Jumat, 09 Januari 2009

Fiqh an-Nisa - asy Syaikh al-Albani

Bagian kedua:
[Pasal : Menggauli Wanita Haidh pada Farjinya]
Dan diharamkan seorang lelaki menyetubuhi wanita haid pada farjinya, tapi dibolehkan untuk bermesraan tanpa jima’. Hukum ini berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik, “Bahwasanya orang Yahudi jika para wanitanya mengalami haid, memperlakukan mereka dengan buruk dan tidak berkumpul dengan mereka di dalam rumah. Para sahabat Nabi  menanyakan hal tersebut kepada beliau, maka turunlah ayat,
ﭽ ﮠ ﮡ ﮢﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ...
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : haid adalah kotoran, maka tinggalkanlah wanita-wanita haid……” sampai akhir ayat.
Lalu Rasulullah  bersabda,
اصنعوا كل شيئ إلا النكاح. وفي لفظ : إلا الجماع
“Lakukan apa saja kecuali nikah”, dalam lafazh yang lain : kecuali jima’ “
Hadits ini adalah riwayat al-Jama'ah kecuali al-Bukhari.

Dan Rasulullah  juga bersabda,
من أتى حائضا أو امرأة في دبرها أو كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa mendatangi (menyetubuhi) wanita haid atau (menyetubuhi) wanita di duburnya, atau mendatangi tukang ramal dan membenarkan perkataannya, maka ia telah kafir pada apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi Wassalam.”
Hadits ini riwayat para penulis kitab as-Sunan dengan sanad yang shahih, sebagaimana dijelaskan dalam “Naqdut Taaj” No. 64.
Haramnya menyetubuhi wanita haid adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Berdasarkan hadits ini, Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin al-Hasan serta Ishaq dan selainnya berpendapat bahwa menyetubuhi wanita di tempat selain yang disebut dalam hadits ini dibolehkan, dan di makruhkan bagi orang yang khawatir jatuh ke dalam keharaman, Dimana ia dianggap tindakan pencegahan, agar jangan sampai hal itu menjadi mediator yang membuatnya terjatuh ke dalam hal yang haram.
Maka bagi siapa yang melakukan perbuatan terlarang, seperti yang disebut dalam hadits ini, hendaknya ia bersedekah satu atau setengah dinar. Ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas dari Nabi  ,yang memerintahkan orang yang mendatangi istrinya yang sedang haid, agar ia bersedekah satu atau setengah dinar.
Haditsnya diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dengan sanad yang shahih. Al-‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir menganalisa secara panjang lebar tentang sanad hadits ini, dan tentang dishahihkannya hadits ini oleh sebagian ulama, dalam ta’liqnya atas Sunan At-Tirmidzi ( 1 / 246 – 254).

[Pasal: Larangan Shalat dan Puasa bagi wanita yang sedang Haidh]
Wanita haid tidak shalat dan juga tidak puasa. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam kepada para wanita :
أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل؟ قلن بلى . قال : (فذلكن من نقصان عقلها أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟) قلن : بلى. قال : فذلك من نقصان دينها
“Bukankah persaksian wanita itu sama dengan setengah persaksian lelaki ?” Para wanita menjawab, “Benar”, Beliau bersabda, “Itulah yang menunjukkan kekurangan akalnya. Bukankah wanita jika sedang haid ia tidak shalat dan tidak puasa ?” Para wanita menjawab lagi, “Benar’”. Beliau bersabda lagi, “Itulah yang menunjukkan kekurangan agamanya.“ (HR. al-Bukhari).

Wanita yang haid harus mengqadha puasanya dan tidak perlu mengqada shalatnya. Ini berdasarkan riwayat dari Mu’adzah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, “Bagaimana seorang yang haid harus mengqada’ puasa namun tidak perlu mengqadha shalat?" Beliau berkata, “Ketika kami masih bersama Rasulullah , kami pernah mengalaminya. Maka kami diperintahkan untuk mengqada’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”. (HR. Al-Jama’ah).

[Larangan Thawaf bagi wanita yang sedang Haidh]
Wanita haid juga tidak boleh melakukan thawaf di Ka’bah berdasarkan sabda Nabi ,
الحائض تقضي المناسك كلها إلا الطواف بالبيت
“Wanita haid boleh melakukan semua manasik haji kecuali tawaf di Ka’bah”.
Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad (6/137) dari Aisyah dan (1/364) dari Ibnu Abbas. Kedua riwayat ini saling menguatkan satu sama lain, dan maknanya tercantum dalam Ash-Shahihain.

