebutkan haditsnya yang terdahulu,
“Abu Salamah telah meriwayatkan darinya, Aku khawatir bahwa ia sebenarnya adalah Khaulah binti al-Yaman, karena sanad kedua hadits ini satu, yaitu sanad tersebut adalah ‘Ali bin Tsabit dari al-Wazi bin Nafi’ dari Abu Salamah, dengan hadits yang menyebutkan nama Khaulah binti al-Yaman (yaitu hadits : لا خير في جماعة النساء...) dan dengan hadits yang sedang kita jelaskan disini. Hanya saja perawi setelah Ali bin Tsabit terdapat perselisihan dalam dua hadits ini. Dan inipun butuh penjelasan lebih lanjut.”
Hal yang mengherankan disini adalah bahwa hadits yang dimaksud dengan “hadits yang sedang kita jelaskan disini” adalah hadits yang menjadi pembahasan kita sekarang yaitu: "ولا يضرك أثره" . Dan ini pula hadits yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam biografi binti Yasar.
Hadits ini bukanlah riwayat Abu Salamah dari Khaulah dan bukan pula dari selain Khaulah. Akan tetapi hadits riwayat Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah. Dan sanad ini adalah jalan periwayatan lain bagi hadits tersebut. Di dalam sanadnya terdapat nama khaulah yang dinasabkan kepada Yasar. Sanad yang seperti ini adalah benar. Mengapa kita harus khawatir salah dan menganggap yang benar adalah binti Yaman, sedangkan perawinya Ali bin Tsabit dha'if ?
Ibnu Abdil Barr telah mengisyaratkan kedha'ifannya. Bahkan ia bukan saja dha'if, tapi matruk (ditinggalkan haditsnya), sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Lebih mengherankan lagi, karena al-Hafizh Ibnu Hajar ketika mengutip ucapan Ibnu Abdil Barr sampai pada “karena sanad kedua hadits ini satu”, Beliau menanggapi dengan ucapannya, “Saya mengatakan, bukan suatu kelaziman bilaman sanad kepada kedua hadits ini satu, disertai perbedaan matan hadits hingga dianggap riwayatnya sama”.
Beliau menerima pendapat yang mengatakan bahwa sanadnya memang satu, meski kenyataannya tidaklah demikian. Padahal beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Mahasuci Allah yang tidak pernah lalai dan tidak pernah lupa.

Keempat :
Ucapan al-Hafizh “dan hadits ini memiliki syahid riwayat yang mursal,” juga keliru. Karena kami tidak mengetahui ada syahid riwayat penguat mursal untuk hadits ini. Al-Hafizh tidak menyebutkannya dalam “at-Talkish”, tapi beliau hanya menyebutkan syahid yang mauquf dari Aisyah, beliau berkata,
“Jika seorang wanita mencuci darah (haid dibajunya) dan (bekasnya) belum juga hilang, maka hendaklah ia mengubah (warnanya) dengan shufrah, rass atau za’faran”
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/238) dan al-Hafizh tidak mengomentarinya (13). Sanadnya shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim). Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang serupa (lihat Shahih Abu Dawud juz 3 no. 383).

[Fiqh Hadist]

Hadits ini adalah dalil najisnya darah haid berdasarkan perintah Nabi  agar mencucinya. Berdasarkan lafazh akhir hadits, darahnya cukup dicuci (dengan air) dan tidak harus menggunakan sesuatu untuk menghilangkan bekasnya. Hadits selanjutnya mempertegas hal tersebut.

(Bersambung)

Kamis, 18 Desember 2008

Sanjungan Para Imam Terhadap Fiqh Ahlil-Hadits

Berkata Al Khathib Al Baghdadi dalam tulisan beliau Syarf Ashhabul Hadits ( hal. 8 ) : " Dan sesungguhnya Allah ta'ala telah menjadikan Ahlul Hadits sebagai penegak Syari'at dan dengan merekalah Allah ta'ala membuyarkan setiap bentuk bid'ah yang keji. Merekalah pengemban amanah Allah dari seluruh ciptaan-Nya, madzhab mereka adalah madzhab yang mendapatkan pertolongan, pegangan mereka adalah pegangan yang kokoh. Dimana setiap kelompok yang berlabuh kepada hawa nafsu akan kembali pula kepada hawa nafsu itu ataukah yang berhias dengan akal belaka akan berujung pula diseputar akal tadi, berbeda halnya dengan Ashhabul Hadits ,dikarenakan Al Qur'an adalah pedoman mereka, As Sunnah sebagai pegangan mereka, Ar Rasul adalah bahagian dari kelompok mereka dan kepada beliaulah mereka bersandar, mereka sama sekali tidak ada kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu dan tidak pula untuk berpaling kepada akal pemikiran melainkan dari mereka akan didapati segala yang mereka riwayatkan dari Rasulullah, merekalah pengemban amanah Rasul, para penjaga Agama Islam dan pelindungnya dan juga mereka adalah gudang ilmu dan penyandangnya.

Jikalau dijumpai perbedaan dalam menghukumi suatu hadits merekalah tempat rujukan hukumnya, apa yang mereka hukumkan pada hadits tersebut adalah hukum yang mesti diterima dan diperhatikan. Dari merekalah bermunculan setiap 'alim ulama' dan para ahli fiqh,para imam yang terhormat lagi berwibawa, yang memiliki sifat zuhud ditengah-tengah kabilahnya, yang telah dikhususkan dengan segala keutamaan,para Qurra' –penghafal Qur'an – yang sangat lihai, Khothib yang santun. Mereka inilah Al Jumhur Al 'Adhzim –kaum terbanyak – dan jalan mereka adalah jalan yang mustaqiem. Dan dari semua Ahli Bid'ah yang menampakkan keyakinan mereka, Ahlul hadits tidaklah terpengaruh dengan kepandaian mereka menyamarkan madzhab mereka itu, siapapun yang menipu daya Ahlul hadits Allah ta'ala akan menghancur leburkannya, siapapun yang memusuhi –nya Alah akan menghinakan orang itu. Tidaklah mendatangkan kemudharatan siapa saja yang merendahkan Ahlul Hadits, dan tidak akan beruntung yang menjauh dari Ahlul Hadits, seseorang yang hendak menjaga agama ia, pastilah membutuhkan tuntunan Ahlil Hadits, dan seseorang yang menilai Ahlul Hadits dengan pandangan yang buruk pastilah ia akan menyesal, dan sesungguhnya Allah Maha memiliki Qudrah untuk memberikan pertolongan kepada Ahlul Hadits "

Dan beliau –rahimahullah – juga berkata - pada hal. 10 - :
" Dan Allah ta'ala telah menjadikan adanya Ath Thoifah Al Manshurah sebagai penjaga Agama Islam, dan memalingkan dari mereka segala tipu daya kaum yang memusuhi mereka, dikarenakan mereka ini berpegang teguh dengan syari'at yang kokoh. Dan pijakan mereka kepada Atsar dari kalangan shahabat dan Tabi'in. Sifat mereka yang nampak adalah dnegan menghafalkan Atsar –yakni hadits, pen – dan mereka telah mengacuhkan jarak yang demikian jauh serta negeri yang asing hanya untuk menyimak apa yang disyari'atkan oleh Al Mushthofa –shollallahu 'alaihi wasallam - , mereka sama sekali tidak berpaling kepada akal belaka ataukah hawa nafsu. Mereka hanya menerima syari'at beliau baik yang berupa ujaran beliau ataukah perbuatan beliau, mereka menjaga sunnah beliau dengan menghafalkannya dan menukilkannya, hingga benar-benar sunnah itu kembali kepada asal awalnya, merekalah kaum yang paling berhak dengan sunnah tersebut dan merekalah Ahlu As Sunnah. "

Berkata pula Ibnu Qutaibah dalam Kitab Ta'wil Mukhtalafil Hadits - hal. 51- : " Adapun Ashhabul Hadits, sesungguhnya mereka menuai Al Haq langsung dari tempat sepantasnya, menyisiri asal muasalnya, mereka beribadah kepada Allah dengan ittiba' kepada setiap sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam, mereka mengupas setiap atsar dan hadits beliau baik ketika berada ditengah lautan maupun didaratan, ditimur ataukah dibarat, seseorang dari ashhabul hadits rela melakukan perjalanan dengan kemauan yang keras untuk mendapatkan suatu hadits atau sebuah sunnah sehingga iapun akan menyadurnya langsung dari yang menukilkan langsung sunnah itu dari lisannya, selanjutnya pencarian penelitian terhadap hadits berlanjut terus, hingga mereka memahami hadits yang shohih dan yang dho'if, nasikh dan mansukh, dan mengenali penyelisih sunnah dari kalangan fuqaha' – ahli fiqh - yang cenderung kepada Ar Ro'yi –akal pemikiran – dan memberikan peringatan akan hal itu, hingga akhirnya ia akan bersinar yang mana sebelumnya redup, akan tinggi menjulang dimana sebelumnya terhempas, dan berada pada satu kesatuan yang mana sebelumnya tercerai berai, dan ia akan mencapai penghulu dalam menegakkan semua sunnah yang mana sebelumnya ia berpaling dari sunnah, dan memberikan perhatian akan sunnah dimana sebelumnya ia lalai dari sunnah. "

Berkata Ibnu Hibban dalam Muqaddimah Shohih beliau ( 1 / 34 ) , setelah beliau memberikan sanjungan kepada Allah 'azza wa jalla , beliau menyebutkan, " Setelah itu Allah ta'ala memilih satu kalangan sebagai kaum pilihan-Nya, menurunkan hidayah kepada mereka dengan menetapi keta'atan kepada-Nya, berupa ittiba' jalan Ahli kebajikan, meniti sunnah dan atsar, maka Allah menghiasi hati mereka dengan keimanan, dan memudahkan lisan mereka berujar dengan penjelasan yang terang dalam mengungkap semua kandungan Agama-Nya, ittiba' diatas sunnah Nabi-Nya, dengan menempuh pecarian dan perjalanan yang panjang, berpisah dengan keluarga dan negeri mereka hanya untuk mengumpulkan setiap sunnah, menghalau setiap hawa nafsu, mengusung fiqh berlandaskan sunnah dengan berpaling dari setiap akal pemikiran manusia, kaum ini mengkhusukan diri dengan hadits, mencari hadits Nabi, melakukan perjalanan jauh untuk sebuah hadits dan menuliskan hadits. Mereka bertanya tentang keberadaan suatu hadits dan memantapkannya, mengulang-ulangi pendalamannya dan menyebar luaskannya, mengusung fiqh diatas hadits Nabi, dan mengokohkan landasannya dan mengembangkan furu'-furu' fiqh diatas hadits Nabi, mencurahkan kemampuan mereka untuk hal itu. Menjelaskan mana yang mursal dan mana yang muttashil, yang mauquf dan yang munfashil, nasikh dan mansukh, yang muhkam dari yang mafsukh, yang mufassar dari yang mujmal, mana yang musta'mal dan mana yang muhmal, yang bersifat umum dan yang khusus, mana yang ditunjukkan dengan dalil –yakni yang dhohir dari suatu dalil – dan mana yang manshush, yang mubah dan yang terlarang, antara yang ghorib dan yang masyhur, antara Al 'Irdhu dan Al Irsyad, antara yang telah pasti/wajib dan yang butuh penjabaran ulang, antara kaum yang 'adil dan yang tercela, antara mereka yang dho'if dan yang matruk, dan konsepsi pengamalan , mengupas yang terselubung … dengan begitu Allah menjaga Agama ini dengan keberadaan mereka ditengah-tengah kaum muslimin, menjaganya Agama ini dari cercaan para penghujat, dan Allah menjadikan mereka dalam lingkup perbedaan penadapat sebagai para Imam yang beroleh petunjuk, dan dalam setiap perkara yang rumit dan tiba-tiba merekalah cahaya penerang, mereka inilah para pewaris Nabi, pelindung bagi setiap shahabat yang ikhlas, peneduh bagi kaum yang bertaqwa dan kaumpulan para wali Allah "

Berkata As Sam'ani, dalam Kitab Shaunul Manthiq ( 165 – 167 ) : " Dan yang menunjukkan bahwa Ahlul Hadits merekalah Ahlul Haq, adalah jikalau engkau mau menelaaah kesemua kitab-kitab karya tulis mereka, yang dituliskan baik dari pendahulu mereka hingga yang datang belakangan, para sesepuh mereka ataukah yang setelah mereka, dengan negeri yang berbeda dan juga perbedaan sudut pandang mereka, dan jarak yang jauh yang memisahkan mereka satu sama lainnya, dan masing-masingnya bermukim disatu pelosok dari sekian pelosok dunia, niscaya engkau akan dapatkan mereka dalam menjelaskan perihal Aqidah berada pada satu ikatan dan satu jalinan, mereka mengusung masalah ini diatas satu jalan yang mereka tidaklah menyimpang dari jalan itu dan tidak juga berpaling darinya. Perkataan mereka dalam hal itu serupa dan juga amal perbuatan mereka satu … "
Lalu beliau berkata : " Dan sebab kesepakatan yang terjalin diantara Ahlul Hadits, dikarenakan mereka menyadur Agama ini langsung dari Al Qur'an dan As Sunnah dan dengan jalur periwayatan hadits, inilah yang mewariskan kesatuan dan jalinan kasih sayang, sedangkan Ahlul Bid'ah mereka mengambil agama mereka dari dasar-dsar akal belaka dan pemikiran manusia, yang akhirnya menghasilkan perpecahan dan perselisihan "

Berkata Al Laknawi dalam Kitab beliau " Imamu Kalam fiima yata'allaq Bil Qiro'ah Khalfal Imam " ( hal 228 ) : " Dan siapapun yang mau bersikap inshaf/adil dalam menilai dan menyelami lautan Fiqh dan Ushul fiqh, dan tidak berlaku dholim dan serampangan, ia akan mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa sebagian besar masalah-masalah furu'iyah dan Ushuliyah yang diperselisihkan oleh para Ulama, madzhab Ahlul Hadits dalam masalah-masalah itu lebih kuat dibandingkan dnegan madzhab lainnya, dan sungguhlah saya setiap kali berada disalah satu bagian perselisihan Ulama saya dapati bahwa pendapat Ahlul Hadits dalam hal itu lebih dekat kepada keadilan, Falillah Darruhum … Bagaimana tidak , bukanlah mereka adalah pewaris Nabi yang sebenarnya dan penerus syari'at beliau yang sesungguhnya "

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu' Fatawa 34 / 113 : " Imam Ahmad lebih sering sesuai pendapat beliau dnegan Asy Syafi'I dan Ishaq ketimbang selain mereka berdua, dan Ushul beliau banyak kemiripan dengan Ushul keduanya dibanding Ushul para ulama selain mereka berdua, dan beliau seringkali menyanjung dan mengagungkan keduanya, dan me-rajih-kan Ushul madzhab mereka berdua dibandingkan dengan Ushul madzhab lainnya yang berlainan dengan Ushul madzhab mereka berdua. Dan madzhab beliau menyebutkan bahwa ushul fuqaha' Ahlil Hadits lebih shohih dibandingkan fuqaha' lainya, sedangkan Asy Syafi' dan Ishaq keduanya disisi beliau adalah Fuqaha' Hadits yang paling mulia dizamannya masing-masing. "

Beliau juga menyebutkan dlam Kitab " Ilmul Hadits " ( hal. 44 ) : " Sebagian Imam Ahli Kalam melecehkan Ahlul Hadits dan menghinakan mereka dengan dalih pemahaman Ahlul hadits yang rendah, bahwa Ahlul Hadits tidaklah mampu memahami makna hadits dan tidak mampu memilah antara yang shohih dan yang dho'if. Mereka berbangga dihadapan ahlul Hadits dengan kelihaian mereka dan pemahaman yang sempurna. Bukanlah hal yang mesti dingkari, bahwa seperti ini dijumpai disebagian Ahlul Hadits, berpegang dnegan hadits-hadits yang maudhu' seputar masalah-masalah furu'iyah dan ushuliyah, dan atasr-atasr yang diada-adakan, hikayat yang tidak shohih, diantara mereka ada yang melansir ayat dari Al qur'an ataukah hadits yang tidak mereka ketahui maknanya, hanya saja jika dibandingkan dnegan selain kaum Ahlil Hadits dalam kekeliruan ini, mereka bagaikan kaum muslimin dilihat dari kesemua penganut agama yang ada. Setiap keburukan yang dilakukan sebagian kaum muslimin, keburukan itu lebih banyak didapati diselain mereka, dan setiap kebaikan yang ada pada selain kaum muslimin, kebaikan itu termat banyak didapati ditengah-tengah kaum muslimin, demikianlah halnya Ahlul Hadits dibandingkan dnegan kaum lainnya "

Berkata Syaikhul Islam pula di Majmu' Fatawa ( 4 / 91 ) :
" Dan suatu yang maklum bahwa siapa yang lebih mengetahui perkataan seseorang yang ia ikuti, keadaannya, hal-hal yang tersembunyi maupun yang nampak dari perilakunya dimana ia benar-benar menampakkannya, tentunya ia paling berhak dengan kekhususan bersama yang ia ikuti tersebut. Dan tidak pula diragukan bahwa Ahlul hadits adalah kaum yang paling mengetahui dan paling dekat kepada ilmu Rasululah shollallahu 'alaihi wasallam, dan ilmu pengetahuan shahabat kepercayaan beliau seperti Khulafa' Rasyidin, dan kesepuluh shahabat yang dijanjikan sorga, dan semisal Ubay bin Ka'ab, 'Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, 'Abdullah bin Salam, Salman Al Farisi, Abu Darda', 'Ubadah bin Ash Shomit, Abu Dzar Al ghifari, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Al Yaman, dan semisal Sa'ad bin Mu'adz, Sa'ad bin 'Ubadah, Salim maula Abu Hudzaifah, dan mereka lainnya yang merupakan kaum muslimin yang paling dekat dengan Rasulullah, dan yang paling mengenali keadaan beliau yang batin, dan yang paling ta'at mengikuti beliau. "

Dan beliau berkata pula dalam Naqdhul Mantiq hal. 42 :
" Dan sesungguhnya engkau akan mendapati Ahli Kalam adalah kaum yang paling banyak beralih dari suatu pendapat ke pendapat lainnya, membenarkan suatu pendapat pada suatu masalah namun membenarkan pendapat lainnya yang bertolak belakang dengan pendapat yang pertama tadi bahkan mengkafirkan yang mengatakan pendapat itu pada masalah yang lain, dan ini adalah bukti tidak adanya keyakinan …Adapun Ahlus Sunnah wal Hadits, tidaklah pernah dikenali ada seseorang dari para Ulama mereka, dan tidak pula kalangan awam mereka yang sholeh dimna ia berpaling dari pendapat dan aqidahnya, bahkan mereka adalah kaum manusia yang paling bersabar atas pendapat dan aqidah mereka, walau mereka diberikan segala macam bentuk ujian dan dihadapkan dnegan sgala bentuk fitnah, dan seperti inilah keadaan para Nabi dan pengikut mereka terdahulu, sebagaimana halnya pendahulu ummat ini dari kalangan para shahabat dan tabi'in dan para Imam lainnya. Dan pengekor hawa nafsu ada diantara mereka yang bersabar diatas pendapatnya, dan ini dikarenakan pendapat itu ada secuil kebenaran, dimana suatu yang pasti dari setiap amalan bid'ah adalah segolongan besar dari kaum manusia yang pada mereka ada sedikit kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah dan sesuai dnegan amalan Ahlus Sunnah wal Hadits yang mesti diterima. Dikarenakan sebatas kebatilan saja tidak akan mungkin diterima bagaimanapun juga.
Jadi kesimpulannya keteguhan dan ketetapan hati yang ada pada Ahlus Hadits was Sunnah jauh berlipat besarnya dibandingkan yang ada pada Ahli kalam dan ahli filsafat "

Dan dalam Majmu' Fatawa 3 / 346 , beliau berkata :
" Sesungguhnya kaum manusia yang paling layak sebagai Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits was Sunnah, yakni mereka yang tidak mempunyai panutan yang mereka sangat fanatic padanya selain kepada Rasulullah , dan merekalah yang paling mengetahui perkataan-perkataan beliau dan semua prilaku beliau, dan yang paling mampu memisahkan antara yang shohih dan yang lemah, dan para Imam mereka adalah Ahli Fiqh ,yang menjangkau setiap makna perkataan dan prilaku beliau, sebagai suatu ittaba', pembenaran, pengamalan, kecintaan, pada mereka ada loyalitas bagi yang loyal kepada sunnah, memusuhi bagi yang memusuhinya. Mereka mengembalikan penafsiran semua pendapat yang bersifat umum kepada Al Qur'an dan Al Hikmah. Mereka sama sekali tidak menegakkan suatu perkataan, dan menjadikannya sebagai salah satu ushulud-din mereka dan salah satu dari pandangan mereka jikalau bukan termasuk perkara yang disampaikan oleh Rasulullah . Melainkan mereka menjadikan semua yang disampaikan oleh Rasulullah  baik itu Al Qur'an maupun al Hikmah adalah pondasi yang mereka yakini dan yang mereka pegangi "

(Diterjemahkan dari salah satu pasal pada Kitab Ushul Fiqh Ahlil Hadist karya Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistany)