[Wanita Haidh turut menghadiri Shalat al-'Ied dan Bertakbir akan tetapi Tidak turut serta mengerjakan Shalat al-'Ied]
Hendaknya wanita haid juga menghadiri shalat ‘Ied, bertakbir bersama dengan jamaah, meskipun Ia tidak shalat. dari Ummu Athiyah, ia berkata, “Pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah  memerintahkan agar kami membawa keluar para budak, wanita haid dan wanita-wanita –yaitu para gadis- yang tinggal di dalam rumah. Walaupun wanita haid tidak melakukan shalat, namun tetap dapat menyaksikan kebaikan yang ada di dalamnya dan dakwahnya kaum muslimin. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab (pakaian luar yang menutup aurat), maka beliau bersabda,
لتلبسها أختها من جلبابها
“Hendaknya saudara perempuannya meminjamkan jilbab untuknya”.
Dan dalam riwayat lain, “Dahulu kami, orang-orang tua dan para gadis, diperintah untuk keluar pada dua hari raya." lalu beliau berkata lagi, wanita haid juga ikut keluar duduk di belakang orang-orang dan ikut bertakbir."
Hadits riwayat Muslim (3/20 – 21). Silahkan dirujuk pada riwayat al-Bukhari pada pembahasan shalat dua hari ‘Ied dan selainnya.

[Wanita yang sedang Haidh boleh Masuk ke Masjid]
Wanita haidpun boleh masuk ke masjid, berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ia berkata, “Rasulullah  bersabda padaku, “Ambilkan untukku al-Khumrah (tikar) di masjid. Akupun menjawab, “Aku sedang haid”. Beliau  bersabda,
تناوليها فإن الحيض ليست في يدك
“Ambilkanlah, sesungguhnya haidnya bukan di tanganmu”.
(Muslim: 168, Abu Daud: 41, an-Nasa`i (1/52,53,68), at-Tirmidzi (1/241) dan dishahihkan olehnya, ad-Darimi (248), Ibnu Majah (218), Ahmad (6/45, 101, 106, 110, 111, 114, 173, 179, 208, 214, 229, 245) dari banyak jalur yang berasal dari Aisyah.
Dan dalam bab ini juga ada riwayat yang berasal dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa`i, Ahmad (2/428, 6/214) dan yang berasal dari Ummu salamah yang diriwayatkan oleh an-Nasa`i dan Ahmad (6/331, 334) dan dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/70 & 86) dan dari Anas yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dan dari dari Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam “al-Kabir”. Semua ini terdapat dalam “al-Majma’ “(1/283).
Ibnu Hazm (2/184-187) juga membolehkan bagi wanita untuk masuk ke masjid. Beliau menghikayatkan pendapat tersebut dari al-Muzani, Daud dan yang lainnya.