Rabu, 17 Desember 2008

as-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Meluruskan Pemahaman Keliru Tentang Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz As Sindi
Semenjak berlalunya tahun-tahun yang panjang, dalam kurun waktu yang lama, kontroversi tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan dakwahnya masih terus berjalan. Antara yang mendukung dan yang menentang, atau yang menuduh dan yang membela.
Yang perlu diperhatikan mengenai ucapan orang-orang yang menentang Syaikh yang melontarkan kepada beliau dengan bebagai tuduhan, bahwa perkataan mereka tak disertai dengan bukti. Apa yang mereka tuduhkan tidak mempunyai bukti dari perkataan Syaikh, atau didasarkan pada apa yang telah ditulis dalam kitabnya, tapi hanya sekedar tuduhan yang dilontarkan oleh pendahulu, kemudian diikuti oleh orang setelahnya.
Saya yakin tak ada seorangpun yang berfikir objektif kecuali dia mengakui bahwa cara terbaik untuk mengetahui fakta yang sebenarnya adalah dengan melihat kepada yang bersangkutan, kemudian mengambil informasi langsung dari apa yang telah disampaikannya.
Kitab-kitab Syaikh dapat kita temui, perkataan-perkataannya pun juga masih terjaga. Dengan mengacu kepada itu semua akan terbukti apakah isu-isu tersebut benar atau salah. Adapun tuduhan-tuduhan yang tidak disertai dengan bukti hanyalah fatamorgana yang tak ada kenyataanya.
Dalam lembaran-lembaran ini, berisi catatan-catatan ringan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan amanah dinukil dari kitab-kitabnya yang valid. Saya telah mengumpulkannya dan yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar menyusun.
Catatan berisi jawaban-jawaban langsung dari Syaikh terhadap tuduhan-tuduhan kepada beliau yang dilancarkan oleh para penentangnya. Dengan jelas ditepisnya segala apa yang dituduhkan. Saya yakin –dengan taufiq dari Allah .- hal itu cukup untuk menjelaskan kebenaran bagi siapa yang benar-benar mencarinya.
Adapun yang membangkang terhadap Syaikh dan dakwahnya, senang menyebarkan kedustaaan dan kebohongan, perlu saya katakan kepada mereka : kasihanilah dirimu sesungguhnya kebenaran akan jelas, agama Allah akan menang dan matahari yang bersinar terang tak akan bisa ditutupi dengan telapak tangan.
Inilah perkataan Syaikh menjawab tuduhan-tuduhan tersebut, kalau Anda mendapatkan perkataan Syaikh yang mendustakannya maka tampakkan dan datangkanlah jangan Anda sembunyikan…..! Namun kalau tidak –dan Anda tidak akan mendapatkannya- maka saya menasehati Anda dengan satu hal : hendaklah Anda menghadapkan diri kepada Allah dengan menanggalkan segala hawa nafsu dan fanatisme, meminta kepada-Nya untuk memperlihatkan al haq dan membimbingmu kepadanya, kemudian Anda fikirkan apa yang telah dikatakan oleh orang ini (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), apakah dia membawa sesuatu yang bukan dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
Lalu fikirkan sekali lagi: apakah ada jalan keselamatan selain perkataan yang benar dan membenarkan al haq. Bila telah tampak bagi Anda kebenaran maka kembalilah kepada akal sehat, menujulah kepada al haq, sesungguhnya hal itu lebih baik dari pada terus menerus berada dalam kebatilan, hanya kepada Allah saja segala perkara dikembalikan.

HAKEKAT DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Sebagai permulaan pembahasan kita akan lebih baik kalau kita menukil beberapa perkataan ringkas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam menjelaskan apa yang beliau dakwahkan, jauh dari awan gelap propaganda yang dilancarkan para penentangnya yang mereka menghalangi kebanyakan manusia agar jauh dari dakwah tersebut. Beliau mengatakan :
"Aku katakan –hanya bagi Allah segala puji dan karunia dan dengan Allah segala kekuatan- : sesungguhnya Tuhanku telah menunjukkanku ke jalan yang lurus, agama lurus agama Ibrahim yang hanif dan dia tidak termasuk orang-orang musyrik. Dan aku –Alhamdulillah-, tidak mengajak kepada madzhab salah seorang sufi, ahli fikih, filosof, atau salah satu imam-imam yang aku muliakan…..
Aku hanya mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, aku mengajak kepada sunnah Rasulullah . yang beliau menasehatkan ummatnya dari yang awal sampai yang akhir untuk selalu mengikutinya. Aku berharap semoga aku tidak menolak segala kebenaran bila telah sampai kepadaku, bahkan aku persaksikan kepada Allah, para malaikat dan semua makhluk-Nya, siapapun diantara kalian yang menyampaikan kebenaran kepadaku, pasti akan aku terima dengan sepenuh hati, dan aku akan memukulkan ke tembok setiap perkataan para imamku yang bertentangan dengan kebenaran, kecuali Rasulullah . karena beliau tidak mengatakan kecuali kebenaran". (Ad Durarus Saniyyah: jilid 1, hal: 37,38).
"Dan aku –segala puji hanya milik Allah-, hanyalah mengikuti, bukan mengada-ada". (Mu’allafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal: 36).
"Gambaran mengenai permasalahan yang sebenarnya adalah aku katakan : tidak ada yang boleh didoai kecuali Allah saja tiada sekutu bagi-Nya, sebagaimana Allah berfirman (yang artinya): "maka janganlah kamu berdoa kepada seorangpun bersamaan dengan Allah" (Q.S. Al Jin : 18).
Allah juga berfirman berkaitan dengan hak Nabi-Nya (yang artinya): Katakanlah : "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan-pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan" (Q.S. Al Jin : 21)
Demikianlah firman Allah dan apa yang disampaikan dan diwasiatkan Rasulullah kepada kita, ….. inilah antaraku denganmu, kalau ada yang menyebutkan tentangku di luar daripada itu, maka itu adalah dusta dan kebohongan". (Ad Durarus Saniyyah : 1/90-91).

Masalah Pertama : I’TIQAD BELIAU TENTANG NABI
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab difitnah para musuhnya dengan berbagai tuduhan keji berkaitan dengan i’tiqadnya terhadap Nabi, tuduhan itu berupa :

Pertama : beliau tidak menyakini bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam adalah nabi penutup.
Dikatakan demikian, padahal semua kitab-kitab beliau penuh berisi tentang bantahan terhadap syubhat itu. Berikut ini menunjukkan kebohongan tuduhan tersebut, diantaranya dalam perkataan beliau :

"Aku beriman bahwa Nabi kita Muhammad . adalah penutup para nabi dan rasul. Tidak akan sah iman seorang hamba pun sampai dia beriman dengan diutusnya beliau serta bersaksi akan kenabiannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 32)
"Makhluk paling beruntung, paling agung kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah yang paling tinggi dalam mengikuti dan mencocoki beliau (Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam) dalam ilmu dan amalannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:32)
Kedua : Dia telah menghancurkan hak Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak meletakkan beliau pada kedudukannya yang pantas.
Untuk melihat hakikat beliau sebagai tertuduh, saya nukilkan sebagian perkataan yang telah beliau tegaskan berkaitan dengan apa yang diyakini tentang hak Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau berkata:
"Tatkala Allah berkehendak menampakkan tauhid dan kesempurnaan agama-Nya, agar kalimat-Nya adalah tinggi dan seruan orang-orang kafir adalah rendah, Allah mengutus Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai penutup para nabi dan kekasih Tuhan semesta alam. Beliau terus menerus dikenal dalam setiap generasi, bahkan dalam Taurat dan Injil telah disebutkan, sampai akhirnya Allah mengeluarkan mutiara itu, antara Bani Kinanah dengan Bani Zuhrah. Maka Allah mengutusnya pada saat terhentinya pengutusan para rasul, lalu menunjukkannya kepada jalan yang lurus. Beliau mempunyai tanda-tanda dan petunjuk tentang kebenaran kenabian sebelum diangkat menjadi nabi, yang tanda-tanda tersebut tidak terkalahkan oleh orang-orang yang hidup pada masanya. Allah membesarkan beliau dengan baik, mempunyai kehormatan tertinggi pada kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling mulia, paling lembut dan paling benar dalam berucap, akhirnya kaumnya memberikan julukan dengan Al Amin, karena Allah telah menciptakan pada beliau keadaan-keadaan bagus dan budi pekerti yang diridhai-Nya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 90-91).
"Dan beliau adalah pemimpin para pemberi syafa’at, pemilik Al Maqamul Mahmud (kedudukan hamba yang paling mulia di hari kiamat), sedang Nabi Adam . dan orang-orang sesudahnya akan berada di bawah panjinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 86).
"Utusan yang pertama adalah Nabi Nuh Alaihis Salam dan yang paling akhir serta paling mulia adalah Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:143)
"Beliau telah menyampaikan penjelasan dengan cara terbaik dan paling sempurna, manusia yang paling menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba Allah, belas kasih terhadap orang-orang yang beriman, telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad dan terus menerus menyembah Allah sampai beliau wafat. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:21).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga mengambil kesimpulan dari sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): Tidaklah sempurna iman salah seorang diantara kamu sampai aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan semua manusia. Beliau mengatakan : "Kewajiban mencintai Rasulullah . melebihi cinta terhadap diri sendiri, keluarga maupun harta". (Kitabut Tauhid, hal : 108).
Ketiga : mengingkari syafaat Rasululullah Sholallahu Alaihi Wasallam.
Syaikh berkenan menjawab syubhat ini, beliau mengatakan : "Mereka menyangka bahwa kami mengingkari syafaat Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Maha suci Engkau Allah, ini adalah tuduhan yang besar. Kami mempersaksikan kepada Allah . bahwa Rasulullah . adalah pemberi syafaat dan diberi kekuasaan oleh Allah untuk memberi syafaat, pemilik Al Maqamul Mahmud. Kita meminta kepada Allah Yang Maha Mulia, Tuhan Arsy yang agung untuk memberikan syafaat kepada beliau untuk kita, dan mengumpulkan kita di bawah panjinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 63-64)
Syaikh telah menjelaskan sebab penyebaran propaganda dusta ini, beliau berkata: "Mereka itu ketika aku sebutkan apa yang telah disebutkan Allah dan Rasul-Nya . serta semua ulama dari segala golongan, tentang perintah untuk ikhlas beribadah kepada Allah, melarang dari menyerupakan diri dengan Ahlul Kitab sebelum kita yang mereka itu menjadikan ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, mereka mengatakan : kamu merendahkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali!". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 50)

Masalah Kedua : TENTANG AHLUL BAIT
Termasuk tuduhan yang diarahkan kepada Syaikh : beliau tidak mencintai Ahlul Bait Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan menghancurkan hak mereka. Jawaban atas pernyataan ini : Apa yang dikatakan itu bertentangan dengan kenyataan, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengakui akan hak mereka untuk dicintai dan dimuliakan. Beliau konsisten dengan hal ini bahkan mengingkari orang yang tidak seperti itu. Beliau rahimahullah berkata :
"Allah telah mewajibkan kepada manusia berkaitan dengan hak hak terhadap ahlul bait. Tidak boleh bagi seorang muslim menjatuhkan hak-hak mereka dengan mengira ini adalah termasuk tauhid, padahal hal itu adalah perbuatan yang berlebih-lebihan. Kita tidak mengingkari kecuali apa yang mereka lakukan berupa penghormatan terhadap ahlul bait disertai dengan keyakinan mereka pantas untuk disembah, atau penghormatan terhadap mereka yang mengaku dirinya pantas disembah". (Mu’allafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal:284)
Dan bagi siapa saja yang mau memperhatikan biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan membuktikan apa yang telah dia katakan. Cukuplah diketahui beliau telah menamai enam dari tujuh putranya dengan nama para ahlul bait yang mulia –semoga Allah merahmati mereka. Keenam putra itu adalah : Ali, Abdullah, Husain, Hasan, Ibrahim dan Fatimah. Ini merupakan bukti yang jelas menunjukkan betapa besar kecintaan dan penghargaannya terhadap ahlul bait.