[Interaksi dalam hal makan, minum dan selainnya dengan wanita yang sedang Haidh]
Melakukan interaksi dengan wanita haid juga merupakan hal yang dibolehkan. Dari Aisyah, Ia berkata, “Aku pernah minum, ketika aku sedang haid, lalu aku memberikan minumku kepada Nabi  . Dia meletakkan bibirnya di bekas tempat bibirku pada tempat minum kami”.
Hadits di atas adalah riwayat al-Jamaah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi. Juga terdapat dalam Al Musnad (6/62-64, 127, 192, 210 & 214) dan Sunan ad-Darimi (1/246).
Dan telah berkata Abdullah bin Sa’d : “Aku bertanya kepada Nabi  tentang hukum berinteraksi dengan wanita haid. Beliaupun bersabda, “Berinteraksilah dengannya."
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1/240), ad-Darimi (248) dan Ahmad (4/342 & 5/293) dari Abdur Rahman bin Mahdi dia berkata bahwa Mu’awiyah bin Shalih telah menceritakan kepada kami dari al-Ala’ bin Al Harits dari Haraam bin Mu’awiyah dari Abdullah.
Dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan. Dan hadits ini memang seperti yang beliau katakan (sanadnya hasan).
Kemudian ad-Darimi juga mengeluarkan hadits ini (1/249) dari jalan al-Haitsam bin Humaid berkata bahwa al-'Ala` bin al-Harits telah menceritakan kepada kami, dengan lafazh sebagai berikut, “Rasulullah  telah bersabda,
إن بعض أهلي لحائض وإنا لمتعشون إن شاء الله جميعا
"Sesungguhnya beberapa orang dari keluargaku sedang haid dan kami tetap tinggal bersama Insya Allah”.
Dan tidak diperbolehkan menggauli wanita kecuali setelah wanita tersebut hanya mengalami istihadhah dan telah mandi. Karena mandi merupakan kewajiban atasnya, sebagaimana Firman Allah ‘azza wajalla,
ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ
"Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka telah suci”.
Dan suci disini ditandai dengan berhentinya haid,
ﮱ ﯓ
“Dan jika mereka telah suci” yaitu telah mandi,
ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ
“Maka datangilah (gaulilah) mereka di tempat yang telah Allah perintahkan untuk kalian” (Qs.Al-Baqarah:222).
Ini madzhab mayritas ulama. Lihat juga pada Sunan ad-Darimi (249-251) dan “Nailul Maraam” yang ditulis oleh Siddiq Hasan Khan.
dapun wanita mustahadhah, sepanjang yang kami ketahui, tidak ada pengkhususan sunnah Nabi dalam hal ini. Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal menggauli wanita mustahadhah. mayoritas ulama membolehkannya. Dan inilah pendapat yang benar, karena asal dari segala sesuatu itu adalah boleh. Sedangkan larangan dalam hal ini mengandung mudharat bagi pasangannya. Apalagi jika istihadhah itu berkelanjutan, sebagaimana yang terjadi pada Ummu Habibah binti Jahsy dalam hadits terdahulu.
Alangkah bagusnya hadits yang diriwayatkan oleh ad-Darimi (207) dengan sanad yang shahih dari Salim al-Afthas, ketika berkata, Said bin Jubair ditanya, “Apakah engkau menggauli wanita mustahadhah?” Beliau menjawab, “Shalat lebih agung daripada jima’."
Dan yang semisal itu pula diriwayatkan dari Bakr bin Abdullah al-Muzani dengan sanad yang shahih juga.
Dan haid yang paling sedikit adalah sekali semburan/pancaran. Dan jika seorang wanita melihat darah hitam keluar dari farjinya, maka hendaklah ia menahan diri dari shalat dan puasa …. dan jika ia melihat sisa darah yang merah ….. artinya ia telah suci (“Al Muhalla” 2/191).
(Ats Tsamar Al Mustathab 1 / 35- 45)

Kamis, 08 Januari 2009

Fiqh an-Nisa` - asy Syaikh al-Albani

Bab Haid, Nifas dan Istihadhah
(Bagian Pertama)

Berkata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah :
Haid adalah darah hitam kental, memiliki bau khas yang tidak enak. Jika seorang wanita mendapatinya pada dirinya dia menjadi wanita yang haid.
Dari Fatimah binti Abi Hubaisy, ketika ia sedang haid, Nabi  bersabda kepadanya :
إذا كان دم الحيضة فإنه دم أسود يعرف فإذا كان ذلك فأمسكي عن الصلاة فإذا كان الآخر فتوضئي وصلي فإنها هو عرق
“Jika itu adalah darah haid, maka darahnya hitam sudah dikenal. Jika benar, maka janganlah engkau shalat. Adapun jika darahnya tidak seperti itu, maka berwudhu dan shalatlah, karena itu adalah darah yang berasal dari urat / pembuluh darah”.
)HR. Abu Dawud:45 &50, an-Nasa`i:66, ad-Daraquthni:76, Muslim:174, Ibnu Hazm (2/164) dari Ibnu Abi ‘Adi dia berkata, Muhammad bin ‘Amru telah menceritakan kepada kami dia berkata Ibnu Syihab telah menceritakan kepada kami dari Urwah bin Az Zubair dari Fatimah.
Sanad hadits ini hasan dan Ibnul 'Arabi juga menghasankannya dalam “al-‘Aridhah”. Sedangkan al-Hakim berkata, “Haditsnya shahih berdasarkan syarat Imam Muslim”. dan adz-Dzahabi pun menyetujuinya. Akan tetapi tidak sebagaimana yang mereka katakan.
Kemudian al-Hakim meriwayatkan hadits ini (1/174) dari jalan Suhail bin Abi Shalih dari az-Zuhri dari ‘Urwah bin az-Zubair dari Asma’ binti Umais, beliau berkata, saya mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fatimah binti Abi Hubaisy telah haid sejak begini dan begini maka ia tidak shalat." Maka Rasulullah  bersabda,
سبحان الله هذا من الشيطان لتجلس في المركن, فإذا رأى صفرة من الماء فتغتسل للظهر والعصر غسلا واحدا وتغتسل للمغرب والعشاء غسلا واحدا وتغتسل للفجر وتتوضأ فيما بين ذلك
"Subhanallah, ini berasal dari syetan. Hendaklah ia duduk di bak mandi, maka jika ia melihat cairan kekuningan diatas air, maka hendaklah ia mandi untuk shalat dhuhur dan ashar dengan sekali mandi dan mandi sekali lagi untuk maghrib dan isya’, juga mandi untuk shalat fajar. Adapun waktu-waktu diantara waktu shalat itu cukup dengan wudhu saja.”
Al-Hakim berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim”, dan adz-Dzahabiy menyetujuinya. Hadits tersebut seperti yang mereka berdua katakan.
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (48) dan ad-Daraquthni (79), ath-Thahawi (60-61). Dan hadits ini menunjukkan bahwa as-sufrah (cairan kekuning-kuningan) bukanlah darah haid, berdasarkan sabda beliau , "Darah haid warnanya hitam bisa dikenali." Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm dan mayoritas ulama mazhab azh-Zhahiriyah, sebagaimana disebutkan dalam “al-Muhalla” (2/168).
Adapun al-humrah (cairan kemerahan) dan al-shufrah (cairan kekuningan) yang keluar setelah masa suci tidak perlu dipermasalahkan. Demikian pendapat Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauriy dan al-Auza’iy, asy-Syafi’I dan Ahmad dan yang lainnya.
Dari Aisyah istri Nabi , bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy, ibu mertua Rasulullah , yang menjadi istri Abdurrahman bin Auf mengalami istihadhah selama tujuh tahun, maka ia pun meminta fatwa dari Rasulullah  untuk masalahnya ini. Rasulullah  bersabda,
إن هذا ليست بالحيضة ولكن هذا عرق فاغتسلي وصلي
“Ini bukan darah haid, tapi darah yang keluar dari urat / pembuluh darah, maka mandi dan shalatlah”.
Aisyah berkata, “Ia lalu mandi di mirkan (bak mandi) di kamar saudara perempuannya yaitu Zainab binti Jahsy sampai air penuh dengan warna merah darah. ( Muslim:181,:Abu Daud:44, an-Nasa`i:655, Ibnu Majah:215-216, ad-Darimi:196-198,199,200, Ahmad :6/83,187).
Dan juga diriwayatkan oleh Muslim (181-182), an-Nasa`i (65), Abu Daud (43)
Dan dari Aisyah juga, “Bahwasanya Nabi  i’tikaf bersama sebagian istri beliau, dan dan dia dalam keadaan istihadhah. Ia melihat darah dan menggunakan pembalut untuk menahannya. Aisyah mengaku bahwa yang ia lihat adalah seperti air ‘ushfur dan berkata, “Ini sama seperti pernah dialami oleh Fulanah” (al-Bukhari: 26, ad-Darimi: 217)
Dalam lafadz al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang istri Rasulullah  yang sedang i’tikaf bersama beliau mengalami istihadhah. Ia melihat al-humrah dan ash-shufrah, lalu menggunakan pembalut, namun ia tetap shalat.
Dan dari Ayyub dari Muhammad dari Ummu Athiyah, ia berkata, “Kami dahulu tidak menganggap al-kudrah (cairan yang berwarna keruh) dan ash-shufrah (cairan kekuningan) dan tidak mempermasalahkannya.” ( al-Bukhari: 338, Abu Dawud: 50, an-Nasa`i: 66, ad-Darimi: 214, Ibnu Majah: 222, al-Hakim dalam “al-Mustadrak”:174 ). Lalu diriwayatkan pula oleh ad-Darimi (215), Ibnu Majah (222) dan al-Hakim dalam “al-Mustadrak” dari jalur Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ummul Hudzail dari Ummu ‘Athiyah dengan tambahan, بعد الطهر شيئا (setelah masa bersir tidak mempedulikannya). Dan al-Hakim dalam “al-Mustadrak” berkata, "Hadits ini shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim."
Adapun Ummu al-Hudzail, Ia adalah Hafshah bin Sirin. Demikian yang dikatakan oleh adz-Dzahabi. Hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim karena adanya Hammad bin Salamah. Hadist yang pertama sesuatu dengan syarat mereka berdua, kritikan beliau pada al-Bukhari tidak berarti sama sekali. Ad-Darimi meriwayatkan dari Ibnu Siirin, bahwa beliau mengatakan, “Mereka tidak mempermasalahkan hadits kudrah dan sufrah”.