Masalah Ketiga : KAROMAH PARA WALI
Beredar isu di kalangan orang bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengingkari karomah para wali. Menepis kebohongan ini, di beberapa tempat Syaikh rahimahullah telah merumuskan aqidah beliau yang tegas berkaitan dengan masalah ini, berbeda jauh dengan apa yang selama ini tersebar. Diantaranya terdapat di dalam sebuah perkataannya tatkala beliau menerangkan tentang aqidah beliau :
"Dan aku meyakini tentang karomah para wali". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)
Bagaimana mungkin beliau dituduh dengan tuduhan tersebut, padahal dia mengatakan bahwa orang yang mengingkari karomah para wali adalah ahli bid’ah dan kesesatan, beliau berkata:
"Dan tidak ada seorangpun mengingkari karomah para wali kecuali dia adalah ahli bid’ah dan kesesatan". (Muallafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 1, hal: 169)

Masalah Keempat : TAKFIR (Pengkafiran -red)
Termasuk perkara terbesar yang disebarkan berkenaan dengan Syaikh dan orang-orang yang mencintainya adalah dikatakan mengkafirkan khalayak kaum muslimin dan pernikahan kaum muslimin tidak sah kecuali kelompoknya atau yang hijrah kepadanya. Syaikh telah menepis syubhat ini di beberapa tempat, diantara pada perkataan beliau :
"Pendapat orang bahwa saya mengkafirkan secara umum adalah termasuk kedustaan para musuh yang menghalangi manusia dari agama ini, kita katakan : Maha Suci Engkau Allah, ini adalah kedustaan besar". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 100)
"Mereka menisbatkan kepada kami berbagai macam kedustaan, fitnah pun semakin besar dengan mengerahkan terhadap mereka pasukan syetan yang berkuda maupun yang berjalan kaki. Mereka menebarkan berita bohong yang seorang yang masih mempunyai akal merasa malu untuk sekedar menceritakannya apalagi sampai tertipu. Diantaranya apa yang mereka katakan bahwa aku mengkafirkan semua manusia kecuali yang mengikutiku dan pernikahan mereka tidak sah. Sungguh suatu keanehan, bagaimana mungkin perkataan ini bisa masuk kedalam pikiran orang waras. Dan apakah seorang muslim akan mengatakan seperti ini. Aku berlepas diri kepada Allah dari perkataan ini, yang tidak bersumber kecuali dari orang yang berpikiran rusak dan hilang kesadarannya. Semoga Allah memerangi orang-orang yang mempunyai maksud-maksud yang batil". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 80)
"Aku hanya mengkafirkan orang yang telah mengetahui agama Rasulullah . kemudian setelah dia mengetahuinya lantas mengejeknya, melarang manusia dari memeluk agama tersebut dan memusuhi orang yang berpegang dengannya. Tetapi kebanyakan umat –alhamdulillah- tidaklah seperti itu". (Ad Durarus Saniyyah : 1/73)

Masalah Kelima : ALIRAN KHAWARIJ
Sebagian orang ada yang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa dia berada di atas aliran khawarij yang mengkafirkan manusia hanya karena kemaksiatan biasa. Untuk menjawabnya kita ambil dari redaksi perkataan Syaikh rahimahullah sendiri. Beliau rahimahullah berkata :
"Aku tak menyaksikan seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia masuk surga atau masuk neraka kecuali orang yang telah disaksikan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan bagi orang yang berbuat baik, dan mengkhawatirkan orang yang berbuat jahat. Aku tidak mengkafirkan seorang dari kaum muslimin pun hanya karena dosa biasa dan aku tak mengeluarkannya dari agama Islam". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)
Masalah Keenam : TAJSIM (Menjisimkan/ menyerupakan Allah dengan makhluk)
Termasuk yang digembar-gemborkan juga tentang Syaikh adalah beliau dianggap mujassim, yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Beliau telah menerangkan keyakinan dia tentang masalah ini dan ternyata sangat jauh dengan apa yang telah dituduhkan padanya, beliau berkata :
"Termasuk beriman kepada Allah adalah: beriman dengan apa yang Allah sifati terhadap Dzat-Nya di dalam kitab-Nya, atau melalui sabda Rasul-Nya, tanpa adanya tahrif (merubah teks maupun makna dari nash aslinya -pent) ataupun ta’thil (menafikan sebagian atau semua sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan terhadap diri-Nya -pent), bahkan aku beri’tikad bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah ., Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka aku tidak menafikan dari Allah sifat yang telah Dia tetapkan terhadap diri-Nya, aku tidak merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, aku tidak menyimpang dari kebenaran dalam nama dan sifat-sifat Allah. Aku tidak menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat-sifat Allah dan juga tidak menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk, karena Dia Maha Suci, tiada yang menyamai, tiada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki tandingan dan tidak pantas diukur dengan makhluk-Nya. Karena Allah. Yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang selain-Nya. Dzat Yang paling benar firman-Nya dan paling bagus dalam perkataan-Nya. Allah menyucikan diri-Nya dari dari apa yang dikatakan oleh para penentang yaitu ahli takyif (menggambarkan hakikat sifat-sifat Allah) maupun ahli tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Juga mensucikan diri-Nya dari pengingkaran ahli tahrif maupun ahli ta’thil, maka Dia berfirman (yang artinya): Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam (Q.S. As Shaffat : 180-182) (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:29)
"Dan sudah dimaklumi bahwa ta’thil adalah lawan dari tajsim, ahli ta’thil adalah musuh ahli tajsim, sedang yang haq adalah yang berada di antara keduanya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 11, hal:3)

Masalah Ketujuh : MENYELISIHI PARA ULAMA
Sebagian manusia mengatakan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menyelisihi semua ulama dalam dakwahkannya, tidak melihat kepada perkataan mereka, tidak mengacu kepada kitab-kitab mereka dan beliau membawa barang baru serta membuat madzhab kelima.Orang yang paling bagus dalam menjelaskan bagaimana hakikatnya adalah beliau sendiri. Beliau berkata :
"Kami mengikuti Kitab dan Sunnah serta mengikuti para pendahulu yang shalih dari umat ini dan mengikuti apa yang menjadi sandaran perkataan para imam yang empat : Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris (As Syafi’i) dan Ahmad bin Hanbal semoga Allah merahmati mereka". (Muallafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal: 96)
"Bila kalian mendengar aku berfatwa dengan sesuatu yang dengannya aku keluar dari kesepakatan (ijma’) ulama, sampaikan perkataan itu kepadaku". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 53)
"Bila kalian menyangka bahwa para ulama bertentangan dengan apa yang aku jalani, inilah kitab-kitab mereka ada di depan kita". (Ad Durarus Saniyyah jilid 2, hal: 58)
"Aku membantah seorang bermadzhab hanafi dengan perkataan ulama-ulama akhir dari madzhab hanafi, demikian juga penganut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, semua saya bantah hanya dengan perkataan ulama-ulama mutaakhirin yang menjadi rujukan dalam madzhab mereka". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:82)
"Secara global yang saya ingkari adalah : keyakinan terhadap selain Allah dengan keyakinan yang tidak pantas bagi selain Allah. Bila Anda dapati aku mengatakan sesuatu dari diriku sendiri, maka buanglah. Atau dari kitab yang kutemukan sedang disepakati untuk tidak diamalkan, buanglah. Atau saya menukil dari ahli madzhabku saja, buanglah. Namun bila aku mengatakannya berdasarkan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya . atau berdasarkan ijma’ ulama dari segala madzhab, maka tidaklah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpaling darinya hanya karena mengikuti seorang ahli di zamannya atau ahli daerahnya, atau hanya karena kebanyakan manusia di zamannya berpaling darinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid1,hal:76)

PENUTUP
Sebagai penutup, disini ada dua nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab :
Pertama : bagi orang yang berusaha menentang dakwah ini berikut semua pengikutnya, serta mengajak manusia untuk menentangnya lalu melontarkan beraneka ragam tuduhan dan kebathilan. Bagi mereka Syaikh berkata :
"Saya katakan bagi yang menentangku, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi semua manusia untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Nabi . terhadap umatnya. Aku katakan kepada mereka : kitab-kitab itu ada pada kalian, perhatikanlah kandungannya, jangan kalian mengambil perkataanku sedikitpun. Hanya saja apabila kalian telah mengerti sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam kitab-kitabmu itu maka ikutilah meskipun berbeda dengan kebanyakan manusia… Janganlah kalian mentaatiku, dan jangan mentaati kecuali perintah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang ada di dalam kitab-kitab kalian…
Ketahuilah tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali mengikuti Rasulullah .. Dunia akan berakhir, namun surga dan neraka jangan sampai ada orang berakal yang melupakannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:89-90)
"Aku mengajak orang yang menyelisihiku kepada empat perkara : kepada Kitabullah, kepada sunnah Rasulullah ., atau kepada ijma’ kesepakatan ahli ilmu. Apabila masih membangkang aku mengajaknya untuk mubahalah". (Ad Durarus Saniyyah : 1/55)
Kedua : bagi yang masih bimbang. Syaikh berkata : "Hendaklah Anda banyak merendah dan menghiba kepada Allah, khususnya pada waktu-waktu yang mustajab, seperti pada akhir malam, di akhir-akhir shalat dan setelah adzan.
Juga perbanyaklah membaca doa-doa yang diajarkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, khususnya doa yang tercantum dalam As Shahih bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berdoa dengan mengucap (yang artinya): Wahai Allah Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah Yang Memutuskan hukum diantara hamba-hamba-Mu yang berselisih, tunjukkanlah kepadaku mana yang haq diantara yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Menunjukkan ke jalan yang lurus bagi siapa yang Engkau kehendaki. Hendaklah Anda melantunkan doa ini dengan sangat mengharap kepada Dzat Yang Mengabulkan doa orang kesulitan yang berdoa kepada-Nya, dan Yang telah Menunjukkan Ibrahim Alaihis Salam disaat semua manusia menentangnya. Katakanlah : "Wahai Yang telah mengajari Ibrahim, ajarilah aku".
Apabila Anda merasa berat dikarenakan manusia menyelisihimu, pikirkanlah firman Allah Subahahu Wata’ala (yanga artinya) : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. (Q.S. Al Jatsiyah : 18-19)
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah (Q.S. Al An’am : 118)
Ingatlah sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam As Shahih (yang artinya): "Agama Islam bermula dengan keadaan dianggap asing dan akan kembali dianggap asing seperti saat bermulanya".
Juga sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya) : "Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu …." Sampai akhir hadits [1], juga sabda beliau (yang artinya): "Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku", juga sabdanya : "Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah kesesatan". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 42-43)
"Jika telah jelas bagimu bahwa ini adalah al haq yang tidak diragukan lagi, dan sudah merupakan kewajiban untuk menyebarkan al haq itu serta mengajarkannya kepada para wanita maupun pria, maka semoga Allah merahmati orang yang menunaikan kewajiban itu dan bertaubat kepada Allah serta mengakui al haq itu pada dirinya. Sesungguhnya orang yang telah bertaubat dari dosanya seperti orang yang tak mempunyai dosa sama sekali. Semoga Allah menunjukkan kami dan Anda sekalian dan semua saudara-saudara kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Wassalam…" (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:43)2.