[Beberapa Kandungan Fiqh Hadist:]
1. Jika haid itu berwarna hitam dan dapat dikenali, maka setiap wanita yang melihat hal itu pada dirinya dan dapat mengenalinya. Dengan demikian berarti ia adalah wanita haid. Apabila tidak seperti itu, berarti ia adalah wanita yang istihadhah.
2. Jika ia tidak dapat membedakan /mengenali darahnya, kerena derasnya atau karena kontinyuitasnya, maka hendaknya wanita itu kembali pada hari-hari kebiasaan haidnya.
3. Jika ia tidak mengetahui hari-hari kebisaan haidnya dan tidak dapat membedakan jenis darahnya, maka hendaknya ia melihat pada kebiasaan wanita haid pada umumnya.

Kandungan fiqh yang pertama ditunjukkan oleh Hadits Fatimah binti Abi Hubaisy. Sedangkan untuk yang kedua disebutkan oleh Hadits Ummu Habibah riwayat Ahmad yang baru saja dibahas dan ini merupakan hadits dari Aisyah.
Ummu Salamah juga telah meriwayatkan hadits tersebut. Sanadnya diriwayatkan oleh Ahmad (6/322-323 & 320,393), Abu Daud (42), an-Nasa`i (65), ad-Darimi (199), Ibnu Majah (215), ad-Daraquthni (76) dari Sulaiman bin Yasar dari Ummu Salamah. Namun jalur ini memiliki cacat karena jalur antara Sulaiman dan Ummu Salamah ada yang terputus (inqitha'). Sedangkan Abu Daud dan yang lain meriwayatkan darinya bahwasanya ada seorang laki-laki yang menceritakan kepadanya dari Ummu Salamah.
Akan tetapi hadits ini memiliki jalur lain dalam “al-Musnad” (6/304) beliau mengatakan, Suraij telah menceritakan kepada kami bahwa Abdullah yaitu Ibnu Umar telah menceritakan kepada kami dari Salim Abi an-Nadhr dari Abu Salamah bin Abdur Rahman dari Ummu Salamah. Dan sanad ini hasan dengan sanad yang ada sebelumnya.
Adapun point ketiga ditunjukkan oleh hadits Hamnah binti Jahsy ketika ia berkata, “Saya pernah istihadhah mengeluarkan darah yang sangat deras dan banyak, maka aku mendatangi Rasulullah  untuk meminta fatwa. Aku mendapatinya berada di rumah saudara perempuanku Zaenab binti Jahsy, aku pun berkata :
“Wahai Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah mengeluarkan darah yang sangat deras dan banyak. Apa pendapatmu tentang ini ? istihadhah ini telah menghalangiku dari shalat dan puasa”. Maka Rasulullah  bersabda, “Sebaiknya engkau menggunakan al-kursuf (kapas), karena ia bisa menahan darah."
Ia berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu”. Rasulullah  menjawab, “Kalau begitu gunakanlah kain."
Ia menjawab, “Darahnya lebih banyak dari itu." Beliau  bersabda, “Sumpallah." Ia menjawab, “Darahnya mengalir deras”. Beliau  lalu bersabda,
سآمرك بأمرين أيهما فعلت فقد أجزأ عنك من الآخر فإن قويت علبهما فأنت أعلم فقال لها : إنما هذه ركضة من ركضات الشيطان فتحيضي ( أي : اجعلي نفسك حائضة ) ستة أيام أو سبعة في علم الله ثم اغتسلي حتى إذا رأيت أنك قد طهرت واستنقيت فصلي أربعا وعشرين ليلة أو دم الحيضة فإنه دم أسود يعرف ثلاثا وعشرين ليلة و أيامها فصومي فإن ذلك مجزيك وكذلك فافعلي في كل شهر كما تحيض النساء وكما يطهرن لميقات حيضهن وطهرهن
وإن قويت أن تؤخر الظهر وتعجلي العصر فتغتسلين ثم تصلين الظهر والعصر جميعا ثم تؤخري المغرب وتعجلي العشاء ثم تغتسلين وتجمعين بين الصلاتين فافعلي وتغتسلين مع الفجر وتصلين فكذلك فافعلي وصلي وصومي إن قدرت على ذلك
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : وهذا أعجب أمرين إلي
“Aku akan memintamu melakukan 2 perkara, mana saja yang engkau lakukan diantara keduanya, maka itu sudah cukup bagimu. Dan jika engkau mampu melakukan keduanya, engkau lebih tahu kemampuanmu sendiri."
Beliau melanjutkan sabdanya,
“Sesungguhnya ini adalah salah satu hentakan diantara hentakan-hentakan syetan yang membuatmu istihadhah. Maka anggaplah enam atau tujuh hari sebagai hari haidmu berdasarkan ilmu Allah, kemudian mandilah hingga engkau merasa dirimu telah suci. Lalu shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari, malam dan siangnya, dan berpuasalah. Yang seperti itu sudah cukup bagimu. Lakukanlah yang demikian itu setiap bulan sebagaimana kaum wanita umumnya mengalami masa haid dan masa suci.
Dan jika engkau mampu untuk mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar, maka mandilah. Lalu shalatlah dengan menggabungkan shalat dhuhur dan ashar. Kemudian bila engkau mampu mengakhirkan shalat maghrib dan mempercepatkan shalat isya, maka mandilah. Lalu shalatlah dengan menggabungkan kedua shalat itu. Dan hendaklah engkau mandi untuk shalat fajar. Begitulah yang harus Engkau lakukan. Shalat dan puasalah jika Engkau mampu melakukannya (dalam kondisimu seperti itu”).
Rasulullah  menambahkan sabdanya, ”Inilah yang lebih kusukai dari dua perkara ini.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ashabus Sunan kecuali An-Nasa`i. Juga diriwayatkan oleh selain mereka. Hadits ini juga terdapat dalam komentar pada kitab “al-Mu’jam” (hal 179/ juz 2) dan hadits tersebut hasan.