Catatan Kaki
[1] Lengkapnya adalah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada manusia secara serta merta, akan tetapi mencabutnya dengan memwafatkan para ulama. Sampai apabila tidak menyisakan seorang yang alim, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya dan menjawab tanpa ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan manusia" (HR. Bukhari Muslim).
Makalah ini diterjemahkan oleh Muhammad Hamid Alwi,
dari teks aslinya berjudul: "Tashihu Mafahim Khati’ah"
Sumber: http://www.salafyoun.com/forumdisplay.php?f=35&langid=5
Sebuah Situs yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Bin Ramzan Al Hajiry Hafidzahullah
Risalah Syaikh Muhammad Bin Ramzan pernah dimuat dalam Majalah An Nashihah

Sabtu, 06 Desember 2008

Seputar Mashlahat Dakwah Salafiyah

Perhatian ulama Islam terutama para ulama generasi as-salaf dan penerus mereka terhadap masalah mashlahat dan mafsadat, dalam setiap tinjauan hukum-hukum syara' teramat besarnya. Bahkan hal ini merupakan kaidah yang muttafaq 'alaiha –disepakati- diantara para fuqaha dan ahlul hadist dan juga pakar disiplin ilmu selain mereka. Disebabkan dasar-dasar peletakan syariat Islam itu sendiri senantiasa mengacu kepada kemaslahatan seluruh hamba Allah dan peniadaan segala bentuk mafsadat bagi mereka. Bahkan sebagian fuqaha` Islam menyebutkan bahwa: syariat Islam kesemuanya adalah maslahat. Baik berupa penolakan setiap bentuk mafsadat atau pencapaian segala bentuk maslahat.
( Al-Muqafaqaat 2 / hal 6 dan 37 )

Hanya saja yang perlu ditekankan bahwa mashlahat dan mafsadah ini adalah permasalahan yang ketentuannya berpulang pada syara', dalam artian adalah mashlahat (kemaslahatan) syar'iyah dan mafsadah (kerusakan) syar'iyah, Bukanlah mashlahat ataukah juga mafsadah 'urfiyah – adat kebiasaan– ataukah nafsiyah -individualisme –atau juga hizbiyah/mazhabiyah– kelompok atau golongan- . Dimana mashlahat dan mafsadah dalam penerapan aturan-aturannya yang bersifat furu'iyah mestilah dikembalikan secara jelas pada setiap aspek maqashid syar'iyah –sasaran-sasaran syara'- yang muttafaq 'alaiha .
Dari sinilah dalam berbicara tentang mashlahat dan mafsadah tersebut, dalam beberapa tinjauan syara' diantaranya: -
Pertama : Agama / Dien Islam adalah suatu Ajaran yang bertujuan mendatangkan semua kemashlahatan baik itu kemashlahatan yang mutlaq/qath'iyah ataukah mashlahat yang rajih.
Berkata Asy-Syaikh Al-Faqih Al-Mufassir 'Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di dalam risalah beliau "Al-Ushul wal-Qawa'id Al-Jami'ah",
"Kaidah Pertama … Bahwa sesungguhnya syariat Islam tidaklah menyebutkan adanya perintah melainkan pada perintah tersebut dijumpai mashlahat yang khalishah – yang murni – ataukah yang rajihah (dominan). Dan tidak pula melarang suatu hal melainkan didapati padanya mafsadat yang khalishah ataukah rajihah…
Beliau berkata, "Hal oni adalah suatu kaidah yang mencakup keseluruhan syariat, yang mana tidak ada satupun dari hukum-hukum syara' yang terlepas dari kaidah ini, dan juga tidak dibedakan antara perkara yang berkenaan dengan masalah ushuluddiin ataukah masalah-masalah furu'iyah. Dan tidak juga dibedakan antara masalah yang berkaitan dengan hak-hak Allah atau yang berkaitan dengan hak-hak para hamba-Nya.
Allah subahanhu wata'ala berfirman, -

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada setiap perbuatan yang adil dan segala kebajikan, menyantuni para kerabat dan melarang dari segala perbuatan keji dan kemungkaran dan kesewang-wenangan, Allah ta'ala memberi nasihat ini bagi kalian agar kalian mau memikirkannya." ( An-Nahl : 90 )
Maka dalam ayat ini, tidak ada satu perbuatan adil, ataukah kebajikan dan tidak pula jalinan kekerabatan kecuali Allah memerintahkannya dalam ayat yang mulia ini … "
Dan selanjutnya beliau dalam risalah tersebut, menyebutkan sejumlah ayat-ayat perintah dan larangan lalu beliau berkata, "Perhatikanlah pada segala perintah yang terkandung pada ayat-ayat Al-Qur`an ini, yang mana telah mencapai taraf kebaikan yang paling tinggi. Dan juga perintah-perintah tersebut mengandung kebaikan, keadilan, kasih sayang, serta penegakan hak-hak yang wajib dan yang sunnah.
Demikian pula halnya dengan hal-hal terlarang yang mana mudharatnya demikian meluas serta keburukannya sangatlah besar. Syariat ini berupa segala macam perintah dan larangan termasuk diantara salah satu mukjizat Al-Qur`an dan Rasulullah  yang terbesar. Bahwa syariat ini berasal dari wahyu Dzat yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji.
Semisalnya juga, sebagaimana yang Allah sifatkan atas hamba-hamba-Nya yang khusus serta para hamba-Nya yang terbaik didalam firman-Nya,

“Dan hamba-hamba Ar-Rahman, Rabb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi “Hingga firman-Nya,

“Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya.” ( Al-Furqan : 63 – 75 )
Dan firman Allah,

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman” (Al-Mukminun : 1)
Lalu Allah menyebutkan beberapa sifat-sifat luhur mereka, kemudian diakhiri dengan menyebutkan ganjaran bagi mereka,

“Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mukminun 10 – 11)
Dan firman Allah,

“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim”
“Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Hingga firman-Nya,

“Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( Al-Ahzab : 35 )
Maka setiap sifat yang disebutkan pada ayat-ayat ini, yang merupakan sifat yang Allah sifatkan bagi sebaik-baik makhluk-Nya, Allah telah mengajarkan kebaikan, kesempurnaan, manfaat yang sangat besar dari sifat-sifat tersebut.

“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Maidah : 50)

Keseluruhan syariat baik berupa peribadatan, muamalah/interaksi sosial perintah untuk menunaikan setiap hak-hak yang beraneka ragam rincian serta bagiannya yang disebutkan Allah pada ayat-ayat ini, serta semua yang telah diuraian oleh ulama berupa mashlahat setiap perkara yang diperintahkan dan manfaatnya, mudharat serta mafsadat dari setiap perkara yang dilarang termasuk dalam cakupan kaidan ini.
Olehnya itulah, fuqaha` Islam menyatakan keterkaitan sebab akibat hukum-hukum yang diperintahkan oleh syara’ dengan ragam mashlahat dan setiap yang dilarang dengan ragam mafsadat.”

Kedua : Mashlahat yang dituntut oleh Syara' adalah Mashlahat Syar'iyah bukanlah Mashlahat Bid'iyah. Baik dalam perihal Aqidah, Ibadah ataukah dalam perilaku/akhlaq.
Dari sini mestilah dipahami, bahwa dalam menjadikan dalil mashlahat dan mafsadat –yakni al-mashalih al-mursalah– sebagai landasan penetapan hukum-hukum 'amaliyah syar'iyah, haruslah suatu mashlahat atau mafsadat yang bersifat qath'iyah – yakin - ataukah ghalabah dzhann – persepsi yang dominan -, dan juga harus merujuk pada penunjukan syara' baik dalam tinjauan ushuliyah ataukah furu'iyah-nya.
Sebagian besar ulama ushul dan kalangan fuqaha' sendiri, lebih memilih untuk menolak pengandaian dalil dengan berpegang pada al-mashalih al-mursalah, dan sekiranyapun suatu hukum dari sekian hukum syariat akan bergantung pada tinjauan mashlahat dan mafsadat, menurut mereka – mayoritas ulama – disyaratkan adanya kesinambungan antara mashlahat yang muktabar/terakui dan signifikasi ushul syara'. Dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi'i, sebagian besar pengikut mazhab Al-Hanafiyah dan riwayat yang masyhur dikalangan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Benar terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik menjadikan kaidah ini sebagai pegangan/hujjah secara mutlak akan tetapi penisbatan kepada Imam Malik diingkari oleh sebagian ulama besar Al-Malikiyah semisal Al-Qurthubi dan Al-Baaji.

Berkata Al-Imam Asy-Syathibi t dalam kitab beliau Al-I'tisham 1/61–63 –berbicara sisi nazhar/logika sehat dalam membantah bid'ah-, " … Pertama: Bahwa adalah suatu yang telah dikenali dari kebiasaan dan pengalaman yang telah ada dialam ini, sejak awal dimulainya kehidupan dunia hingga hari ini, bahwasanya akal semata tidak akan bersendiri menjangkau mashlahat yang berlaku baginya, demikian juga dalam menghalau mafsadat atasnya. Dikarenakan mashlahat –demikian juga mafsadat, pen- cuma dua, mashlahat duniawiyah ataukah ukhrawiyah.
Adapun mashlahat duniawiyah maka akal sama sekali tidak akan mampu mengejawantahkannya secara rinci, baik itu diawal penjabarannya demikian juga dalam peletakan setiap yang diharapkan dapat mengikuti alur mashlahatnya, baik dalam pendahuluan silogisnya dan yang selanjutnya. Dikarenakan yang paling pertama meletakkan –prinsip-prinsip– mashlahat tiada lain dengan pengajaran Allah ta'ala, dimana Adam 'alaihis salam, sewaktu diturunkan ke muka bumi, telah diajarkan bagaimana meraih mashlahat duniawiyah beliau, yang sebelumnya perkara ini sesuatu yang beliau belum ketahui. Kecuali dalam pandangan beberapa ulama yang berpendapat bahwa perkara tersebut telah tercakup dalam frman Allah ta'ala,

"Dan Allah ta'ala telah mengajarkan segala sesuatunya kepada Adam." (Al-Baqarah: 31)
Jikalau demikian, berarti pengajaran Adam bukanlah melalui jalur akal, dan dalam garis besarnya, setelah itu turun temurun diwariskan kepada anak keturunan beliau. Akan tetapi akal manusia mengadakan disposisi yang seolah-olah akal telah terpisah dari pengajaran tersebut, dan dalam disiplin ilmu Ushul telah mengalami intervensi dari luar mengikuti perkembangan zaman, akhirnya kemashlahatan pada setiap zaman yang berlalu tidak lagi murni, seiring dengan merebaknya fitnah, pembunuhan, dan munculnya beragam perbuatan fasad.
Sekiranya Allah ta'ala tidak berkenan kepada hamba-Nya dengan mengutus para Rasul, kehidupan mereka tidak akan istiqamah, dan keberadaan merekapun tidak akan selaras dengan kemashlahatan mereka yang sempurna, dan ini suatu yang maklum ditinjau dari kisah kaum terdahulu dan umat yang belakangan.
Sedangkan mashlahat ukhrawiyah, maka ini lebih tidak terjangkau lagi oleh akal ketika melihat sebab-sebab diadakannya, seperti segala bentuk ibadah misalnya. Dimana akal secara umum,tidak akan mengerti sebab keberadaannya, terlebih lagi mengetahuinya secara terperinci… "

Hingga beliau mengatakan, " … Dan kaum filosof mencoba mengungkap sejumlah disiplin ilmu ushul, lantas menguak tabirnya dimana mereka ini berkeinginan untuk menjabarkannya sesuai dengan pandangan akal mereka, dan menjadikannya sebagai suatu yang bernilai rasional tidak lagi sebagai suatu yang syari.
Dan tidaklah seperti yang mereka sangkakan, karena akal tidak akan berdiri sendiri selamanya, tidak akan berpijak tanpa adanya dasar, melainkan akal akan berpijak diatas suatu pondasi yang telah mendahuluinya dan secara mutlak mesti diterima, dan tidak mungkin ketika berbicara tentang perkara akhirat adanya suatu pondasi yang mesti dibenarkan melainkan pondasi itu datangnya dar wahyu, … Dan makna inilah yang akan secara panjang lebar akan dijelaskan nantinya insya Allah.
Jadi kesimpulannya, akal tidak menjangkau mashlahatnya tanpa bimbingan wahyu dan amal bid'ah berkebalikan dengan pondasi ini, dikarenakan bid'ah bagaimanapun juga bukanlah suatu sandaran yang syar'i, maka yang tersisa hanyalah sandaran yang mereka sangkakan dari akal semata."

Dalam Al-Madkhal 1/295 disebutkan –dalam menguraikan perbedaan antara qiyas/silogisme dan kaidah al-mashalih-, "Bahwa qiyas sesungguhnya merujuk kepada salah satu dalil tertentu, sedangkan kaidah al-mashalih tidaklah merujuk pada dalil tertentu, namun para fuqaha' menyebutkan: Kapan diketahui adanya pengakuan syara' terhadap kaidah al-masholih ini dalam sejumlah tempat dalam syariat Islam maka kami pun mengakuinya sebatas pengetahuan kami bahwa kaidah al-mashalih ini adalah suatu yang diinginkan oleh syara'.”
( lihat dalam Al-I'tisham 1/61–63, Irsyad Al-Fuhul hal. 403 – 405, Al-Musawwadah hal. 401, Al-Ihkam – Al-Amidi 4/17, Al-Madkhal – Ibnu Badran 1/295, Qawaidul Fiqh – Al-Kirkhi hal. 490 dan Al-Mahshul 5/231 )

Ketiga : Mashlahat bukanlah hujjah/pegangan untuk membenarkan kebathilan dan untuk menolak kebenaran/al-haq.
Tinjauan yang ketiga inilah yang seringkali terjadi kesalah pahaman diantara para da'i ilallah dalam 'amaliyah da'wiyah mereka. Dimana ketika terjadi benturan antara tujuan dan maksud yang mereka hendak capai –yang tidak jarang telah ternoda dengan keinginan duniawiyah – dengan dalil-dalil syara' serta kaidah-kaidah syar'iyah, mereka berupaya membenarkan tujuan/maksud tersebut dengan berpegang pada dalil mashlahat dan mafsadat.
Akhirnya, tidak sedikit, mereka membenarkan bahkan melakukan hal-hal yang keliru secara syara' bahkan merupakan suatu kemashiyatan dan sebab terpecah belahnya ummat Islam, demikian pula sebaliknya , seringkali mereka mengabaikan bahkan meninggalkan suatu wajib dan merupakan titian ulama as-salaf dengan berpegang pada kaidah mashlahat dan mafsadat. Fanatisme kelompok dengan dalih mashlahat tandhzim/pengaturan dakwah, semakin pudarnya makna Al-Wala' dan Al-Baro', sikap toleran bahkan menyokong dan bergandengan tangan dengan pelaku maksiat dan ahlil bida', sirnanya amar ma'ruf nahi munkar, mendiamkan kebatilan, dan selainnya, -sadar ataukah tidak - , mereka hanya meninjaunya dari sisi mashlahat menurut keterbatasan nalar mereka– dan mafsadat –menurut kepentingan yayasan/kelompok mereka -
Untuk itulah perlu diketahui bahwa pada hakikatnya, mashlahat dan mafsadat yang merupakan salah satu bentuk muhafadzhah/penjagaan syar'iyah, bukanlah suatu dalil yang berdiri sendiri ….
Dan juga perlu dipahami, bahwa mashlahat dan mafsadat adalah hasil dari penerapan dan peninggian ajaran-ajaran syara', bukan suatu yang muncul dari nalar/akal pemikiran si fulan ataukah si 'allan.
Jadi ketahuilah bahwa mencapai suatu manfaat/mashlahat dan menegah setiap mudharat/mafsadat adalah bertujuan untuk kebaikan hamba dan sarana untuk menuai keinginan mereka. Akan tetapi yang diinginkan dari bentuk mashlahat ini adalah sebagai bentuk muhafadhzah –pemeliharaan/penjagaan – semua tujuan-tujuan syariat – maqashidusy syara' –. Dan maqashidussy syara' ini yang berlaku pada hambanya ada enam perkara yang perlu ditinjau :
- Hifdzu/penjagaan Diin/agama
- Hifdzu An-Nafs ( jiwa/rohani )
- Hifdzu Al-'Ardlh ( kehormatan/harga diri )
- Hifdzu Al-'Aql ( akal sehat )
- Hifdzu An-Nasl ( keturunan )
- Hifdzu Al-Maal ( harta benda )
Maka semua yang bertujuan memelihara dan mengayomi ke-enam hal diatas dikatakanlah sebagai suatu mashlahat, sedangkan sebaliknya adalah mafsadat.
Dan kesemuanya berujung pada penetapan syara' baik itu dari Al-Qur`an , As-Sunnah maupun Ijma'. Maka kesemua pencapaian mashlahat ataukah penjagaan dari segala bentuk mafsadat, mesti mendapatkan pembenaraan oleh syara', dalam hal ini dalil-dalil yang shahih lagi jelas.

Dan juga , perlu diketahui bahwa berbicara tentang mashlahat ataukah mafsadat berhubungan dengan hukum-hukum syar'iyah , terbagi atas tiga bagian :
1. Mashlahat dan mafsadat yang telah dilansir penunjukannya dalam Al-Qur`an maupun sunnah Nabi 
2. Mashlahat dan mafsadat yang yang syara' menolak keberadaannya dan penunjukannya.
3. Mashlahat dan mafsadat yang tidak ada keterangan penetapan ataukah penolakannya dalam tinjauan syara', yang sering dikenal sebagai al-mashalih al-mursalah.
Jadi ungkapan mashlahat dan mafsadat sebagai dalil, selain mesti ada pembenaran dari dalil-dalil syara' – Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma' – dan Qawa'id 'Ammah /aturan-aturan umum dalam syariat , juga haruslah dilihat pada bagian manakah mashlahat dan mafsadat itu termasuk.
( Lihat Ar-Raudhoh An-Nadhir – Ibnu Qudamah juz 2/ pasal. , Al-Mudzakkiroh hal 166–167, Al-Mustashfaa – Hujjatul Islam Al-Ghazali hal. 244, Al-Mantsur fil Qawaid 1/317, Syarh Al-Mahshul 6/219– 220 )

Berkata Al-Imam Asy-Syathibi t, "Jawaban dari hal itu, bahwa permasalah ini bukanlah masalah yang menjadi bahasan disini, dikarenakan perbuatan tersebut – yakni al-bid'ah – adalah perbuatan yang menyimpang dari yang dikehendaki syara'. Sedangkan amalan yang dilakukan oleh para ulama as-salaf dan yang menjadi kesepakatan ulama, tidaklah menyimpang dari ketentuan syara'. .. " – lalu beliau memisalkan amalan salaf seperti pengumpulan Al-Qur`an dalam bentuk mushhaf, -
Beliau kemudian mengatakan, "… Olehnya itulah penyatuan Al-Qur`an dalam bentuk mushhaf adalah suatu yang wajib, dan pendapat yang sangat tepat pada satu keadaan yang tidak dijumpai pada zaman sebelumnya, dan bukanlah ini sebagai suatu penyimpangan, jika ini dianggap sebagai suatu penyimpangan maka setiap hal yang tidak dijumpai dizaman sebelumnya akan dianggap sebagai suatu bid'ah, dan ini anggapan yang batil menurut ijma'. Akan tetapi amalan tersebut termasuk dalam kategori ijtihad yang selaras dengan kaidah-kaidah syariat, walaupun tidak diprediksikan dengan dalil tertentu, yang dinamakan oleh kalangan ulama sebagai al-mashalih al-mursalah, dan setiap amalan as-salaf ash-shalih termasuk dalam bagian ini, dan tidak akan menyimpang dari tinjauan ini dan bukannya sebagai suatu yang menyelisihi tujuan syara' … dimana Nabi  bersabda,
مَا رآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
"Segala yang dipandang kaum muslimin sebagai suatu kebaikan maka sesuatu itu adalah kebaikan disisi Allah."
Dan sabda beliau,
وَلاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
"Tidak akan bersepakat ummatku diatas kesesatan."
Maka jelaslah bahwa yang semisal ini merupakan hal yang telah disepakati dan sesuai dengan tujuan syariat. dan didalam kaidah ini tidak tercakup adanya perbuatan atau penolakan yang menyimpang dari syariat. Sedangkan bid'ah yang tercela, yakni yang menyelisihi ketentuan syariat baik itu berupa amalan ataukah suatu penolakan, dan insya Allah akan dijelaskan dikemudian …"
( Lihat Al-Muwafaqaat 2 / 341 – 342 )

Minggu, 23 November 2008

Dakwah Salafiyah di Villani II (bag. 5)

Demikianlah, setelah uraian tentang ciri dan karakter dakwah Salafiyah terdahulu, barulah pembicaraan melangkah pada waqi' –realita- dakwah Salafiyah di Villa Nusa Indah II(Villani II). Syabaab di wilayah ini dan juga sekitarnya, pada dasarnya –sebagian besarnya tentunya- adalah para syabaab yang haus akan ilmu dan dirasah 'ilmiyah. Hanya saja, dari jeda waktu mulainya pengenalan "nama" dakwah Salafiyah oleh beberapa da'i, mereka tidaklah diajak untuk mengenal dan mendalami ilmu-ilmu asy-syar'iyah. Sebagian besar fokus dakwah para da'i tersebut hanya bersifat formalitas bahkan cenderung pada tajammu'at, yaitu mengumpukan sebanyak-banyaknya pengikut tanpa memperhatikan kualitas ilmiyah yang dicapai oleh mereka. Hingga penokohan da'i tertentu serta kultus individu menjadi ciri dakwah para da'i ini ditengah-tengah mad'u mereka. Dakwah Salafiyah yang hakikipun pada akhirnya tidak dikenali oleh sebagian besar mad'u, yang mana mereka semakin jauh dari metode at-tarbiyah dan ats-tashfiyah yang ditunjukkan para ulama as-Salaf. Sehingga beberapa diantaranya malah menganggap "asing" metode at-tarbiyah yang telah dicontohkan oleh ulama as-Salaf.
Sebut saja misalnya, seorang yang mengaku diri sebagai senior dakwah Salafiyah di Villani II ini. Penulis telah mendengar sendiri, tidak sekali dua kali, klaim senioritas itu terujar dari lisannya. Kata-kata, "paling demikian dan demikian…" telah menghiasi lisan, bahkan mungkin hatinya –na'udzu billah-.Sementara, orang ini tidaklah mengerti ilmu-ilmu syara'. Bahasa Arab, ilmu Hadist, ilmu Ushul dan Qawa'id Fiqhiyah, dan ilmu-ilmu teoritis/alat lainnya, sangat asing bagi dia, terlebih jika dikatakan dia mengetahuinya. Keangkuhan yang menjadikan semakin "muram"-nya wajah dakwah Salafiyah.
Lain halnya, seorang yang lain, pengajar "Sekolah Dasar" di salah satu sekolah di dalam area Villani II. Yang pernah mengecap sedikit pengetahuan bahasa arab "percakapan" dari sebuah instituisi pendidikan swasta. Al-Akh ini, ketika melihat perkembangan beberapa syabaab yang menelaah kajian Ilmu an-Nahwu/ash-Sharf, ilmu Ushul, Mushthalah Hadist dll, memberi komentar yang menunjukkan "kebodohan"-nya terhadap dakwah Salaf –semoga bukan karena "kedengkian" dia atas dakwah Salafiyah ini-:
Belajar ilmu menurutnya, haruslah memakai absensi, tidak sebatas hadir saja. Demikian salah satu ujarannya yang sampai. Mungkin, karena "kerja harian" sebagai guru sekolah dasar yang terbiasa "memegang absen" yang menjadikan dia menyamakan forum ta'lim dan dakwah ilallah sederajat dengan mengajar anak-anak SD.
Saat lainnya, dia meminta adanya tazkiyah –license/rekomendasi- pada pelajaran-pelajaran ilmu-ilmu alat itu sendiri. Ucapan ini bukan hal yang baru penulis dengar, sebelumnya orang-orang hizbiyyah dari kaum harakah juga menghujat para da'i dan thalabul ilmu Ahlus Sunnah dengan ucapan ini. Ada kemungkinan, al-akh ini, karena pernah belajar di institusi yang nota bene "hizbiy" hingga pemikirannya menjadi kacau seperti ini, ataukah karena selama ini dia –sepanjang pengetahuan penulis- mengambil ilmu dari para da'i Hizbiyyiin, sehingga cara berpikirnya juga tidak jauh berbeda dengan para da'i tersebut.
Kami katakan – selain sebagai kritik dan nasihat baginya-, dan sebagai jawaban diatas:
1. Jikalau tazkiyah tersebut yang dimaksud adalah tazkiyah "kabiiruhum" yang memasung dirinya sebagai tolak ukur "salafiyah" seseorang, maka ucapan al-akh ini –semoga Allah mengampuninya- adalah ucapan yang lazim dikalangan kaum hizbiyyiin dan para muqallid.
2. Demikian juga, jika pernyataan tersebut diterima, maka pernyataan serupa akan ditujukan kepada al-akh itu sendiri -yang sepengetahuan penulis telah berani mengajar salah satu dari ilmu alat yakni bahasa Arab- pada kapasitas keilmuannya sendiri yang jauh dari layak untuk mengajar terlebih untuk mendapatkan tazkiyah. Bahkan juga tertuju kepada "kabiiruhum" diatas, yang akan terlontar pertanyaan, apakah "kabiiruhum" ini juga telah mendapatkan tazkiyah ?? Adapun jawaban al-akh atau siapa saja dalam membela "kabiiruhum" adalah juga jawaban kami, karena tidak ada perbedaan diantar kedua keadaan pada pernyataan al-akh tersebut. Agama Islam tidak membedakan dua hal yang serupa dan juga tidak menyatukan dua hal yang berbeda.
3. Adapun jika yang dimaksud tazkiyah yang syar'iyah, maka Salafiyyiin saling memberi tazkiyah satu dengan lainnya, adapun kaum hizbiyyin maka tazkiyah mereka sama sekali tidak mu'tabar. Karena kaum hizbiyyin memberi tazkiyah pada pada wakat ilmiyah seseorang melainkan pada al-wala` wa al-bara kepada seseorang tertentu -dalam hal ini adalah kabiiruhum mereka- atau komunitas tertentu.
4. Dan dalam tinjauan lebih spesifik, ustadz Salafiyiin yang mengajari ilmu-ilmu tersebut, bukanlah seorang yang tidak diketahui wawasan keilmuannya, telah makruf pengambilan ilmu dan sebagai seorang penuntut ilmu syar'i, hal mana berbeda dengan status "kabiiruhum" sendiri yang tidak memiliki kejelasan karakter ilmiyah dan hanya berkecimpung dalam muhadharah-muhadharah umum, layaknya al-qashshash dan al-khuthaba` dimasa generasi ulama Hadist.
Demikian ulasan yang agak panjang, walau tidak mendetail dalam membahas masalah "at-tazkiyah" dan insya Allah sekiranya ada kesempatan akan dibahas secara spesifik tentang masalah tersebut. Ulasan diatas sebatas nasihat ringkas bagi al-akh –semoga Allah mengembalikannya kepada kebenaran-.
Beginilah mungkin gambaran tentang beberapa watak "pelaku dakwah" di daerah Villani ini. Watak yang sebenarnya warisan dari "kabiiruhum" dan corong-corongnya yang berdakwah ala dakwah "kabiiruhum" daerah Villani II dan sekitarnya. Sebuah realita yang memprihatinkan, terkumpul dua hal yang sangat jauh dari metode dakwah Salafiyah, kejahilan atas al-ilmu asy-syar'i (dengan manhaj at-tashfiyah dan at-tarbiyah) dan dakwah hizbiyyah "tajammu'at". Dakwah yang menghasilkan kebodohan, taklid, fanatisme pada individu tertentu, hizbiyah "model" baru yang dihias dengan pakaian as-Salafiyah.
Akan tetapi, walillahil hamdu, sebagaimana sabda Nabi , "bahwa akan senantisa ada diantara umatku suatu kalangan yang menunjukkan al-haq, tidaklah mendatangkan mudharat siapa saja yang menyelisihi mereka dan tidak pula yang merendahkan mereka," beberapa syabaab telah kami ketahui sebagai thalabul ilmu asy-syar'i. Dan telah tampak pula kecintaan mereka kepada ilmu-ilmu syara' dan kepada sunnah Nabi  ash-shahihah. Mereka mempelajari ad-Diin ini dengan berpedoman kepada al-Qur`an, al-hadits dan al-atsar, sebatas dengan kemampuan mereka dalam al-fahm dan at-tafaqquh fid-diin.
Disisi lain pula, kaum muslimin telah tergerak hati mereka untuk mengenal dakwah Salafiyah yang murni, baik itu dalam al-aqidah ash-shahihah, fiqh yang berpedoman pada ad-dalil asy-syar'i, kajian al-hadits an-nabawi dan ilmu-ilmu lainnya. Kaum muslimin inilah yang membutuhkan sambutan dan uluran tangan untuk bersama-sama menegakkan as-sunnah dan dakwah Salafiyah Ahlis Sunnah wal-Jama'ah. Adapun yang menyuarakan dakwah tajammu'at, mereka hanyalah menilai kaum muslimin sebagai bagian dari mereka, jika melayani dan memfasilitasi kebutuhan "komunitas" mereka. Jika tidak, maka mereka akan menganggap kaum muslimin sebagai musuh mereka dan sebagai kalangan yang harus dijauhi. Sebut saja sebuah masjid "al-fulani" di Villani II, yang telah sejak dahulu menjadi fasilisator dakwah mereka, ketika disebabkan hal-hal yang manusiawi, mereka –pelaku dakwah tajammu'at ini- meninggalkan masjid "al-fulani" tersebut. Kemudian mereka menelan lisan dan ucapan mereka dengan –setelah meninggalkan kaum muslimin tersebut- menerima atau "memanfaatkan" fasilitas sebuah institusi pendidikan di Villani II yang dahulu mereka cap sebagai institusi gado-gado, tidak jelas, dan dengan segala macam tuduhan ekstri lainnya. Sebuah interaksi mu'amalah hizbiyah, mu'amalah yang berasaskan asas pemanfaatan, dan loyalitas kepada komunitas/individu tertentu.
Namun dengan keberadaan beberapa da'i ilallah, dakwah kepada kaum muslimin tersebut masih dapat berjalan, terlepas dari segala ikatan hizbiyah yang tercela yang ditunjukkan oleh para pelaku dakwah tajammu'at.
Dan inipula-lah penutup rangkaian ulasan dakwah di Villa Nusa Indah II. Adapun sejumlah masalah ilmiyah dakwiyah yang penulis isyaratkan dalam bahasan ini, insya Allah akan dibahas pada materi lainnya secara lebih luas dan ilmiyah, bi-idznillah ta'ala.

Penulis
(Admin)

Dakwah Salafiyah di Villani II (bag. 4)

7. Menghidupkan sunnah Rasulullah  dalam setiap permasalahan ibadah, suluk dan setiap aspek kehidupan, hingga para pelaksana as-Sunah dianggap sebagai kaum yang terasing ditengah-tengah komunitasnya.

Telah shahih diriwayatkan didalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi  bersabda,
"Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing. Dimana Islam akan bersembunyi diantara dua masjid sebagaimana seekor ular berada bersembunyi didalam sarangnya."
Dan pada lafazh hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau  bersabda, "Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing."[1]

8. Celaan terhadap fanatisme kepada selain Kalam Allah, kalam Rasul-Nya 

Allah ta'ala berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengedepankan –diri kalian- dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha mendenger lagi Maha mengetahui." (Al-Hujurat: 1)

Dan Allah ta'ala telah mencela segala bentuk taklid, dimana Allah ta'ala berfirman,

"Dan apabila dikatakan kepada mereka agar mereka mengikuti segala yang Allah turunkan –berupa wahyu-, mereka mengatakan, bahwa kali mengikuti segala yang kami dapati dari bapak-bapak kami. Tidakkah bapak-bapak mereka sama sekali tidak mengetahui sesuatupun juga dan mereka tidaklah mendapatkan hidayah." (al-Baqarah: 170)

Al-Hafidz Ibnu Rajab –Dari catatan kaki kitab Iqazhu Al-Himam hal. 93 -, beliau mengatakan, “Wajib bagi setiap oang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah  dan dia telah mengetahuinya, untuk menerangkannya kepada umat, menasihati mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti perintahnya, walaupun hal itu bertentangan dengan pendapat ulama yang diagungkan. Karena perintah Rasulullah  lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti dibanding pendapat ulama besar manapun yang menyalahi perintah beliau di dalam beberapa perkara, dimana pendapat ulama itu terkadang keliru. Dari sini terlihat betapa para sahabat dan generasi setelah mereka menolak setiap orang yang menyelisihi As-Sunnah yang shahih dan tidak jarang mereka berlaku keras dalam penolakan ini[2].
Hal itu bukan didasari rasa benci terhadap orang tersebut, melainkan dia seorang yang sangat dicintai dan diagungkan di dalam hati manusia. Akan tetapi, Rasulullah  lebih dicintai oleh mereka dan perintah beliau lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Dan hal ini tidak menghalangi mereka untuk memberikan penghormatan kepada seorang alim yang menyelisihi perintah beliau  , walaupun orang itu mendapat ampunan kelak…”

9. al-Amr bil-Makruf wan-Nahyu 'an al-Munkar.

Allah ta'ala berfirman,

"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dimunculkan kepada segenap kaum manusia, kalian mengajak mereka kepada perbuatan yang makruf dan melarang dari perbuatan yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah." (Ali-Imran: 110)

10. Menyanggah setiap penyelisih agama Allah dan Sunnah Rasulullah , baik muslim ataupun bukan, bagaimanapun kedudukan si penyelisih. Baik penyilisihan tersebut dikehendakinya atau tanpa kesengajaan.

Allah ta'ala berfirman:

"Wahai Nabi , mestilah engkau berjihad menghadapi orang-orang Kafir dan kaum Munafiq dan berlaku tegaslah kepada mereka."[3]


"Dan demikianlah Kami paparkan Ayat-ayat Kami agar menjadi jelas jalannya orang-orang yang berboat dosa." ( Al-An'am : 55 )
Dan dalam Muqaddimah Shahih Imam Muslim 1 / 12 , dari hadist Abu Hurairah , Nabi  bersabda, "Akan ada pada akhir ummatku segolongan manusia yang mengada-adakan sesuatu yang belumlah kalian pernah mendengarnya dan tidak juga bapak-bapak kalian, maka berhati-hatilah kalian dan mereka."
Dari Aisyah radhiallahu 'anha beliau berkata: Rasulullah  membacakan ayat ini:

"Dan Dialah – Allah – yang telah menrunkan kepadamu –Muhammad- Al-Qur`an, yang padanya terdapat ayat-ayat yang muhkam yang merupakan Ummul Kitab dan selainnya adalah ayat-ayat mutasyabih. Dan adapun orang-orang yang pada hati-hati mereka penyakit maka mereka akan mengikuti yang mutasyabih itu dari Al-Qur`an untum mendatanghkan fitnah dan mendatangkan penta'wilannya. Dan tiada yang mengetahui ta'wilnya selain Allah. Dan orang-orang yang memiliki keluasan ilmu mengatakan : kami beriman kepada nya , semuanya berasal dari sisi Rabb kami , dan tiadalah yang berpikir kecuali Ulul Albab." ( Ali Imran : 7 )
Telah ditanyakan kepada Imam Ahmad, "Seseorang yang mengerjakan puasa, mengerjakan shalat dan i'tikaf apakah lebih anda senangi dari pada seseorang yang berbicaran –mengkritik- pelaku bid'ah?" Maka beliau menjawab, "Apabila seseorang mengerjakan shalat dan i'tikaf, maka hanya untuk dirinya sendiri, sementara seseorang yang berbicara mengkritik pelaku bid'ah adalah bagi kaum muslimin, dan yang ini lebih utama."[4]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Seseorang yang membantah ahlul bid'ah adalah seorang mujahid."[5]

11. Membedakan antara kesalahan yang berasal dari seorang Ahlus-Sunnah dan kesalahan dari seorang da'i ahlil-bid'ah.

Dimana kesalahan dari seorang ulama Ahlis-Sunnah yang menegakkan asal dakwah mereka pada manhaj Ahlus-Sunnah adalah berasal dari ijtihad yang akan mendapat satu kebaikan sementara kesalahan mereka sendiri tertolak. Berbeda dengan ahlil-Bid'ah dimana asal muara ushul/dasar pondasi mereka tegak diatas manhaj yang menyelisihi manhaj Ahlus-Sunnah.
Imam asy-Syathibi mengatakan, "Seseorang yang dinisbatkan kepada bid'ah tidak terlepas dari keberadaannya sebagai seorang mujtahid ataukah seorang muqallid.
Lalu beliau berkata, kelompok yang pertama terbagi dua golongan:
Pertama, kedudukannya sebagai seorang mujtahid benar adanya. Hingga bid'ah yang terdapat darinya tidak terjadi kecuali terjadi dengan tanpa disengaja dan pengaruh dari luar bukan dari dzatnya langsung. Dan bid'ah tersebut dinamakan sebagai suatu kekeliruan dan ketergelinciran. Karena pelakunya tidaklah memaksudkan dengan pengikutannya kepada hal-hal yang mutasyabih (samar-samar) untuk menebar fitnah dan penafsiran Kitabullah –menyelisihi kandungan sebenarnya-.Yakni tidaklah dia menghendaki pengikutan pada haa nafsu dan sebagai suatu kesengajaan. Hal yang menunjukkan akan hal tersebut, apabila tampa kebenaran baginya, maka diapun tunduk pada kebenaran tersebut.
Kedua, adapun yang tidak tepat dengan berpedoman pada tolak ukur keilmuan sebagai bagian dari ulama mujtahid. Dimana dia dengan bebasnya beranalogi dengan segala sesuatu yang menyelisihi syariat, seperti yang telahdikemukakan sebelumnya. Dimana telah terkumpul padanya kebodohan akan kaidah-kaidah syara' dan hawa nafsu yang mendorongnya pada asalnya, dan hal tersebut hanya sebagai dampak ikutan."[6]

12. Beribadah kepada Allah dengan ketaatan kepada Pemerintah serta tidak mengadakan pemberontakan terhadapnya. Dan mengajak mereka kepada kebaikan dan saling kerjasama serta saling menasihati dengan penuh kejujuran.

Allah ta'ala berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada para pemimpin diantara kalian." (an-Nisa`: 59)
Dan Nabi  bersabda, "Barang siapa yang telah membai'at seorang imam, lalu dia menyerahkan perjanjian dan ketundukan hatinya maka dia harus mentaatinya semampunya.Jika datang seorang yang menentang imam tersebut, maka kalian penggallah leher –imam- yang lainnya."[7]

13. Hikmah dalam Dakwah ilallah

Allah ta'ala befirman,

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Ali Imran: 159)
Dan Rasulullah  bersabda, "Sesunguhnya kelemah lembutan pada sesuatu tidaklah kecuali akan menghiasinya dan tidaklah kelemah lembutan tersebut terangkat dari sesuatu kecuali akan menjadikannya aib."
Dan demikian juga dari banyak contoh teladan Rasulullah  dalam dakwah ilallah, dimana beliau  mengiringkan kelemah lembutan, kesantunan, ucapan yang tegas namun bil-hikmah serta akhlak yang mulia dalam interaksi dakwah, menunjukkan keutamaan hikmah dalam dakwah ilallah.

14. Memberikan perhatian pada ilmu syara' yang berdasarkan pada al-Qur`an, as-Sunnah dan atsar-atsar Salaful Ummah, menuntut ilmu tersebut lalu mengamalkannya.

Allah ta'ala berfirman,

"Ketahuilah bahwa tiada Ilah yang hak selain Allah dan mintalah ampunan akan dosamu." (Muhammad: 19)
Dan dari Ali bin Abi Thalib a dan 'Abdullah bin Mas'ud a keduanya mengatakan, "Tidak akan bermanfaat suatu perkataan tanpa diiringi dengan amal, dan tidak akan bermanfaat suatu amalan tanpa perkataan dan tidak akan bermanfaat perkataan dan amalan tanpa diiringi dengan niat, dan tidak lah berarti suatu niat tanpa keselarasan dengan sunnah."[8]

15. Kesungguhan untuk mengadakan at-tashfiyah yang menyeluruh dan at-tarbiyah diatas pundasi at-tashfiyah ini.

Yaitu dengan mengembalikan pemurnian pemahaman dan ushul Dakwah ilallah kepada al-Qur`an, as-Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama as-Salaf. Makna at-tashfiyah adalah pemurnian Islam kembali kepada Islam dari segala sesuatu yang bukan bagian dari Islam, baik dalam aqidah, hukum dan akhlak, sehingga Islam kembali bersir cemerlang seperti pada pakaian Risalah Nubuwwah yang diturunkan kepada Muhammad . Sedangkan at-tarbiyah adalah, pencapaian diri manusia pada kesempurnaan yang sepadan sedikit demi sedikit.
At-tashfiyah (pemurnian) pada al-manhaj al-'ilmi dan juga al-manhaj al-'amali, dari setiap penyimpangan dan penyelisihan atas manhaj as-Salaf disertai dengan at-tarbiyah (pendidikan/pengajaran) ar-rabbaniyah. Nabi  sendiri adalah peletak dasar at-tashfiyah dan at-tarbiyah ar-rabbaniyah ini, Allah ta'ala berfirman,

"Dan Dialah yang telah mengutus pada kaum yang ummi, seorang rasul dari mereka. –Rasul itu- membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, membersihkan hati mereka dan mengajarkan mereka al-Kitab dan hikmah, walau mereka sebelumnya berada pada kesesatan yang nyata." (al-Jumu'ah: 2)
Dan sepeninggal beliau  yang melanjutkan kewajiban at-tashfiyah dan at-tarbiyah adalah para ulama dan thalabul ilmi, firman Allah ta'ala,

"Akan tetapi kalian jadilah para Rabbaniyyin, dimana kalian mengajarkan kaum manusia al-Kitab dan disebabkan kalian terus mempelajarinya." (Ali Imran: 79)
Dan manhaj at-tashfiyah dan at-tarbiyah ini adalah suatu yang harus selalu menyertai dakwah Salafiyah, dan sebagai suatu keharusan dalam manhaj ad-Dakwah, asy-Syaikh al-'Allamah Nashiruddin al-Albani mengatakan, "Dan menjadi keharusan untuk memulai dengan at-tashfiyah dan at-tarbiyah. Dan setiap gerakan apapun yang tidak ditegakkan dengan pundasi ini maka tidak ada faedah sama sekali pada gerakan tersebut secara mutlak."[9]

(Bersambung)


[1] Muslim 1/130-131
[2] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Walaupun yang mereka selisihi adalah orang tua dan ulama-ulama mereka. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ath-Thahawi didalam Syarah Ma’ani Al-Atsar (1/372), dengan sanad yang kesemua perawinya tsiqah, dari Salim bin Abdullah bin Umar, ia berkata: “Suatu ketika saya duduk bersama Ibnu Umar dimasjid. Tiba-tiba datang kehadapan beliau seorang penduduk Syam, lalu bertanya kepadanya tentang haji tamattu’, di dalam Umrah ke Haji.
Ibnu Umar berkata: “Itu adalah amalan yang baik lagi bagus.”
Laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya bapakmu pernah melarangnya.”
Ibnu Umar berkata: “Celaka engkau ! walaupun bapakku melarangnya, namun Nabi r telah melakukannya dan memerintahkannya. Apakah engkau akan mengambil pendapat bapakku atau perintah Rasulullah r ?!”
Laki-laki itu menjawab: “Dengan perintah Rasulullah r .”
Ibnu Umar berkata: “Pergilah diriku.”
Ahmad meriwayatkan semisalnya (no.5700), At-Tirmidzi (2/82-At-Tuhfah) dan beliau menshahihkannya.
[3] At-Tahrim : 9
[4] Majmu' al-Fatawa 28/231.
[5] Majmu' Al-Fatawa 4 / 13
[6] Al-I'tisham 1/193-194.
[7] HR. Muslim, Kitab al-Imarah 3/1473.
[8] Dikeluarkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari'ah hal. 131, Al-Laalikai dalam Syarh I'tiqad 1 / 57 dari perkataan Al-Hasan Al-Bashri dan Sa'id bin Jubair , dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 9 dari Sufyan Ats-Tsauri.
[9] Lihat al-Bashair hal. 118