Tiga perkara yang telah kami sebutkan diatas adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Dan dalam Sunnah at-Tirmidzi (1/227) disebutkan, ”Ahmad dan Ishaq berkata tentang wanita yang istihadhah,
“Jika wanita tersebut mengetahui haidnya itu, yaitu masa datangnya darah dan masa berakhirnya. Yang dimaksud dengan datangnya darah yaitu ketika darahnya itu berwarna kehitaman dan yang dimaksud dengan masa akhirnya yaitu ketika darahnya berwarna kekuningan. Hukum yang berlaku atasnya adalah berdasarkan hadits Fatimah binti Abi Hubaisy.
Jika ia seorang wanita yang mustahadhah, sedangkan sebelum ia mendapatkan istihadhah ia telah mengetahui hari-hari kebiasaannya tersebut, hendaknya mandi dan berwudhu untuk setiap waktu shalat.
Adapun jika darahnya masih saja berlanjut, sedangkan ia tidak mengetahui hari-hari kebiasaan haidnya, maka hendaknya ia meninggalkan shalat sejumlah hari-hari haidnya. Kemudian hendaknya ia mandi dan berwudhu untuk setiap waktu shalat.
Bila darahnya masih tetap mengalir, sedangkan ia tidak mengetahui hari-hari kebiasaan haidnya, dan tidak mengetahui jenis darah yang keluar (yaitu darah yang keluar pada masa datangnya haid atau masa berhentinya haid), maka hukum yang berlaku atasnya adalah berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy.” Demikianlah pendapat Abu Ubaid.
Dan dalil tentang wajibnya seorang wanita mustahadhah untuk berwudhu setiap datang waktu shalat, adalah hadits dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah, “Bahwasanya Fatimah binti Abi Hubaisy mendatangi Nabi  dan berkata, “Aku sudah haid 1 bulan dan 2 bulan”. Maka Rasulullah  bersabda,
إن ذلك ليس بحيض إنما ذلك عرق فإذا أقبل الحيض فدعي الصلاة وإذا أدبر فاغتسلي لطهرك ثم توضئي عند كل الصلاة
“Sesungguhnya itu bukanlah haid tapi itu adalah darah dari urat /pembuluh darah. Jika darah haid yang datang maka hendaknya engkau meninggalkan shalat dan jika ia telah berakhir mandilah untuk bersuci kemudian berwudlulah untuk setiap waktu shalat.”
Diriwayatkan oleh ath-Thahawi (61) dari Abu Hanifah dari Hisyam, juga oleh al-Bukhari (1/264-265), at-Tirmidzi (1/217-219) dan ad-Daraquthni (76) dari Abu Mu’awiyah.
At-Tirmidzi berkata tentang hadits ini : “Hasan Shahih” seperti yang disebutkan dalam “Nashbur-Rayah” dari Abu Hamzah.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim (180), Abu Daud (44), an-Nasa-i (64), Ibnu Majah (214), ad-Darimi (198), at-Thahawi (62), ad-Daraquthni (76), dan Ahmad (4/84) dari banyak jalur dari Hisyam dengan matan yang sama tanpa lafazh, "berwudhu`lah untuk setiap waktu shalat." Lafazh tersebut merupakan riwayat al-Bukhari dan at-Tirmidzi. Karena itu sebagian dari mereka membahas tentang tambahan ini dan menganggapnya lafazh yang mudrajah ( lafazh yang dimasukkan dalam hadits ). Al-Hafizh menyanggah persangkaan ini dalam “al-Fath”. Terdapat Jalur riwayat lain pada hadits ini dari jalan Urwah bin az-Zubair yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (215), Ath-Thahawi (61), ad-Daraquthni (78), Ahmad (6/428 & 262) dari al-A’masy dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah.
Ibnu Majah menambahkan pada riwayatnya, “Ibnu az-Zubair juga meriwayatkan hadits ini dengan lafazh yang sama namun dengan tambahan, "Wًudhu`lah untuk setiap waktu shalat apabila darah tersebut menetes pada pembalut."
Para perawi hadits ini adalah para perawi asy-Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim). Hanya saja ia memiliki cacat karena terputusnya jalur antara Hubaib dan Urwah. Namun ia masih memiliki jalan periwayatan lainnya dari Fatimah dari Utsman bin Sa’d Al Katib dari Abdullah bin Abi Mulaikah ia berkata, Fatimah binti Abi Hubaisy telah menceritakan kepadaku, “Aku mendatangi Aisyah … " al-hadits. Dan di dalamnya ada sabda Nabi  kepada Aisyah,
مري فاطمة بنت أبي حبيش فلتمسك كل شهر عدد أيام أقرائها ثم تغتسل وتحتشي وتستثفري وتنظف ثم تطهر عند كل صلاة وتصلي…..
“Suruhlah Fatimah binti Abu Hubaisy untuk menahan diri (tidak shalat) beberapa hari dalam setiap bulan sebagai hari haidnya, lalu hendaklah ia mandi dan membalut (farajnya) dengan kapas dan mengalasnya dengan kain dan membersihkannya. Lalu hendaknya ia bersuci (berwudhu) setiap waktu shalat dan shalatlah …”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (6/464), ad-Daraquthni (80), dan al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (175) dan beliau berkata, “Hadits shahih”.
Adapun Utsman bin Sa’d al-Katib, perawi dari Bashrah, seorang perawi yang tsiqah memiliki banyak hadits dan haditsnya banyak dikumpukan oleh para perawi.
Saya mengatakan, ulama hadits selain al-Hakim mendha'ifkannya. Dan dalam “at-Taqrib” disebutkan bahwa ia perawi dha'if. Pada bab ini terdapat beberapa hadits lainnya, silahkan anda merujuknya ke kitab Nahbur-Rayah.
Adapun pendapat tentang wudhunya wanita mustahadhah di setiap waktu shalat, adalah pendapat asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan yang lainnya. Namun Abu Hanifah dan kedua murid beliau mengatakan, “Hendaknya wanita mustadhah berwudhu` untuk setiap waktu shalat. Dan pendapat ini adalah majaz yang terhapus, sehingga dibutuhkan dalil untuk menguatkannya."
Karena itu As Syaukani -mengikuti pendapat Al Hafizh-.membantah pendapat Abu Hanifah ini (240).

Jumat, 02 Januari 2009

Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud

(Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain)


Fenomena semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.
Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :
Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.
Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.
Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.
Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhammad As-Sa’idy, Wa`il bin Hujr, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya.
Maka yang perlu dibahas disini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).

Hadits-Hadits Yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali
Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.

Hadits Pertama

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya Nabi  beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :
Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.
Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata Akhbarani (memberitakan kepadaku).
Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).
‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.

Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
Pertama : Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
Kedua : Syadz karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan karena beberapa perkara :
Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
Yahya bin Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.

Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :
‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.
Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan. Wallahu A’lam.

Hadits Kedua

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah  mengerjakannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.

Derajat Hadits

Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.

Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.

KesimpulanSeluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

Hadits-Hadits Yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan

Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :

ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا

“Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.

Derajat Hadits

Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).

Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.

Kesimpulan :
Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.

FATWA LAJNAH DA'IMAH (DEWAN TETAP ARAB SAUDI) SEPUTAR BENCANA DI JALUR GAZA

Penulis : Lajnah Da'imah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta'

Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi dan rasul yang paling mulia, nabi kita Muhammad dan kepada keluarga beliau beserta para shahabatnya dan ummatnya yang setia mengikutinya sampai akhir zaman. Wa ba'da;

Sesungguhnya Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al 'Ilmiyah wal Ifta' (Dewan Tetap Untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia mengikuti (perkembangan yang terjadi) dengan penuh kegalauan dan kesedihan akan apa yang telah terjadi dan sedang terjadi yang menimpa saudara-saudara kita muslimin Palestina dan lebih khusus lagi di Jalur Gaza, dari angkara murka dan terbunuhnya anak-anak, kaum wanita dan orang-orang yang sudah renta, dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kehormatan, rumah-rumah serta bangunan-bangunan yang dihancurkan dan pengusiran penduduk. Tidak diragukan lagi ini adalah kejahatan dan kedzaliman terhadap penduduk Palestina.

Dan dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan ini wajib atas ummat Islam berdiri satu barisan bersama saudara-saudara mereka di Palestina dan bahu membahu dengan mereka, ikut membela dan membantu mereka serta bersungguh-sungguh dalam menepis kedzaliman yang menimpa mereka dengan sebab dan sarana apa pun yang mungkin dilakukan sebagai wujud dari persaudaraan seagama dan seikatan iman. Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara". (Al Hujurat: 10) dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: "Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain". (At-Taubah: 71) dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan yang saling menopang, lalu beliau menautkan antar jari-jemari (kedua tangannya)". (Muttafaqun 'Alaihi) dan beliau juga bersabda: "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan sakit dan tidak bisa tidur". (Muttafaqun 'Alaihi) dan beliau juga bersabda: "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak mendzalimi saudaranya, tidak menipunya, tidak memperdayanya dan tidak meremehkannya". (HR. Muslim)

Dan pembelaan bentuknya umum mencakup banyak aspek sesuai kemampuan sambil tetap memperhatikan keadaan, apakah dalam bentuk benda atau suatu yang abstrak dan apakah dari awam muslimin berupa harta, makanan, obat-obatan, pakaian, dan yang lain sebagainya. Atau dari pihak pemerintah Arab dan negeri-negeri Islam dengan mempermudah sampainya bantuan-bantuan kepada mereka dan mengambil posisi dibelakang mereka dan membela kepentingan-kepentingan mereka di pertemuan-pertemuan, acara-acara, dan musyawarah-musyawarah antar negara dan dalam negeri. Semua itu termasuk ke dalam bekerjasama di atas kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan di dalam firman-Nya: "Dan bekerjasamalah kalian di atas kebajikan dan ketakwaan". (Al Ma'idah: 2)

Dan termasuk dalam hal ini juga, menyampaikan nasihat kepada mereka dan menunjuki mereka kepada setiap kebaikan bagi mereka. Dan diantaranya yang paling besar, mendoakan mereka pada setiap waktu agar cobaan ini diangkat dari mereka dan agar bencana ini disingkap dari mereka dan mendoakan mereka agar Allah memulihkan keadaan mereka dan membimbing amalan dan ucapan mereka.

Dan sesungguhnya kami mewasiatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di Palestina untuk bertakwa kepada Allah Ta'ala dan bertaubat kepada-Nya, sebagaimana kami mewasiatkan mereka agar bersatu di atas kebenaran dan meninggalkan perpecahan dan pertikaian, serta menutup celah bagi pihak musuh yang memanfaatkan kesempatan dan akan terus memanfaatkan (kondisi ini) dengan melakukan tindak kesewenang-wenangan dan pelecehan.

Dan kami menganjurkan kepada semua saudara-saudara kami untuk menempuh sebab-sebab agar terangkatnya kesewenang-wenangan terhadap negeri mereka sambil tetap menjaga keikhlasan dalam berbuat karena Allah Ta'ala dan mencari keridha'an-Nya dan mengambil bantuan dengan kesabaran dan shalat dan musyawarah dengan para ulama dan orang-orang yang berakal dan bijak disetiap urusan mereka, karena itu semua potensial kepada taufik dan benarnya langkah.

Sebagaimana kami juga mengajak kepada orang-orang yang berakal di setiap negeri dan masyarakat dunia seluruhnya untuk melihat kepada bencana ini dengan kacamata orang yang berakal dan sikap yang adil untuk memberikan kepada masyarakat Palestina hak-hak mereka dan mengangkat kedzaliman dari mereka agar mereka hidup dengan kehidupan yang mulia. Sekaligus kami juga berterima kasih kepada setiap pihak yang berlomba-lomba dalam membela dan membantu mereka dari negara-negara dan individu.

Kami mohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi untuk menyingkap kesedihan dari ummat ini dan memuliakan agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya dan memenangkan para wali-Nya dan menghinakan musuh-musuh-Nya dan menjadikan tipu daya mereka boomerang bagi mereka dan menjaga ummat Islam dari kejahata-kejahatan mereka, sesungguhnya Dialah Penolong kita dalam hal ini dan Dzat Yang Maha Berkuasa.

Dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga serta shahabatnya dan ummatnya yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat.