Selasa, 15 September 2009

Konsep Jihad Syar'i

Inikah JIHAD ??
(Al-Ustadz Abu Fa'izah Abdul Qadir)
www.almakassari. com

Peledakan demi peledakan terjadi di negeri kita. Yang satu belum terlupakan dan bekasnya masih ada, duh yang lain terjadi lagi. Terakhir masyarakat Indonesia Raya dikagetkan lagi oleh sebuah ledakan di Hotel JW Marriott pada tanggal 17 Juli 2009 M.

Sebagian orang yang terpengaruh dengan paham Khawarij menyangka bahwa semua tindak teror tersebut adalah ibadah jihad yang mendapatkan ganjaran pahala yang amat besar di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Tapi, demikiankah jihad??!
Para pembaca yang budiman, apa yang dilakukan oleh para teroris tersebut bukanlah jihad sedikitpun!! Bahkan ia adalah sebuah bentuk pemberontakan kepada pemerintah muslim, dalam hal ini Bapak SBY �semoga Allah selalu memberinya petunjuk dan kekuatan-. Sedangkan pemberontakan kepada seorang pemerintah muslim adalah amat haram!!!

Kalian jangan tertipu dengan pengakuan batil mereka yang menyatakan bahwa perbuatan mereka adalah JIHAD, walaupun mereka menghiasi perbuatan batil mereka dengan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang JIHAD. Demikianlah kebiasaan buruk mereka dari zaman ke zaman, mereka senantiasa berdalih dengan ayat atau hadits, padahal ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut menjadi bumerang atas diri mereka yang tidak menempatkannya pada tempatnya. Sebab ayat-ayat atau hadits-hadits JIHAD menjelaskan bahwa jihad yang dimaksudkan adalah JIHAD bersama pemerintah dan atas izinnya, bukan kembali kepada ide dan hawa nafsu setiap orang, walaupun ia melantik dirinya sebagai "MUJAHIDIN"!!!

Al-Imam Abu Ja'far Ath-Thohawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan Aqidah Ahlus Sunnah, "Haji, dan jihad akan terus berjalan bersama pemerintah dari kalangan kaum muslimin, yang baik maupun yang fajir sampai tegaknya hari kiamat, tak akan dibatalkan dan digugurkan oleh sesuatu apapun". [Lihat Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 50)]
Para teroris menganggap perbuatan mereka merupakan perbaikan yang membawa kemaslahatan. Ini adalah sangkaan batil, sebab bagaimana mungkin suatu perusakan dikatakan perbaikan. Cukuplah kerusakan dari tindak jahat mereka tersebut, jauhnya manusia dari Islam, dan banyaknya persangkaan buruk kepada Islam beserta pemeluknya. Belum lagi akibat buruk lainnya, berupa sempitnya gerak dakwah Islam di berbagai tempat. Mereka inilah yang disebutkan oleh Allah -Azza wa Jalla- di dalam firman-Nya,
"Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya dalam kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. Padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanaman-tanaman dan binatang ternak. Sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", maka bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah baginya neraka jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya" . (Al-Baqoroh : 204-206)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam Abdur Rahman Ibn Nashir As-Sa'diy -rahimahullah- berkata, "Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa ucapan-ucapan yang muncul dari orang-orang, bukanlah dalil tentang kejujuran atau kedustaan, kebajikan atau kefajiran sampai ada perbuatan yang membenarkan ucapannya atau membersihkannya. Seyogyanya menguji kondisi orang-orang yang memberi kesaksian, para pejuang kebenaran, dan para pejuang kebatilan dari kalangan manusia dengan meneliti perbuatan-perbuatan mereka, memperhatikan korelasi-korelasi dari kondisi mereka, serta jangan tertipu dengan kecohan mereka, dan penyucian mereka terhadap diri mereka sendiri". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman min Kalam Al-Mannan (hal. 94) oleh As-Sa'diy]

Seorang teroris (walaupun ia mengaku sebagai "mujahid") jika niatnya ingin melakukan perbaikan di muka bumi dengan tindak terornya, maka ucapannya tidak boleh kita benarkan begitu saja, sebab apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang benar, bahkan perbuatan batil. Mana ada dalil dalam Al-Qur'an atau Sunnah yang menyatakan bahwa jihad boleh dikumandangkan tanpa ada izin dari pemerintah muslim?! Mana hujjahnya (dalil) bahwa membunuh orang kafir mu'ahad atau musta'min atau kafir dzimmi adalah sesuatu yang dibenarkan?! Tolong datangkan dalilnya -wahai para teroris- bahwa jihad adalah membunuh kaum muslimin?!
Semua pertanyaan-pertanya an ini tidak akan mampu dijawab oleh kaum KHAWARIJ-TERORIS, kecuali mereka harus berdusta dan menipu kaum muslimin dengan silat lidah mereka yang licik.

Membunuh orang-orang kafir di luar medan jihad, dan tanpa ada izin dari pemerintah adalah perbuatan kezhaliman di sisi Allah, sebab perbuatan itu akan melahirkan kerusakan besar bagi kaum muslimin. Inilah yang pernah dikatakan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
" Oleh Karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterang an yang jelas. Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi". (QS. Al-Maa'idah: 32)

Inilah hukum yang Allah tetapkan bagi Bani Isra'il, suatu kaum yang suka membunuh manusia. Perlu diketahui bahwa hukuman dan ancaman dalam ayat ini tidak terkhusus bagi Bani Isra'il, tapi mencakup semua umat. Hanya saja Allah mengaitkan ayat ini dengan Bani Isra'il, karena mereka adalah kaum jahat yang amat gemar membunuh manusia, sampai para nabi-nabi pun mereka bunuh.

Ulama Negeri Yaman, Al-Imam Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, "Allah menyebutkan Bani Isra'il secara khusus, karena konteks ayat menyebutkan kejahatan-kejahatan mereka (Bani Isra'il); karena mereka umat pertama yang turun atasnya ancaman dalam hal pembunuhan jiwa. Lantaran itu, lahirlah kecaman keras atas mereka, karena seringnya mereka menumpahkan darah, dan seringnya membunuh para nabi". [Lihat Fath Al-Qodir (2/298)]
Jika orang-orang kafir tinggal bersama kaum muslimin (kafir dzimmi) atau masuk ke negeri kita (kafir mu'ahad atau musta'min) dan mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah kita, maka kita tidak boleh menzhalimi mereka dan menyakitinya, kecuali jika ia melakukan pelanggaran, maka ia diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya. Namun hukuman tersebut tidak dilakukan oleh orang perorangan, tapi kembali kepada pemerintah.

Selain kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin), orang-orang kafir tersebut di atas (kafir dzimmi, mu'ahad, dan musta'min) tidak boleh kita bunuh, dan tidak boleh pula dizhalimi. Inilah yang pernah dipraktekkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya -radhiyallahu anhum-. Kaum kafir di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- banyak yang keluar masuk ke negeri Madinah dan Makkah, tapi tak ada sejarahnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- membunuh atau menzhalimi mereka. Adapun kafir harbi atau kaum Yahudi (Bani Isra'il) yang suka membatalkan isi perjanjian, maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerangi mereka demi mencapai kemaslahatan dan menciptakan keamanan. Sebab mereka adalah kaum yang suka berbuat onar sebagaimana juga yang anda lihat sampai hari ini di Negeri Palestina �semoga Allah membersihkannya dari cengkeraman zhalim Bani Isra'il-.
Di dalam sebuah hadits, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam menjelaskan bahwa orang-orang kafir (selain kafir harbi) tidak boleh dibunuh,

" Barangsiapa yang membunuh kafir mu'ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun " . [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3166)]

Nabi -Shollallahu `alaihi wasallam- bersabda,

"Ingatlah, siapa yang menzholimi seorang kafir mu'ahad, merendahkannya, membebani di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya, tanpa keridhoan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (3052). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (445)]

Hadits ini adalah dalil bantahan atas para teroris yang semena-mena mengganggu orang-orang kafir, seperti menyakitinya, menakut-nakutinya, menghalalkan harta mereka, bahkan membunuh mereka sebagaimana yang terjadi di Legian, Bali, dan daerah lainnya.
Abdur Ra'uf Al-Munawiy Asy-Syafi'iy -rahimahullah- berkata ketika menerangkan hadits yang semakna dengan hadits di atas, "Orang kafir yang diberi jaminan keamanan (oleh pemerintah muslim), dan orang mukmin, tidak boleh diganggu jiwa, anggota badan, dan hartanya selama masih ada ikatan perjanjian dan jaminan keamanan. Bagi permasalahan ini ada syarat-syarat dan hukum-hukumnya yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab furu' (fiqih)". [Lihat Faidhul Qodir (6/318)]

Jadi, menganggu, dan menzhalimi kaum kafir tersebut -apalagi membunuhnya- adalah perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bukan seperti yang dipahami oleh para teroris-Khawarij bahwa semua jenis orang kafir boleh dibunuh. Demi Allah, ini adalah bukti kedunguan dan kedangkalan akal mereka. [Lihat Badzl An-Nushhi wa At-Tadzkir li Baqoya Al-Maftunin bi At-Takfir wa At-Tafjir (hal. 42-43) karya Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad, cet. Mathba'ah Safir, 1426 H]

Para pembaca budiman, para teroris dalam aksi kejinya, bukan hanya menzhalimi dan membunuh orang kafir saja, tapi KAUM MUSLIMIN pun tak lepas darinya. Membunuh seorang muslim dengan sengaja, dan tanpa alasan syar'iy merupakan dosa besar yang mendapatkan lima ancaman dalam sebuah nash ayat,

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS. An-Nisa`: 93)
Ibnu Nashir As-Sa'diy berkata, "Tak ada ancaman yang lebih besar dalam semua jenis dosa besar, bahkan tidak pula semisalnya dibandingkan ancaman ini, yaitu pengabaran bahwa balasan orang yang membunuh adalah Jahannam. Maksudnya, cukuplah dosa yang besar ini saja untuk dibalasi pelakunya dengan Jahannam, beserta siksaan yang besar di dalamnya, kerugian yang hina, murkanya Al-Jabbar (Allah), luputnya keberuntungan, dan terjadinya kegagalan, dan kerugian. Kami berlindung kepada Allah dari segala sebab yang menjauhkan dari rahmat-Nya". [Lihat Taisir Al-Karim (hal.193-194) ]

Lihatlah pembaca yang budiman!! Allah mengancamnya di dalam ayat ini dengan neraka Jahannam dan tidak sampai disitu saja, bahkan ia akan lama di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya dan menyediakan siksa yang pedih baginya. Tak heran jika Nabi -Shollallahu `alaihi wasallam- bersabda,

"Sungguh hancurnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang muslim". [HR. At-Tirmidzy dalam As-Sunan (1399), dan An-Nasa`iy dalam As-Sunan (7/82). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ghoyatul Maram (4390)]
Para pembaca yang budiman, saking bodohnya para teroris tersebut, mereka rela membunuh diri dengan bom. Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

"Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka kelak ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari kiamat". [HR. Al-Bukhoriy (no. 6047), dan Muslim (no. 176)]

Semua ayat-ayat dan hadits-hadits di atas meruntuhkan persangkaan batil para teroris-Khawarij yang menyatakan bahwa tindak teror dan peledakan yang mereka lakukan adalah JIHAD!!! Padahal bukan jihad, bahkan perusakan, bunuh diri dan mati konyol !!!
Ulama Negeri Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafizhohullah- berkata setelah peledakan di kota Riyadh yang dilakukan oleh para teroris, "Peristiwa peledakan yang telah terjadi termasuk perkara yang amat buruk dalam hal kejahatan dan perusakan di muka bumi. Perkara yang lebih buruk lagi, setan menghias-hiasi bagi para teroris yang telah melakukan perbuatan itu bahwa perbuatan jahat itu adalah JIHAD. Berdasarkan akal dan agama apakah sehingga JIHAD bisa berupa bunuh diri, membunuh kaum muslimin, dan kaum kafir yang mendapatkan jaminan keamanan, menakut-nakuti masyarakat, membuat para wanita menjadi janda, anak-anak menjadi yatim, merobohkan bangunan bersama orang-orang ada di dalamnya". [Lihat Bi Ayyi Aqlin wa Diin Yakunu At-Tafjir wa At-Tadmir Jihadan?! (hal. 16), oleh Syaikh Al-Abbad]

Mereka berteriak ketika kaum kuffar AS dan sekutunya membantai jutaan kaum muslimin dengan menyatakan bahwa nyawa seorang muslim itu sangat mahal di sisi Allah. Namun di sisi lain, mereka sendiri ternyata juga turut menumpahkan darah kaum muslimin. Parahnya lagi, kesalahan tersebut berusaha ditutupi dan dibenarkan dengan berjuta dalih: "Ini kan jihad", dan "Mereka mati syahid". Seorang yang membunuh dirinya, membunuh kaum muslimin, atau kaum kafir yang tak layak dibunuh, merusak harta benda orang lain, dan membangkang melawan pemerintah. Demikiankah jihad?! Sama sekali bukan jihad, tapi ia adalah teror dan pemberontakan yang diharamkan dalam Islam!!


Sumber : Buletin Jum'at At-Tauhid edisi 125 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te'ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.

Senin, 14 September 2009

Menyikapi Paham Terorisme Khawarij

MENYIKAPI AKSI-AKSI TERORIS KHAWARIJOleh
Al-Ustadz Qomar ZA, Lc

Seperti kita ketahui bersama, dalam kurun enam tahun belakangan ini, negeri kita diguncang sejumlah aksi teroris. Yang paling akhir (semoga memang yang terakhir), adalah bom di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, disusul dengan peristiwa-peristiwa yang membuntutinya. Peristiwa-peristiwa itu menyisakan banyak efek negatif yang menyedihkan bagi kaum muslimin. Betapa tidak. Kaum muslimin yang merupakan umat yang cinta damai kemudian tercitrakan menjadi kaum yang suka melakukan kekerasan.

Kondisi ini diperparah dengan munculnya narasumber-narasumb er dadakan. Di antara mereka ada yang membenarkan “aksi heroik” para teroris ini. Sedangkan yang lain beranggapan bahwa semua orang yang berpenampilan mengikuti sunnah sebagai orang yang sekomplotan dengan para teroris tersebut. Tak ayal, sebagian orang yang bercelana di atas mata kaki pun jadi sasaran kecurigaan, ditambah dengan cambangnya yang lebat dan istrinya yang bercadar. Padahal, bisa jadi hati kecil orang yang berpenampilan mengikuti sunnah tersebut mengutuk perbuatan para teroris yang biadab itu dengan dasar dalil-dalil yang telah sahih dalam syariat.

Oleh karena itu, kami terpanggil untuk sedikit memberikan penjelasan seputar masalah ini, mengingat betapa jeleknya akibat dari aksi-aksi teror tersebut. Di mana aksi-aksi tersebut telah memakan banyak korban, baik jiwa maupun harta benda, sesuatu yang tak tersamarkan bagi kita semua.
Nah, darimanakah teror fisik ini muncul, sehingga berakibat sesuatu yang begitu kejam dan selalu mengancam? Tak lain teror fisik ini hanyalah buah dari sebuah teror pemikiran yang senantiasa bercokol pada otak para aktor teror tersebut, yang akan terus membuahkan kegiatan selama teror pemikiran tersebut belum hilang.
Apa yang dimaksud dengan teror pemikiran? Tidak lain, keyakinan bahwa sebagian kaum muslimin telah murtad dan menjadi kafir, khususnya para penguasa. Bahkan di antara penganut keyakinan ini ada yang memperluas radius pengkafiran itu tidak semata pada para penguasa, baik pengkafiran itu dengan alasan ‘tidak berhukum dengan hukum Allah‘ atau dengan alasan ‘telah berloyal kepada orang kafir‘, atau dalih yang lain. Demikian mengerikan pemikiran dan keyakinan ini sehingga pantaslah disebut sebagai teror pemikiran. Keyakinan semacam ini di masa lalu dijunjung tinggi oleh kelompok sempalan yang disebut dengan Khawarij.

Dengan demikian, teror pemikiran inilah yang banyak memakan korban. Dan ketahuilah, korban pertama sebelum orang lain adalah justru para pelaku bom bunuh diri tersebut. Mereka terjerat paham yang jahat dan berbahaya ini, sehingga mereka menjadi martir yang siap menerima perintah dari komandannya dalam rangka memerangi “musuh” (versi mereka). Lebih parah lagi, mereka menganggapnya sebagai jihad yang menjanjikan sambutan bidadari sejak saat kematiannya. Keyakinan semacam inilah yang memompa mereka untuk siap menanggung segala risiko dengan penuh sukacita. Sehingga berangkatlah mereka, dan terjadilah apa yang terjadi…
Benarkah mereka disambut bidadari setelah meledaknya tubuh mereka hancur berkeping-keping dengan operasi bom bunuh diri tersebut? Jauh panggang dari api! Bagaimana dikatakan syahid, sementara ia melakukan suatu dosa besar yaitu bunuh diri! Kita tidak mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita hanya menghukuminya secara zhahir (lahir) berdasarkan kaidah hukum, tidak boleh bagi kita memastikan bahwa seseorang itu syahid dengan segala konsekuensinya. Bahkan berbagai hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mencela Khawarij dan mengecam bunuh diri lebih tepat diterapkan kepada mereka. Oleh karena itulah, saya katakan: Mereka adalah korban pertama kejahatan paham Khawarij sebelum orang lain.

Tolong hal ini direnungi dan dipahami. Terutama bagi mereka yang ternodai oleh paham ini. Selamatkan diri kalian. Kasihanilah diri kalian, keluarga kalian, dan umat ini. Kalian telah salah jalan. Bukan itu jalan jihad yang sebenarnya. Segeralah kembali sebelum ajal menjemput. Sebelum kalian menjadi korban berikutnya. Teman-teman seperjuangan dan juga ustadz kalian tidak akan dapat menolong kalian dari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masing-masing akan mempertanggungjawab kan amalnya sendiri:
وَكُلُّهُمْ آَتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا (95) [مريم/95]
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.“ (Maryam: 95)
Sekadar itikad baik tidaklah cukup. Itikad baik haruslah berjalan seiring dengan cara yang baik.

Kami goreskan tinta dalam lembar-lembar yang singkat ini, dengan tujuan agar semua pihak mendapatkan hidayah. Barangkali masih ada orang yang sudi membaca dan merenungkannya dengan penuh kesadaran. Juga agar semua pihak dapat bersikap dengan benar dan baik. Sekaligus ini sebagai pernyataan sikap kami, karena kami pun menuai getah dari aksi teror tersebut.

Taat kepada pemerintah dalam hal yang baik

Kaum muslimin harus meyakini tentang wajibnya taat kepada pemerintah dalam perkara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59) [النساء/59]
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ (An-Nisa: 59)

Ulil Amri adalah para ulama dan para umara’ (para penguasa), sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsirnya. (Tafsir Al-Qur‘anil ‘Azhim, 1/530)
Seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bernama Al-Irbadh Radhiyallah ‘anhu mengatakan:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ n ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟ فَقَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat mengimami kami, lalu beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat mengena. Air mata berderai dan qalbu pun bergoncang karenanya. Maka seseorang mengatakan: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan. Lalu apa wasiat anda kepada kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendengar dan taat (kepada penguasa) sekalipun dia seorang budak sahaya dari Habasyah (sekarang Ethiopia, red.). Karena siapa saja yang hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian pada sunnahku dan sunnah (tuntunan) para khulafa‘ur-rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian, serta jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam Islam), karena segala yang baru tersebut adalah bid‘ah dan segala yang bid‘ah adalah kesesatan.“ (Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lain)

Untuk lebih lengkapnya, lihat pembahasan pada majalah Asy Syariah Vol. I/05.

Berlepas diri dari aksi teror
Kaum muslimin harus berlepas diri dari aksi-aksi teroris, karena aksi-aksi tersebut bertolak belakang dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta sebagaimana dalam firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107) [الأنبياء/107]
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.“ (Al-Anbiya: 107)
Beliau adalah seorang nabi yang sangat memiliki kasih sayang dan kelembutan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (128) [التوبة/128]
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.“ (At-Taubah: 128)

Dalam sebuah riwayat dari Atha’ bin Yasar, ia berkata: Aku berjumpa dengan Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallah ‘anhuma maka aku pun mengatakan:
أَخْبِرْنِي عَنْ صِفَةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي التَّوْرَاةِ. فَقَالَ: أَجَلْ، وَاللهِ إِنَّهُ لَمَوْصُوفٌ فِي التَّوْرَاةِ بِصِفَتِهِ فِي الْقُرْآنِ: يا أَيُّهَا النبي إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً وَحِرْزاً لِلْأُمِّيِّينَ وَأَنْتَ عَبْدِي وَرَسُوْلِي سَمَّيْتُكَ الْمُتَوَكِّلَ لَسْتَ بِفَظٍّ وَلاَ غَلِيظٍ وَلاَ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ. قَالَ يُونُسُ: وَلاَ صَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَةَ بِالسَّيِّئَةِ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ وَلَنْ يَقْبِضَهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُناً عُمْياً وَآذَاناً صُمًّا وَقُلُوباً غُلْفاً
“Kabarkan kepadaku tentang sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam kitab Taurat.” Beliau menjawab: “Ya, demi Allah, beliau disifati dalam kitab Taurat seperti beliau disifati dalam Al-Qur’an: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, sebagai pembawa berita gembira, sebagai pemberi peringatan, sebagai pelindung bagi kaum yang ummi. Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Aku menamaimu Al-Mutawakkil (orang yang bertawakkal) . Engkau bukanlah orang yang kasar tutur katamu, bukan pula kaku tingkah lakumu, bukan orang yang suka berteriak-teriak di pasar, bukan pula orang yang membalas kejelekan dengan kejelekan, akan tetapi justru memaafkan dan mengampuni kesalahan. Allah tidak akan mewafatkannya hingga Allah meluruskan dengannya agama yang bengkok, dengan orang-orang mengucapkan La Ilaha illallah. Dengan kalimat itu ia membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan qalbu yang tertutup.“ (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2018, Ahmad dalam kitab Musnad, dan yang lain)

Bahkan dalam kondisi perang melawan orang kafir sekalipun, masih nampak sifat kasih sayang beliau. Sebagaimana pesan beliau kepada para komandan pasukan perang yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعْهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا، ثُمَّ قَالَ: اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ، في سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ -أَوْ خِلَالٍ- فَأَيَّتُهُنَّ مَا أََجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ…
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bila menetapkan seorang komandan sebuah pasukan perang yang besar atau kecil, beliau berpesan kepadanya secara khusus untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang bersamanya, lalu beliau mengatakan: “Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah. Perangilah orang yang kafir terhadap Allah. Berperanglah, jangan kalian melakukan ghulul (mencuri rampasan perang), jangan berkhianat, jangan mencincang mayat, dan jangan pula membunuh anak-anak. Bila kamu berjumpa dengan musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah kepada tiga perkara. Mana yang mereka terima, maka terimalah dari mereka dan jangan perangi mereka. Ajaklah mereka kepada Islam, kalau mereka terima maka terimalah dan jangan perangi mereka…” (Shahih, HR. Muslim)
Dalam riwayat Ath-Thabarani (Al-Mu‘jam Ash-Shaghir no. hadits 340):
وَلاَ تَجْبُنُوْا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيْدًا، وَلاَ امْرَأةً، وَلاَ شَيْخًا كَبِيْرًا
“Jangan kalian takut, jangan kalian membunuh anak-anak, jangan pula wanita, dan jangan pula orang tua.“

Islam bahkan tidak membolehkan membunuh orang kafir kecuali dalam satu keadaan, yaitu manakala dia sebagai seorang kafir harbi (yang memerangi muslimin). Allah l berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9) [الممتحنة/8، 9]
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (Al-Mumtahanah: 8-9)

Adapun jenis kafir yang lain, semacam kafir dzimmi yaitu orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan dan jaminan penguasa muslim, atau kafir mu‘ahad yaitu seorang kafir yang memiliki perjanjian keamanan dengan pihak muslim, atau kafir musta‘min yaitu yang meminta perlindungan keamanan kepada seorang muslim, atau sebagai duta pihak kafir kepada pihak muslim, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang membunuh mereka. Bahkan mereka dalam jaminan keamanan dari pihak pemerintah muslimin.
Kaum muslimin berlepas diri dari aksi-aksi teror tersebut, karena aksi-aksi tersebut mengandung pelanggaran- pelanggaran terhadap ajaran agama Islam yang mulia. Di antaranya:
1. Membunuh manusia tanpa alasan dan cara yang benar
2. Menumbuhkan rasa ketakutan di tengah masyarakat
3. Merupakan sikap memberontak kepada penguasa muslim yang sah
4. Menyelewengkan makna jihad fi sabilillah yang sebenarnya
5. Membuat kerusakan di muka bumi
6. Merusak harta benda
7. Terorisme Khawarij adalah bid’ah, alias perkara baru yang diada-adakan dalam agama, sehingga merupakan kesesatan.
Dan berbagai pelanggaran agama yang lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30) [النساء/29، 30]
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.“ (An-Nisa: 29-30)

Janganlah membunuh diri kalian, yakni janganlah sebagian kalian membunuh yang lain. Karena sesama kaum muslimin itu bagaikan satu jiwa. (Lihat Tafsir As-Sa‘di)
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) [المائدة/33]
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat tinggalnya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.“ (Al-Maidah: 33)

Makna memerangi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah menentang dan menyelisihi. Kata ini tepat diberikan pada perkara kekafiran, merampok di jalan, dan membuat ketakutan pada perjalanan manusia. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/50)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan mereka melaknati kalian.“ Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang (senjata)?“ Beliau mengatakan: “Jangan, selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah perbuatannya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.“ (Shahih, HR. Muslim)

Dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata:
حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberitahukan kepada kami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim yang lain.“ (Shahih, HR. Abu Dawud)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
كَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Adalah Rasulullah melarang dari ‘katanya dan katanya‘, banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan menyia-nyiakan harta.“ (Shahih, HR. Al-Bukhari dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallah ‘anhu )

Ideologi Teroris Khawarij
Mengapa kami memberi embel-embel kata teroris dengan kata Khawarij? Karena, kata teroris secara mutlak memiliki makna yang luas. Aksi teror telah dilakukan oleh banyak kalangan, baik yang mengatasnamakan Islam ataupun non-Islam, semacam yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap bangsa Palestina pada masa kini, dan semacam yang dilakukan oleh Sekutu terhadap bangsa Jepang dalam peristiwa pengeboman Nagasaki dan Hiroshima di masa lalu. Sehingga dengan penambahan kata “Khawarij” di belakang kata teroris, akan mempersempit pembahasan kita. Pembahasan kita hanya tentang orang-orang yang melakukan aksi-aksi teror di negeri kita akhir-akhir ini yang mengatasnamakan Islam atau mengatasnamakan jihad. Adapun Khawarij, merupakan sebuah kelompok sempalan yang menyempal dari Ash-Shirathul Mustaqim (jalan yang lurus) dengan beberapa ciri khas ideologi mereka.

Mengapa kami menyebutnya ideologi? Karena mereka memiliki sebuah keyakinan yang hakikatnya bersumber dari sebuah ide. Maksud kami, sebuah penafsiran akal pikiran yang keliru terhadap nash (teks) Al-Qur’an atau Al-Hadits. Dari sinilah kemudian mereka menyempal. Sekali lagi, hal ini terjadi akibat penafsiran yang salah terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan akibat penafsiran yang apa adanya, yang menurut sebagian orang kaku atau “saklek“, dan tidak pantas dikatakan sebagai salah satu bentuk ijtihad dalam penafsiran Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Sehingga, ideologi mereka sama sekali tidak bisa disandarkan kepada Islam yang benar. Demikian pula aksi-aksi teror mereka sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan ajaran Islam yang mulia nan indah ini. Bahkan Islam berlepas diri dari mereka. Lebih dari itu, Islam justru sangat mengecam mereka, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebut mereka sebagai anjing-anjing penghuni neraka seperti dalam hadits berikut ini:
كِلاَبُ أَهْلِ النَّارِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوْهُ
“(Mereka) adalah anjing-anjing penghuni neraka. Sebaik-baik korban adalah orang yang mereka bunuh.“ (Shahih, HR. Ahmad dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Lihat Shahih Al-Jami‘ no. 3347)

Para teroris Khawarij yang ada sekarang ini adalah salah satu mata rantai dari kaum Khawarij yang muncul sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam . Ketika itu, para sahabat masih hidup. Merekalah orang-orang yang memberontak kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan Radhiyallah ‘anhu dan membunuhnya. Mereka jugalah yang membunuh Khalifah Ali bin Abu Thalib Radhiyallah ‘anhu. Sekte ini terus berlanjut, turun-temurun diwarisi oleh anak cucu penyandang ideologi Khawarij sampai pada masa ini, yang ditokohi oleh Usamah bin Laden (yang telah diusir dari Kerajaan Saudi Arabia karena pemikirannya yang berbahaya), Al-Mis’ari, Sa’ad Al-Faqih, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka bersama Al-Qaedahnya telah melakukan aksi-aksi teror di Saudi Arabia, bahkan di wilayah Makkah dan Madinah, sehingga menyebabkan kematian banyak orang, baik dari kalangan sipil maupun militer. Karenanya, pemerintah Saudi Arabia beserta para ulamanya (yaitu) anak cucu murid-murid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberantas mereka. Sehingga para teroris Khawarij tersebut -termasuk yang ada di negeri ini- sangat benci kepada pemerintah kerajaan Saudi Arabia, dan ini menjadi salah satu ciri mereka.

Coba perhatikan, siapakah korban aksi teror mereka? Bukankah kaum muslimin? Perhatikanlah bahwa kaum muslimin juga menjadi target operasi mereka. Ya, walau awalnya mereka berdalih memerangi orang kafir, tapi pada akhirnya musliminlah yang menjadi sasaran mereka dan justru mereka akan lebih sibuk memerangi kaum muslimin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ
“Mereka membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala.“ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sehingga kami memohon kepada segenap kaum muslimin agar tidak mengaitkan aksi teror mereka dengan ajaran Islam yang mulia, yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pembawa rahmat. Mereka sangat jauh dari Islam, Islam pun berlepas diri dari mereka. Jangan termakan oleh opini yang sangat dipaksakan untuk mengaitkan aksi-aksi itu dengan Islam. Opini semacam ini hanyalah muncul dari seseorang yang tidak paham terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya dan tidak paham jati diri para teroris Khawarij tersebut, atau muncul dari orang-orang kafir ataupun muslim yang “mengail di air keruh“, yang sengaja menggunakan momentum ini untuk menyudutkan Islam dan muslimin, semacam yang dilakukan pelukis karikatur terlaknat dari Denmark beberapa tahun silam.
Mungkin muncul pertanyaan, “Mengapa teroris Khawarij memerangi muslimin?” Jawabannya, bermula dari penyelewengan makna terhadap ayat:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44) [المائدة/44]
“Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.“ (Al-Maidah: 44)

Kemudian, vonis brutal kepada banyak pihak sebagai kafir. Berikutnya, serampangan dalam memahami dan menerapkan dalil-dalil tentang larangan terhadap seorang muslim berloyal kepada orang kafir, sehingga beranggapan bahwa banyak muslimin sekarang, baik pemerintah secara khusus maupun rakyat sipil secara umum, telah berloyal kepada orang-orang kafir. Konsekuensinya, mereka tidak segan-segan menganggap banyak muslimin sebagai orang kafir. Semua itu berujung kepada tindakan teror yang mereka anggap sebagai jihad fi sabilillah.

Sebuah pemahaman yang sangat dangkal. Tidak sesederhana itu menghukumi seorang muslim sebagai kafir, disebabkan si muslim tersebut tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak sesederhana itu menghukumi seorang muslim sebagai kafir, disebabkan si muslim tersebut loyal kepada orang kafir. Karena loyal itu bertingkat-tingkat, dan sebabnya pun bermacam-macam. Loyal yang jelas membuat seseorang menjadi kafir adalah bila loyalnya karena cinta atau ridha kepada agama si kafir tersebut. Untuk lebih lengkapnya, lihat pembahasan masalah takfir ini pada Asy Syariah Vol.I/08/1425 H/ 2004.

Mengidentifikasi teroris Khawarij
Kami merasa perlu untuk membahas secara singkat tentang ciri-ciri teroris Khawarij, karena kami melihat telah terjadi salah kaprah dalam hal ini. Kami memandang bahwa tidak tepat bila seseorang menilai orang lain sebagai teroris atau sebagai orang yang terkait dengan jaringan teroris, ataupun mencurigainya hanya berdasarkan dengan penampilan lahiriah (luar) semata.

Pada kenyataannya, para pelaku teror tersebut selalu berganti-ganti penampilan. Bahkan terkadang mereka cenderung memiliki penampilan yang akrab dengan masyarakat pada umumnya untuk menghilangkan jejak mereka. Lihatlah gambar-gambar Imam Samudra cs sebelum ditangkap. Sehingga, penampilan lahiriah -baik penampilan ala masyarakat pada umumnya atau penampilan agamis- akan selalu ada yang menyerupai mereka. Berdasarkan hal ini, penampilan lahiriah semata tidak bisa menjadi tolok ukur. Tatkala para teroris tersebut memakai topi pet, celana panjang, kaos serta mencukur jenggot, kita tidak bisa menjadikan hal-hal ini sebagai ciri teroris. Tidak boleh bagi kita untuk menilai orang yang serupa dengan mereka dalam cara berpakaian ini sebagai anggota mereka.

Demikian pula sebaliknya. Ketika para teroris itu berpenampilan Islami dengan memelihara jenggot, memakai celana di atas mata kaki, memakai gamis, dan istrinya bercadar, kita juga tidak bisa menjadikan penampilan ini sebagai ciri teroris. [1] Tidak boleh pula bagi kita untuk menilai orang yang berpakaian seperti mereka ini sebagai anggota jaringan mereka. Faktor pendorong orang-orang untuk berpenampilan agamis adalah karena hal itu merupakan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam -terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam hal cadar, apakah itu wajib atau sunnah-. Semua itu tak ubahnya ajaran agama Islam yang lain semacam shalat, puasa, dan lain sebagainya. Mereka para teroris Khawarij juga shalat dan berpuasa bahkan mungkin melakukannya dengan rajin dan penuh semangat. Lalu apakah kita akan menilai shalat dan puasa sebagai ciri teroris? Sehingga kita akan menuduh orang yang shalat dan puasa sebagai anggota jaringan teroris? Tentu tidak. Begitu pula jenggot dan cadar. Hal yang seperti ini hendaknya direnungkan.

Maka kami mengingatkan diri kami dan semua pihak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (58) [الأحزاب/58]
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.“ (Al-Ahzab: 58)

Akan tetapi, di antara cara mengidentifikasi teroris Khawarij bisa dilakukan dengan hal-hal berikut ini:
1. Mereka memiliki pertemuan-pertemuan rahasia, yang tidak dihadiri kecuali oleh orang-orang khusus.
2. Mereka akan menampakkan kebencian terhadap penguasa muslim. Dalam pertemuan-pertemuan khusus, mereka tak segan-segan menganggap para penguasa muslim tersebut sebagai orang kafir.
3. Mereka akan menampakkan pujian-pujian terhadap para tokoh-tokoh Khawarij masa kini, semacam Usamah bin Laden dan yang sejalan dengannya.
4. Mereka gandrung terhadap buku-buku hasil karya tokoh-tokoh tersebut, juga buku-buku tokoh pergerakan semacam Sayyid Quthub, Salman Al-‘Audah, Fathi Yakan, Hasan Al-Banna, Said Hawwa, dan yang sejalan dengan mereka.
Ini semua sebatas indikasi yang mengarah kepada terorisme. Untuk memastikannya, tentu perlu kajian lebih lanjut terhadap yang bersangkutan.

Tidak boleh melindungi teroris Khawarij

Kami meyakini bahwa melindungi teroris Khawarij atau para pelaku kejahatan yang lain merupakan salah satu dosa besar yang bisa menyebabkan seseorang menuai laknat. Sebagaimana diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallah ‘anhu, beliau berkata:
مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ إِلَّا كِتَابُ اللهِ وَهَذِهِ الصَّحِيفَةُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : الْمَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عَائِرٍ إِلَى كَذَا، مَنْ أَحْدَثَ فِيْهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ
Kami tidak memiliki sesuatu kecuali kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lembaran ini yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Madinah adalah tanah suci antara gunung ‘A-ir sampai tempat ini; Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru (dalam agama) atau melindungi orang yang jahat, maka laknat Allah atasnya, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya, tidak diterima darinya tebusan maupun taubat.“ (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ الله مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ الله مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang melindungi penjahat, Allah melaknat orang yang mencaci kedua orangtuanya, dan Allah melaknat orang yang mengubah batas tanah.“ (Shahih, HR. Muslim)

Membenarkan upaya pemberantasan terorisme

Kaum muslimin juga membenarkan secara global upaya pemberantasan terorisme, karena aksi teror adalah perbuatan yang mungkar. Sementara, di antara prinsip agama Islam yang mulia ini adalah amar ma‘ruf dan nahi munkar, yaitu memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Sehingga, masyarakat secara umum terbebani kewajiban ini sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Untuk itu, sudah semestinya seluruh elemen masyarakat bahu-membahu memberantas terorisme ini dengan cara yang benar, sesuai dengan bimbingan Islam.

Di antara salah satu upayanya adalah memberikan penjelasan yang benar tentang ajaran agama Islam, jauh dari pemahaman yang melampaui batas dan juga tidak menggampang- gampangkan sehingga lebih dekat kepada pemahaman liberalisme dalam agama. Akan tetapi tepat dan benar, sesuai yang dipahami para sahabat di antaranya adalah sahabat ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallah ‘anhu (yang menjadi korban paham Khawarij yang menyimpang dari pemahaman para sahabat). Karena para sahabat adalah orang yang paling memahami ajaran agama ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Lebih khusus pemahaman tentang jihad, dengan pemahaman yang tidak ekstrem sebagaimana kelompok Khawarij dan tidak pula menyepelekan sebagaimana kelompok Liberal. Namun dengan pemahaman yang mengacu kepada jihad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya serta bimbingan para ulama yang mengikuti jejak mereka.

Demikian pula tentang kewajiban rakyat terhadap pemerintah, baik ketika pemerintah itu adil atau ketika tidak adil. Tetap taat kepadanya dalam perkara yang baik dan bersabar atas kekejamannya.
Juga bagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam menasihati penguasa ketika penguasa itu salah, zalim, dan tidak adil, yaitu menyampaikan nasihat dengan cara yang tepat tanpa mengandung unsur provokasi yang membuat rakyat semakin benci terhadap pemerintahnya. (lihat majalah Asy Syariah Vol. I/05/1424 H/2004)
Kemudian memahami klasifikasi orang kafir, serta hukum terhadap masing-masing jenis. Karena, tidak bisa pukul rata (Jawa: gebyah uyah, red.) bahwa semua jenis orang kafir boleh atau harus dibunuh.

Juga memahami betapa besarnya nilai jiwa seorang muslim di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga tidak bermudah-mudah dalam melakukan perbuatan yang menjadi sebab melayangnya nyawa seorang muslim.
Memahami pula kapan seseorang dihukumi tetap sebagai muslim dan kapan dihukumi sebagai orang kafir; dengan pemahaman yang benar, tanpa berlebihan atau menyepelekan, serta memahami betapa bahayanya memvonis seorang muslim sebagai orang kafir.
Selanjutnya memahami betapa jeleknya seorang Khawarij sebagaimana tertera dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Dan terakhir, memahami pula bahwa bom bunuh diri hukumnya haram dan merupakan dosa besar, walaupun sebagian orang berusaha menamainya dengan bom syahid untuk melegitimasi operasi tak berperikemanusiaan tersebut.
Tentunya, rincian masalah ini menuntut pembahasan yang cukup panjang. Bukan pada lembaran-lembaran yang ringkas ini. Namun apa yang disebutkan cukup menjadi isyarat kepada yang lebih rinci.

Penutup
Kami ingatkan semua pihak, bahwa munculnya aksi teroris Khawarij ini merupakan ujian bagi banyak pihak. Di antaranya:
Pihak pertama, orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi baik dan mulai menapaki jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menyadari pentingnya berpegang teguh dengan ajaran-ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mulia nan indah. Mereka menyadari betapa bahayanya arus globalisasi yang tak terkendali terhadap ajaran Islam yang benar. Mereka berusaha mengamalkan ajaran Islam pada diri dan keluarga mereka untuk melindungi diri mereka sehingga tidak terkontaminasi oleh berbagai kerusakan moral bahkan aqidah, sekaligus melindungi diri dan keluarga mereka dari api neraka di hari akhirat, dalam rangka mengamalkan firman Allah l:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6) [التحريم/6]
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.“ (At-Tahrim: 6)

Pihak ini menjadi korban aksi teroris. Karena para teroris dengan aksi mereka, telah mencoreng Islam di mata masyarakat yang luas, sehingga pihak ini menuai getah dari aksi para teroris tersebut. Pihak ini akhirnya dicurigai oleh masyarakat sebagai bagian dari jaringan teroris hanya karena sebagian kemiripan pada penampilan luar, padahal aqidah dan keyakinan mereka sangat jauh dan bertentangan. Sehingga celaan, cercaan, sikap dingin, diskriminasi bahkan terkadang intimidasi (ancaman) dari masyarakat kepada mereka pun tak terelakkan. Maka kami nasihatkan kepada pihak ini untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala kesulitan yang mereka dapatkan. Janganlah melemah, tetaplah istiqamah. Jadikan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tujuan. Ingatlah pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ
“Katakan: ‘Aku beriman kepada Allah‘ lalu istiqamahlah.“ (Shahih, HR. Muslim dari sahabat Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqafi Radhiyallah ‘anhu)

Pihak kedua, adalah orang awam pada umumnya. Tak sedikit dari mereka ber-su‘uzhan (buruk sangka) kepada pihak pertama karena adanya aksi-aksi teror tersebut. Mereka memukul rata tanpa membedakan. Bahkan lebih parah dari itu, aksi teror tersebut memunculkan fobi terhadap Islam pada sebagian mereka, kecurigaan kepada setiap orang yang mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan keislaman. Bahkan mungkin sebagian orang curiga terhadap Islam itu sendiri. Ya Allah, hanya kepada Engkaulah kami mengadu. Betapa bahayanya kalau kecurigaan itu sudah sampai pada agama Islam itu sendiri, sementara Islam berlepas diri dari kejahatan ini. Tak pelak, tentu hal ini akan menumbuhkan rasa takut dan khawatir untuk mendalami ajaran Islam dan untuk lebih mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai amalan ibadah.
Nasihat kami kepada pihak ini, janganlah salah dalam menyikapi masalah ini, sehingga menghalanginya untuk lebih mendalami Islam dan lebih mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pelajarilah Islam dengan benar, ikuti jejak para As-Salafush Shalih, para sahabat, serta menjauhi pemahaman ekstrem Khawarij dan menjauhi paham liberalisme serta inklusivisme yang bermuara pada kebebasan yang luas dalam memahami ajaran agama. Dengan cara ini, insya Allah mereka akan dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah. Jalan pun menjadi terang baginya sehingga dia tidak akan salah dalam menentukan sikap dan tidak terbawa oleh arus.

Pihak ketiga, anak-anak muda yang punya antusias terhadap agama. Aksi teroris, penangkapan para teroris, dan berbagai berita yang bergulir dan tak terkendali, juga merupakan ujian buat mereka. Berbagai macam sikap tentu muncul darinya, antara pro dan kontra. Kami nasihatkan kepada mereka agar bisa bersikap adil dalam menilai. Jangan berlebihan dalam bersikap. Jangan menilai sesuatu kecuali berdasarkan ilmu, baik ilmu agama yang benar yang menjadi barometer dalam menilai segala sesuatu, maupun ilmu (baca: pengetahuan) terhadap hakikat segala yang terjadi. Lalu terapkanlah barometer tersebut pada hakikat realita yang terjadi. Jangan terbawa emosi karena larut dalam perasaan yang dalam.

Sebagaimana kami nasihatkan kepada anak-anak muda yang bersemangat dalam menjunjung nilai-nilai Islam, agar mereka tidak salah memilih jalan mereka. Ada 73 jalan yang berlabel Islam di hadapan anda. Masing-masing jalan akan mempersunting anda untuk menjadi anggota keluarganya. Bila tidak berhati-hati, anda akan menjadi anggota keluarga penghuni neraka. Karenanya, ikutilah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam menentukan jalan di tengah-tengah perselisihan yang banyak. Ikuti Sunnah Nabi dan para Khulafa’ur-rasyidin. Jauhilah bid’ah. Ingatlah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang lalu di awal pembahasan ini.

Demikian apa yang bisa kami sumbangkan kepada Islam dan muslimin serta umat secara umum terkait masalah ini. Kami memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amal kami. Ampunan-Nya senantiasa kami mohon, sampai kami berjumpa dengan-Nya pada hari yang harta dan anak sudah tidak lagi bermanfaat padanya, kecuali mereka yang datang kepada-Nya dengan qalbu yang bersih.
Amin....

________________________________________
[1] Perlu diketahui bahwa penampilan seperti itu sebenarnya merupakan cara penampilan yang dituntunkan dalam syariat dan dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad n, serta diamalkan oleh para sahabat dan para salafush shalih, serta para ulama Ahlus Sunnah yang mulia. Jadi, sebenarnya itu merupakan ciri-ciri seorang muslim yang berpegang teguh dengan agamanya. Sepantasnya seorang muslim berpenampilan dengan penampilan seperti itu. Namun para teroris Khawarij tersebut telah menodai ciri-ciri yang mulia ini, dengan mereka terkadang berpenampilan dengan penampilan tersebut. Sehingga sampai-sampai kaum muslimin sendiri tidak mau berpenampilan dengan penampilan Islami seperti di atas, karena beranggapan bahwa penampilan tersebut adalah penampilan teroris. Nyata-nyata para teroris Khawarij tersebut telah membuat jelek Islam dari segala sisi!
Sumber:http://www.merekaad alahteroris. com/

Syarh Ushul at-Tafsir (2)

Penulis rahimahullah berkata:
Sesungguhnya termasuk diantara permasalahan yang paling urgen dalam setiap disiplin keilmuan, seseorang mengetahui kaidah-kaidah dasar bidang keilmuan tersebut yang akan membantunya dalam memahami dan mengimplikasikan bidan gkeilmuan tersebut berdasar kepada kaidah-kaidah dasar itu. Hingga bidang keilmuan tersebut akan menjadi sebuah disiplin ilmu yan ddasari atas dasar-dasar yang kuat dan tonggak yang kokoh.
Dan telah dikatakan: Barang siapa yang terhalangi dari kaidah-kaidah dasar (al-ushul) sebuah ilmu maka dia akan terhalangi dalam pencapaiannya (yaitu ilmu tersebut).
Dan diantara bidang keilmuan yang paling mulia, bahkan yang termulia dan paling agung adalah ilmu Tafsir. Ilmu yang berisikan penjelasan akan kandungan seluruh makna Kalamullah –ta’ala-.
Ulama telah meletakkan beberapa kaidah-kaidah pokok dalam ilmu tersebut, sebagaimana mereka telah menetapkan kaidha-kaidah pokok dalam ilmu Hadits, dan menetapkna kaidah-kaidah pokok juga dalam ilmu fiqh. Saya telah menuliskan bagian dari disiplin ilmu ini yang diharapkan akan meberi kemudahan bagi mahasiswa di Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah. Lalu beberapa rekan memintaku untuk menyusunnya secara terpisahsebagai sebuah risalah yang akan memberi kemudahan dna juga lebih lengkap. Hingga saya mengabulkan permintaan mereka itu, dan memohon kepada Allah ta’ala agar memberi manfaat dengan keberadaan risalah tersebut.))


Penjelasan:
Penggalan ini mengandung uraian bahwa yang terpenting, seseorang memfokuskan diri dalam penyaduran maklumatnya kepada kaidah-kaidah dasar suatu ilmu. Pada kaidah-kaidah dasar setiap masalah keilmuan. Karena al-ushul (kaidah-kaidah dasar) adalah sesuatu yang menyatukan bahasan al-furu` (cabang-cabang keilmua). Siapa saja yang hanya memberi pehatian pada al-furu’ danmengesampingkan ilmu al-ushul, maka dia akan kehilangan wacana furu` dna juga ilmu al-ushul. Karena al-furu` layaknya dedaunan pohon yang akan berguguran lalu sirna. Sedangkan ilmu al-ushul bagaikan batan gpohon yang akan menegakkan dan melanggengkan sbeuah pohon. Karenanya saya menganjurkan kepada setiap penuntut ilmu untuk memberi perhatian kepada ilmu al-ushul, baik berupa kaidah-kaidah pokok atau dalam bentuk adh-dhawabith (kaidah-kaidah parsial). Demikian juga dengan ungkapan-ungkapan yang universal yangmengandung banyak masalah keilmuan. Kami memperhatikan sebagian orang dimasa ini baik dari kalangan penuntut ilmu atau selain mereka hanya memfokuskan pada pengumpulan masalah-masalah keilmua belaka, mengumpulkan seratus atau dua ratus masalah, namun dia tidak memiliki dasar yang dijadikan acuan utama dalam pengumpulan tersebut. Apabila dia menemukan sebuah masalah yang menyelisihi masalah keilmuan yang telah dihafalkannya, diapun tidak sanggup untuk mengimplikasikannya. Karena itulah kami menganjukan para penuntut ulmu untuk mengenali ilmu al-Ushul.
Dan ada yang mengatakan, ”Barang siapa yang terhalangi dari kaidah-kaidah dasar (al-ushul) sebuah ilmu maka dia akan terhalangi dalam pencapaiannya (yaitu ilmu tersebut).” yaitudia tidak akan sampai kepada tujuannya, dan ini suatu yang realistis.

Lalu beliau mengatakan, ”Dan diantara bidang keilmuan yang paling mulia, bahkan yang termulia dan paling agung adalah ilmu Tafsir. Ilmu yang berisikan penjelasan akan kandungan seluruh makna Kalamullah –ta’ala-.” Karena kemuliaan suatu ilmu didasari atas kemulian inti bahasan ilmu tersebut. Sedangkan pokok bahasan ilmu Tafsir adalah Kalam Allah subhanahu, jadi fokus pada ilmu tersebut lebih urgen dibandingkan dengan fokus pada syarh al-Hadits dan lebih urgen jika dibandingkan dengan fokus pada syarah salah satu dari matan yang disusun oleh ulama Islam. Karena ilmu tersebut adalah tafsir bagi apa? Yaitu bagi Kalam Allah subhanahu, dan setiap ilu mulia setara dengan kemuliaan bahasan ilmu tersebut.

Ucapan beliau, ”Saya telah menuliskan bagian dari disiplin ilmu ini yang diharapkan akan meberi kemudahan bagi mahasiswa di Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah. Lalu beberapa rekan memintaku untuk menyusunnya secara terpisahsebagai sebuah risalah yang akan memberi kemudahan dan juga lebih lengkap. Hingga saya mengabulkan permintaan mereka itu,” saya telah memberikan tambahan sesuai kehendak Allah ta’ala dan menghapuskan beberapa hal yang tidak memberi faedh, hingga kitab ini menjadi sebuah kitab yang ringkas dan sebagian besar acuan saya adalah kepada kitab ”Muqaddimah at-Tafsir” karya syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah karena kitab Muaddimah ini sangatlah bermanfaat. Hanya saja sebagaimana yang kalian ketahui bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sering menguraikan dengan uraian yang panjang lebar, karena beliau bagaikan lautan yang saling berbenturan tidak terjangkau oleh anggota tubuh. Beliau rahimahullah, menguraikan penjelasan beliau dengan uraian yang panjang lebar dan membutuhkan penyatuan dan diringkas bagi para penuntut ilmu.

Penulis rahimahullah berkata:
Kitab itu dapat dirangkum sebagai berikut:
Al-Qur`an al-Karim
1. Kapan al-Qur`an diturunkan kepada Nabi # dan malaikat siapakah yang menurunkannya kepada beliau #.
2. Ayat al-Qur`an yang pertama kali diturunkan.
3. Turunnya al-Qur`an terdiri atas dua bagian: pertama sabaabii (karena adanya sebab) dan kedua diturunkan ibtidaa`i (sebagai awal).
4. al-Qur`an terbagi menjadi Makiiy dan Madaniy. Dan penjelasan hikmah turunnya al-Qur`an secara terpisah dan tertib al-Qur`an.
5. Pencatatan al-Qur`an dan penghafalannya di zaman Nabi #.
6. Penyatuan al-Qur`an di zaman Abu Bakar dan Utsman radhiallahu ’anhuma.

Tafsir
1. Makna at-Tafsir secara etimologi dan terminologi, serta penjelasan hukum dan tujuannya.
2. Kewajiban setiap muslim dalam penafsiran al-Qur`an.
3. Rujukan dalam tafsir al-Qur`an, sebagai berikut:
a. Kalam Allah subhanahu, dimana al-Qur`an ditafsirkan dengan al-Qur`an.
b. Sunnah Rasulullah #, karena beliau adalah penyampai dari Allah ta’ala. Dan beliau adalah manusia yang paling mengerti maksud Allah ta’ala di dalam Kitabullah.
c. Perkataan sahabat radhiallahu ’anhum. Terlebih sahabat yang memiliki keilmuan dan perhatian dalam bidang tafsir. Karena al-Qur`an diturunkan dalam bahasa mereka dan di masa mereka.
d. Perkataan para ulama pemuka generasi tabi’in yang memberi perhatian khusus dalam menyadur tafsir dari sahabar radhialahu ’anhum.
e. Segala kalimat/perkataan yang mengandung makna-makna syar’i atau semantik bahasa Arab dengan penyesuaian pada konteks kalimat. Bila terjadi perbedaan antara makna syar’i dengan makna bahasa, maka makna syar’i yang mesti diberlakukan kecuali terdapat dalil yang menunjukkan validitas makna bahas.
4. Beberapa ragam bentuk perbedaan dalam penafsiran melalui atsar.
5. Tarjamah al-Qur`an, definisinya dan ragam bentuknya serta hukum masing-masing bentuk tersebut.

Lima tarjamah ringkas bagi ulama yang populer sebagai tarjamah al-Qur`an, tiga dari generasi sahaba dan dua dari generasi tabi’in.

Pembagian al-Qur`an ditinjau dari sisi al-Ihkam dan at-Tasyabuh

Pandangan ulama yang mumpuni dalam bidang keilmuan dan kaum yang menyimpang dalam memahami al-mutasyabih.
At-tasyabuh terbagia tas: Hakiki dan nisbi (relatif).

Hikmah terbaginya al-Qur`an menjadi muhkam dan mutasyabih.
Kontradiksi yang disangkakan terdapat di dalam al-Qur`an beserta jawabannya. Dan beberapa contohnya.

Al-Qasam (sumpah yang terdapat di dalam al-Qur`an): definisi, konteks dan faidah-nya

Al-Qashash (kisah-kisah di dalam al-Qur`an): definisinya dan tujuannya. Hikmah pengulangan al-qashash dan perbedaannya di dalam surah-surah panjang al-qur`an dan surah-surah yang pendengan dan gaya penyajian al-qashash.

Al-Isra`iliyaat yang disisipkan di dalam Tafsir al-Qur`an dan pandangan ulaman akan al-isra`ilyaat tersebut.

Adh-Dhamiir (kata ganti) : definisi dan rujuannya. Penyebutan kata secara eksplisit (zhahir) pada tempat seharusnya disamarkan (al-idhmar0 beserta faedahnya, al-

iltifaat beserta faedahnya, dhamir al-fashl dan faedahnya.

Penjelasan:
Ketahuilah bahwa risalah ini adalah Ushul (kaidah-kaidah pokok) dalam ilmu at-Tafsir, dan bukan kaidah-kaidah menafsirkan al-Qur`an secara keseluruhan, melainkan kaidah-kaidah pokok dalam ilmu Tafsir. Kaidah-kaidah pokok yang dibutuhkan oleh siapa saja yang berkeinginan menafsirkan Kalam Allah subhanahu.

Sabtu, 12 September 2009

Penuntun Ringkas Pelaksanaan Shalat 'Iedain (4)

1. Bagaimanakan Jika Shalat ‘Ied bertepatan dengan Shalat Jum’at ?

Keterangan :
Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat dikalangan ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat gugurnya kewajiban shalat jum’at dan dhuhur, yang mana meupakan pendapat Atha’.
Diantara ulama ada yang berpendapat wajibnya melaksanakan shalat ‘Ied dan juga shalat jum’at. Pendapat ini merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnul Mundzir.
Argumen mereka adalah keumuan ayat, yaitu firman Allah Ta'ala:
ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭼ
“ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” ( Al-Jumu’ah: 9 )
Adapun pendapat yang shahih, yang merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al-Fatawa 24/211), bahwa bagi yang menghadiri shalat ‘Ied telah gugur kewajiban menghadiri shalat jum’at. Namun tetapi diwajibkan baginya untuk mengerjakan shalat dhuhur berpegang dengan keumuman nash-nash syara’. Sementara bagi Imam kaum muslimin, dalam hal ini pemerintah, diharuskan untuk menegakkan pelaksanaan shalat jum’at, agar yang berkeinginan menghadirinya dapat menghadiri shalat jum’at.

Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Hanabilah dan dirajihkan oleh Ibnu Abdil Barr.
Argumen mereka:
Adalah sejumlah hadits, diantaranya yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Sesungguhnya pada hari ini telah berkumpul dua ‘Ied bagi kalian. Barang siapa yang berkeinginan, maka shalat ‘Ied telah mencukupinya dari menghadiri jum’at, sementara saya termasuk yang mengerjakannya “
[HR. Abu Daud (1/1073), Ibnu Majah (1/1311), Al-Hakim (1/288) dan selainnya]
Namun Ad-Daraquthni merajihkan bahwa hadits diatas adalah hadits yang mursal.
Dan juga hadits Zaid bin Arqam. Mu’awiyah telah bertanya kepada Zaid bin Arqam: Apakah anda pernah menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?
Beliau berkata, “Benar. Beliau mengerjakan shalat ‘Ied diawal hari, kemudian memberikan keringanan dalam pelaksanaan shalat jum’at.”
[HR. An-Nasaa’i (3/1591) dan didalam Al-Kubra (1/1793), Abu Daud (1/1070), Ibnu Majah (1/1310), Ad-Darimi (1/378), Ahmad (4/372), Al-Hakim (1/288) dan selainnya]
Hadist diatas dishahihkan oleh Ali bin Al-Madini, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
Namun pada sanadnya terdapat perawi bernama Iyas bin Abi Ramlah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnul Jauzi mengatakan dia perawi yang majhul (tidak diketahui).

Dan juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, beliau berkata, “Telah berkumpul hari ‘Ied dan jum’at dizaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat mengimami kaum muslimin, lalu berliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barang siapa yang hendak mendatangi shalat jum’at maka tidak mengapa dia mendatanginya dan barang siapa yang hendak meninggalkannya tidak mengapa dia meninggalkannya.”
[HR. Ibnu Majah (1/1312)]
Hadist tersebut dha’if, pada sanadnya terdapat perawi bernama Jabbarah bin Al-Mughallis dan juga Mindil bin Ali Al-‘Anazi keduanya adalah perawi yang dha’if.
Dan beberapa atsar lainnya yang diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in semakna dengan hadits diatas.

Ibnu Abdil Barr dalam mengulas masalah ini, beliau mengkritik pendapat pertama daitas, dengan mengatakan, “ Adapun pendapat … bahwa shalat jum’at gugur dengan adanya shalat ‘Ied, dan tidak juga mengerjakan shalat dhuhur dan jum’at, maka merupakan pendapat yang sangat jelas fasad dan kekeliruannya. Pendapat yang tertolak dan ditinggalkan, dan tidak layak untuk ditinjau. Dikarenakan Allah Ta'ala’ berfirman:
ﭽ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭼ
“Apabila diserukan untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at “

Dan Allah tidak mengkhususkan hari ‘Ied dari hari-hari lainnya. Sementara atsar yang marfu’ dalam masalah ini, tidaklah menyebutkan gugurnya shalat jum’at dan juga shalat dhuhur, akan tetapi hanya menunjukkan keringanan untuk tidak menghadiri shalat jum’at … “ (At-Tamhid 10/274).


2. Beberapa amalan yang makruh dan menyelisihi sunnah pada pengerjaan shalat ‘Ied.

- Mengerjakan shalat qabliyah dan ba’diyah menyertai shalat ‘Ied
- Adzan dan Iqamah sebelum Shalat ‘Ied
- Ucapan: Ash-Shalat al-Jaami’ah dan semisalnya
- Shalat dua raka’at secara khusus dimalam ‘Ied. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat malam ‘Ied adalah hadits-hadits yang maudhu` (palsu) dan sangat dha’if.
- Mendahulukan khutbah sebelum pengerjaan shalat ‘Ied
- Mengadakan mimbar untuk khutbah ‘Ied.
- Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya udzur.
- Meninggalkan shalat ‘Ied dibelakang seorang yang dianggap ahli bid’ah (namun tidak sampai pada kekufuran).
- Mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan yang kecil/sedikit menampung jama’ah, sementara ada lapangan/mushalla terdekat yang dapat menampung banyak jama’ah.
- Mendirikan mushalla ‘Ied atas dasar hawa nafsu dan tahazzub (fanatisme kelompok), sementara dijumpai mushalla ‘Ied kaum muslimin.
- Menempatkan shaf laki-laki bergantian dengan shaf wanita, atau shaf laki-laki sejajar dengan shaf wanita.
- Keluarnya wanita dengan bertabarruj (berhias) yang tidak syar’i.
- Bersenda gurau ketika khutbah ‘Ied.



Abu Zakariya Abdurrahman Rizq
al-Madrasah al-Atsariya
Villa Nusa Indah II - Bekasi
Pusat Dakwah Daar el-Salam

Penuntun Ringkas Pelaksanaan Shalat 'Iedain (3)

1. Shalat ‘Ied bagi yang mempunyai udzur tidak dapat menuju Lapangan/Mushalla ‘Ied.

Keterangan:
Telah disinggung sebelumnya, bahwa seorang yang sakit atau mempunyai udzur, diperbolehkan untuk tidak menghadiri mushalla ‘ied.
Berkata Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“
Sandaran hukumnya:

Hadist Ali bin Abi Thalib, dimana beliau memerintahkan seseorang sebagai ganti imam shalat bagi orang-orang yang tua renta lagi lemah di masjid.
Hadist ini ada beberapa jalan periwayatanya, sebagian sanadnya shahih sebagian lagi sanadnya hasan insya Allah, sebagian lagi ada perbincangan dikalangan ulama.
Namun pada hadits tersebut terdapat perbedaan pada beberapa lafazhnya, ada yang menyebutkan “ imam mengerjakan empat raka’at “dan riwayat lainnya, “ mengerjakan dua raka’at “.

Yang shahih, dari kedua lafadz tersebut adalah, “ imam mengerjakan dua raka’at.“ Dan ini semisal dengan hadits Anas bin Malik, yang menyebutkan bahwa beliau mengerjakan shalat bersama keluarga beliau dua raka’at, jika beliau tertinggal shalat ‘ied bersama imam.

2. Tata cara pengerjaan Shalat ‘Ied

- Shalat ‘Ied Shalat dua raka’at.

Keterangan:
Yakni dimana pelaksanaannya sebagaimana dengan pelaksanaan shalat lainnya, dimulai dengna takbiratul ihram dan diakhir dengan salam. Hanya saja terdapat takbir tambahan selain takbiratul ihram.

Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid Al-Laitsi dan juga hadits An-Nu’man bin Basyir yang keduanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dimana pada hadits Abu Waqid Al-Laitsi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at pertama membaca surah,
(( Qaaf ))
Dan pada raka’at kedua membaca:
(( Iqtarabatis-saa`ah wan-syaqal Qamar ))
Dan pada hadits An-Nu’man bin Basyir, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at pertama membaca:
(( Sabbihisma Rabbikal-a'laa ))
Dan pada raka’at kedua membaca:
(( Hal ataaka haadiitsul-ghaasyiyah ))

Hadist Umar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Shalat jum’at dua raka’at, shalat ‘iedul fithri dua raka’at, shalat ‘iedul adha dua raka’at, shalat safar dua raka’at. Sebagai shalat yang sempurna bukanlah qashar, melalui penyampaian lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.“
[Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (3/1420 dan 1566) serta di dalam Al-Kubra (1/1733 dan 1734), Ibnu Majah (1/1063), Ahmad (1/37) dan selain mereka]
An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ (5/17) dan Ibnu Qudamah didalam Al-Mughni (2/233) mengutip ijma’/konsensus ulama bahwa shalat ‘iedain dua rakat.

- Takbir Tambahan pada shalat ‘Ied (Tujuh takbir pada raka’at pertama dan lima kali takbir pada raka’at kedua) sebelum membaca Al-Fatihah, selain takbiratul ihram dan takbir disaat menuju raka’at kedua.

Sandaran hukumnya:
Hadist Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir, selain dua takbir ruku’ “
[Diriwayatkan oleh Ahmad (6/70), Abu Daud (1/1150), Ad-Daraquthni (2/47) dan Al-Baihaqi (3/287) dan selain mereka ].
Hadist Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Takbir pada shalat ‘iedul fithri tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir. Dan membaca Al-Fatihah setelah kedua takbir tersebut. “
[HR. Abu Daud (1/1151), Ad-Daraquthni (2/48), Al-Baihaqi (3/285), dan selainnya]
Terdapat perbedaan ulama dalam takbir tambahan pada shalat ‘Iedain. Namun riwayat yang shahih menunjukkan bahwa takbir tambahan adalah tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua. Adapun selain itu, sandarannya tidaklah shahih dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga takbir tambahan ini adalah selain takbiratul ihram, berdasarkan riwayat lainnya pada hadits Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash dengan lafazh, “selain takbiratul ihram,” yang dishahihkan oleh beberapa imam ahlil Hadist, diantara mereka adalah Imam Ahmad dan Al-Bukhari.

- Apakah Mengangkat tangan disaat takbir ?

Keterangan:
Perihal mengangkat tangan disaat takbir tambahan, terdapat perbedaan dikalangan ulama. Diantara mereka ada yang membolehkan mengangkat tangan sebagaimana mengangkat tangan pada takbiratul ihram. Dan ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Atha’, Ibnul Mundzir, Al-Bukhari dan selain mereka.
Sedangkan ulama lainnya, diantara mereka adalah Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Malik bin Anas dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri berpendapat untuk tidak mengangkat tangan selain hanya pada takbiratul ihram.
Dan masing-masing madzhab diatas berargumen dengan dalil dari atsar dan juga logika. Adapun dari atsar (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari sahabat), hampir semua jalan periwayatannya terdapat kritikan dan diperbincangkan oleh ulama. Bahkan tidak satupun yang shahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , berkaitan dengan masalah ini.

Sementara dari tinjauan logika, disebutkan oleh Asy-Syafi’i, Al-Kasaani dan selain mereka, bahwa tujuan dari takbir adalah pemberitahuan takbir tambahan bagi yang tidak dapat mendengar, karena tuli atau karena jauh dari Imam sehingga tidak mendengar suara takbir imam. Logika ini cukup kuat untuk dijadikan alasan bagi yang membolehkan mengangkat tangan ketika takbir.
Adapun yang menolak mengangkat tangan disaat takbir, berargumen tidak adanya atsar dari sahabat yang shahih bahwa mereka melakukannya, … sementara mengangkat tangan disaat takbir adalah ibadah, terlebih didalam shalat. Yang harus berpedoman kepada dalil syara’.
Kesimpulannya : Tidak mengapa mengangkat tangan pada takbir tambahan dan tidak juga sepatutnya bagi yang berpendapat tidak mengangkat tangat ketika takbir tambahan mengingkari hal tersebut, apalagi hingga dikategorikan sebagai bid’ah. Wallahu a’lam.

- Dzikir yang dibaca diantara dua takbir tambahan.

Keterangan:
Berkaitan dengan masalah ini, tidak satupun hadits yang shahih maupun dha’if yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan adanya dzikir diantara dua takbir tambahan. Bahkan tidak satupun atsar dari sahabat yang shahih dalam masalah ini. Pendapat ini merupakan pendapat Malik bin Anas dan Al-Auza’i.
Adapun sebagian ulama lainnya membolehkan adanya dzikir diantara dua takbir. Diantara yang membolehkan adalah Atha’, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnul Mundzir dan juga merupakan pendapat yang diperbolehkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berdalilkan atsar yang diriwayatkan dari Atha’ dan Makhul.
Catatan:
Seiring dengan perbedaan pendapat diatas, demikian juga dengan bacaan/dzikir yang dibacakan antara dua takbir tambahan. Apakah ada bacaan dzikir tertentu atau tidak?
Imam Asy-Syafi’i didalam Al-Umm (1/395) menyebutkan, “Bahwa diamnya seseorang diantara dua takbir tambahan, seukuran membaca sebuah ayat yang tidak panjang dan juga tidak pendek. Lalu dia membaca tahlil, takbir dan tahmid … “
Berkata Imam Ahmad pada “ Su`alaat Ibnu Hani` “ ( hal. 93 ), “ Dia bertasbih , bertahlil dan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Dan sekali waktu beliau mengatakan, “Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu setiap doa yang diucapkannya juga baik.”
Jadi diperbolehkan dengan dzikir yang berupa tahlil, tahmid, tasbih, shalawat serta doa apapun diantara dua takbir tambahan. Wallahu a’lam.

- Bacaan Surah Al-Fatihah dan Surah setelahnya, dibacakan dengan suara nyaring.

Keterangan:
Diantara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Ied adalah membaca surah Qaaf atau Al-A’laa pada raka’at pertama dan surah Al-Qamar atau Al-Ghasyiah pada raka’at kedua.
Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu ‘anhu, beliau ditanya, “Surah apakah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedul fithri dan ‘Iedul adha ?”
Beliau menjawab, “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada kedua shalat tersebut membaca:
(( Qaaf ))
Dan:
(( Iqtarabatis-saa`ah ... ))
(HR. Muslim no. 891)

Dan pada hadits An-Nu’man bin Basyir, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain dan shalat jum’at membaca:
(( Sabbihisma Rabbikal-a'laa ))
Dan:
(( Hal ataaka hadiitsul-ghaasyiyah ))
Kedua hadits diatas, dijadikan sandaran hukum juga oleh sebagian ulama, bahwa bacaan pada shalat ‘Iedain adalah bacaan yang dibaca dengan jahar/suara keras. Mereka mengatakan:
1. Sahabat tidaklah mengetahui bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain kecuali jika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjaharkan bacaannya.
2. Pada hadits An-Nu’man, sifat bacaan shalat ‘Iedain disetarakan dengan sifat bacaan pada shalat jum’at.
3. Shalat ‘Iedain adalah shalat jama’ah dengan khutbah yang dapat dianalogikan dengan shalat jum’at yang juga dengan khutbah.
Pendapat mengeraskan bacaan pada shalat ‘Iedain adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan sebagian besar ulama Islam. Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (2/336) mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, kecuali yang diriwayatkan dari Ali.”
Sedangkan hadits ‘Ali adalah hadits yang dha’if. Pada sanadnya terdapat Al-Aslami dia perawi yang matruk (ditinggalkan). Dan sanad lainnya terdapat Al-Harits seorang perawi yang dha’if.
Diantara ulama yang juga mengutip ijma’ seperti pernyataan Ibnu Qudamah: Az-Zarkasyi dan Al-Qurthubi.

3. Khutbah Al-‘Iedain

- Khutbah ‘Ied dilakukan setelah shalat.

Keterangan:
Yang wajib adalah mendahulukan shalat baru selanjutnya khathib khutbah pada hari ‘Iedain.
Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu Abbas, beliau berkata, “Saya telah menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum, semuanya mengerjakan shalat sebelum khutbah.”
Demikian juga hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma mengerjakan shalat ‘Iedain sebelum khutbah“ ( HR. Al-Bukhari dan Muslim ).
Imam Muslim didalam Shahihnya meriwayatkan hadits Jabir, beliau berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat pada hari ‘iedul fithri, dimana beliau memulai shalat sebelum khutbah. Setelah beliau menyelesaikan khutbah, beliau lantas mendatangi wanita dan mengingatkan mereka. Beliau bersandar kepada Bilal, smeentara Bilal menghamparkan pakaian beliau , dan para wanita melemparkan sedekah mereka.”
Juga semisalnya diriwayatkan dari hadits Abu Said Al-Khudri (Muttafaq ‘alaihi).

- Sunnah mengerjakan Khutbah sambil berdiri diatas tanah.

Keterangan:
Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khutbah ‘Ied diatas tanah, tanpa berdiri diatas mimbar.
Diantaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk mengerjakan shalat ‘Iedul fithri atau ‘Iedul adha di mushalla/lapangan. Kemudian beliau melewati kaum wanita, maka beliau bersabda: “ Wahai kaum wanita bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya saya telah melihat penghuni neraka adalah kalian … “
( HR. Al-Bukhari dan Muslim )
Pada lafadz lainnya, “ … lalu beliau memulai dengan shalat, setelah beliau shalat dan mengucapkan salam, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menghadap kepada kaum muslimin, sementara mereka duduk di tempat mereka … “
Juga hadits Ibnu Abbas yang telah disebutkan sebelumnya, beliau ditanya, “ Apakah anda menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”
Beliau mengatakan, “ Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya disisi beliau tidaklah saya menyaksikannya- yaitu karena usia beliau yang masih kecil- lalu beliau mendatangi gundukan tanah yang berada didekat kediaman Katsir bin Ash-Shalat, lalu beliau khutbah. Kemudian beliau mendatangi kaum wanita, menasihati mereka, dan memerintahkan mereka untuk berdedekah … “
( HR. Al-Bukhari dan selainnya )

Catatan:
Pada hadits diatas menunjukkan pula sunnahnya bersedekah pada hari ‘Ied, terutama bagi kaum wanita.

- Khutbah ‘Ied terdiri atas dua kali Khutbah.

Keterangan:
Khutbah ‘Ied adalah dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantara dua khutbah. Berkata Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah, “ … Apabila imam telah salam, maka imam berdiri untuk khutbah kehadapan kaum muslimin dengan dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantaranya, … -lalu beliau berkata : - “dan pada masalan ini tidak terdapat perbedaan pendapat diantara ulama “ (Al-Muhalla 5/82)
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , tidak satupun yang shahih menunjukkan adanya dua kali khutbah ‘Ied. Namun sebagian ulama hadits seperti An-Nasaa’i didalam Al-Kubra yang mencantumkan hadits dua kali khutbah jum’at pada bab. Khutbah ‘Iedain, demikian juga dengan Ibnu Khuzaimah (2/349) yang mencantumkan hadits khutbah jum’at dari hadits Ibnu Umar pada masalah khutbah ‘Iedain. Isyarat bahwa khutbah ‘Ied semisal dengan khutbah jum’at.

- Mengawali Khutbah dengan bacaan “ Innal Hamda lillah … dst “

Keterangan:
Berkaitan dengan sebagian besar yang diamalkan oleh kaum muslimin/para khathib shalat ‘Ied, yakni bertakbir sembilan kali diawal khutbah ‘Ied, amalan tersebut merupakan pendapat dari Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad dan selain mereka. Sebagian besar pendapat yang mereka utarakan, bahwa khathib pada khutbah pertama bertakbir sembilan kali dan pada khutbah yang kedua bertakbir tujuh kali takbir.
Bahkan Imam Malik menambahkan bahwa kaum muslimin bertakbir bersama dengan imam.
Argumen mereka sebagai berikut:
1. Hadist ‘Ubaidullah bin Abdullah bin’Utbah, beliau berkata, “Termasuk sunnah bertakbir diatas mimbar pada hari ‘Ied ketika memulai khutbah pertama dengan sembilan takbir sebelum khutbah dan pada khutbah selanjutnya dengan tujuh kali takbir.” [Hadist ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (5672, 5673, 3674), Ibnu Abi Syaibah (5865), Al-Baihaqi (3/299). Hadist ini didalamnya terdapat perawi yang matruk]
2. Bahwa pada hari itu adalah hari takbir, olehnya itu disyari’atkan untuk memulai takbir disaat memulai khutbah ‘Ied.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullah kedua berpendapat bahwa yang sunnah adalah memulai dengan ucapan: “ Innalhamda lillah … “ tanpa takbir diawal khutbah ‘Ied. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memulai khutbah beliau dengan selain ucapan tersebut. Pendapat kedua imam ini lebih tepat kiranya, dengan mengacu dha’ifnya hadits diatas.
Adapun argumen kedua, mungkin dapat dijawab, -jikalau benar adanya – maka hanya berlaku untuk ‘Iedul adha, disebabkan takbir pada ‘Iedul fithri berakhir disaat imam khutbah. Akan tetapi khutbah ‘Ied tidaklah menjadi batal karena hal ini, dan tidak juga diingkari bagi yang melakukannya. Wallahu a’lam.

- Menghadiri Khutbah ‘Ied wajib menurut pandangan yang shahih dari Ulama.

Keterangan:
Sebagian besar ulama Madzahib berpendapat menghadiri khutbah ‘Ied sunnah, dan tidak sampai ke derajat wajib.
Ulama tersebut berargumen dengan hadits Abdullah bin As-Saa`ib radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat ‘Ied, lalu beliau bersabda, “Barang siapa yang menyenangi untuk berpaling, maka tidak mengapa baginya untuk berpaling. Dan barang siapa yang menyenangi untuk menyimak khutbah hndaknya dia menyimak.“
[Hadist ini diriwayatkan oleh An-Nasaa’i (3/1571) dan didalam Al-Kubra (1/1779), Abu Daud (1/1155), Ibnu Majah (1/1290), Al-Hakim (1/295), Ibnu Khuzaimah (2/1462) dan selain mereka].
Hadist ini yang shahih adalah hadits mursal. Sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan demikian juga Abu Zur’ah Ar-Razi merajihkan bahwa hadits diatas adalah hadits yang mursal. ( Al-‘Ilal 1/513 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 9/48–49).
Dan juga diriwayatkan dari mursal Atha’, semakna dengan hadits diatas.
Sementara itu, diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam Ahmad pendapat yang menyiratkan wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied. Bahkan Imam Malik melarang kaum wanita dan hamba sahaya untuk berpaling meninggalkan khutbah ‘Ied.
Diantara argumen mereka adalah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa khutbah ‘Ied adalah bagian dari syi’ar ‘Ied. Dan juga seiring dengan pendapat yang mewajibkan kaum muslimin bahkan kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘Ied, menyaksikan berkah dan da’wah kaum muslimin, dimana hal tersebut akan dijumpai disaat khutbah ‘Ied.
Wallahu a’lam.

- Disunnahkan duduk diam dan mendengarkan Khutbah ‘Ied

Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikan yang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
“ Menyaksikan dakwah kaum muslimin … “ dijelaskan oleh Ibnu Rajab yakni khutbah ‘Ied.
Hanya saja, sebagian ulama memandang tidak wajib untuk diam mendengarkan khutbah ‘Ied. Dan hanya sebatas sunnah. Karena jika dianggap wajib maka akan mengharuskan pula wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied, sementara sebagian besar ulama berpendapat tidak wajibnya, seperti yang telah dikemukakan diatas.

Faidah :
Hukum bersalaman dan tahni`a setelah shalat ‘Ied
Diriwayatkan dari atsar Abdullah bin Busr, Abdurrahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nadhir dan Khalid bin Mi’dan, “Bahwa diucapan kepada mereka ucapan: Taqabbalallahu minna wa minkum ( semoga Allah menerima amalan kami dan kalian), dan juga mereka mengucapkanya kepada selain mereka.“
(Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani didalam At-Targhib (1/381) dengan sanad yang tidak mengapa)
Berdasarkan atsar ini pula, pembolehan mengucapkan ucapan tersebut merupakan amalan yang sunnah.
Dan tidak mengapa mengucapkan ucapan selain ucapan diatas, disebabkan tidak adanya hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan hal tersebut, baik apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkanya atau melarangnya. Yang ada hanyalah amalan sejumlah sahabat radhiallahu ‘anhum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, didalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253) , membolehkannya dengan ucapan diatas dan juga yang semisalnya.
Adapun Imam Ahmad, driwayatkan bahwa beliau membolehkannya hanya saja beliau tidak memulainya. Namun jika ada yang memulai maka beliau menjawabnya. (Al-Furu’ 2/150).

Penuntun Ringkas Pelaksanaan Shalat 'Iedain (2)

1. Hal-hal yang Sunnah sebelum pelaksanaan Shalat ‘Ied

- Mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied


Keterangan:
Disunnahkan untuk mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied.

Sandaran hukumnya:
Atsar dari Abdullah bin ’Umar radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’, beliau berkata, “Ibnu Umar senantiasa mandi pada hari ‘Iedul Fithri sebelum beliau menuju ke mushalla ‘ied.”
Atsar ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq didalam Mushannaf beliau, Asy-Syafi’i didalam Al-Umm dan Al-Musnad serta selainnya.
Sebagian ulama bahkan menyatakan adanya konsensus diantara ulama Islam bahwa mandi sebelum menuju mushalla ‘ied adalah perbuatan yang baik dan sunnah. Diantara mereka Ibnu Abdil Barr didalam Al-Istidzkar, An-Nawawi didalam Al-Majmu’ dan Ibnu Rusyd didalam Bidayah Al-Mujtahid.
Adapun waktu mandi ‘Ied, yang paling utama adalah setelah shalat shubuh/setelah waktu fajar. Dikarenakan pengandaian mandi ‘Ied berlaku pada hari dimana dikerjakan shalat ‘Ied. Adapun bagi yang mandi pada malam sebelumnya, maka tidaklah mengapa, jika bertujuan untuk bersegera menuju mushalla ‘Ied pada pagi harinya. Wallahu a’lam.

- Disunnahkan Berhias dan Memakai wangi-wangian sebelum menuju mushalla ‘Ied.

Keterangan:
Berdasarkan atsar dari Abdullah Ibnu Umar, dari jalan Muhammad bin Ishaq dia berkata: Saya bertanya kepada Nafi’, “Apakah yang diperbuat oleh Abdullah bin Umar pada hari ‘Ied ?”
Beliau mengatakan, “Beliau menghadiri shalat jama’ah shubuh bersama imam, kemudian beliau kembali ke rumah beliau,dan mandi sebagaimana beliau mandi janabah, kemudian memakai pakaian terbaik yang beliau miliki, memakai wangi-wangian yang paling harum yang beliau punyai, kemudian barulah setelah itu beliau mendatangi mushalla ‘ied. Beliau duduk hingga imam datang. Apabila imam telah tiba, maka beliau mengerjakan shalat bersama imam. Setelah itu beliau pulang, dan masuk ke dalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengerjakan shalat dua raka’at. Kemudian beliau mendatangi rumah beliau.”
Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Harits didalam Musnad beliau (sebagaimana di dalam Bughyah Al-Baahits 1/323 dan juga Al-Mathalib Al-‘Aliyah 1/305 ).

- Disunnahkan memakan kurma sebelum keluar mengerjakan shalat ‘Ied Fithri , berbeda dengan shalat ‘Iedul Adha.

Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Ash-Shahih (no.953), dari hadits Anas, beliau mengatakan, “ Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak ke mushalla ‘ied pada pagi hari sehingga beliau memakan beberapa butir kurma.”
Dan juga hadits Buraidah, Beliau mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah keluar untuk mengerjakan shalat ‘iedul fitri hingga beliau makan, dan tidaklah beliau makan pada ‘iedul adha hingga beliau mengerjakan shalat –terlebih dahulu.“
( HR. At-Tirmidzi (2/542), Ibnu Majah (1/1756), Ahmad (5/352, 360 ), Al-Hakim (1/294) dan selainnya).
Sanad hadits ini dha’if disebabkan perawi bernama Tsawwab bin ‘Utbah Al-Mahri.
Namun hadits Buraidah diatas dikuatkan oleh beberapa atsar, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam Al-Muwaththa` (432) dari jalan Ibnu Syihab Az-Zuhri, dia mengatakan, Sa’id bin Al-Musayyab mengatakan, “Bahwa kaum muslimin telah diperintahkan untuk makan sebelum beranjak ke mushalla pada ‘iedul fithri.”
Dan juga atsar dari Asy-Sya’bi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/5590), beliau berkata, Husyaim menceritakan kepada kami, dia berkata, Al-Mughirah menceritakan kepada kami dari Asy-Sya’bi, beliau mengatakan, “Termasuk Sunnah jika seseroang makan pada hari ‘iedul fithri sebelum berangkat ke mushalla dan mengakhirkan makan pada ‘iedul adha setelah kembali dari mushalla.”
Demikian semakna dengan kedua atsar tersebut, diriwayatkan juga dari Az-Zuhri.

- Disunnahkan Bertakbir disaat menuju Mushalla ‘Ied dan sunnah mengeraskan takbir

Keterangan:
Bertakbir disaat menuju mushalla ‘Ied adalah amalan yang sunnah, dan telah diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in yang mengamalkan amalan ini. Adapun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak ada satupun hadits yang shahih.
Diantara atsar-atsar tersebut, adalah atsar Abdullah bin Az-Zubair, Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Abi Laila, Al-Hakam, Hammad, Urwah bin Az-Zubair dan selainnya.
Disunnahkan pula untuk mengeraskan suara ketika bertakbir menuju mushalla ‘Ied. Allah Ta'ala berfirman:
ﭽ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﭼ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )
Berkata Ibnu Qudamah (2/226), “Makna menampakkan takbir adalah dengan mengeraskan suara ketika bertakbir.“

Catatan 1:
Adapun hukum asal takbir adalah firman Allah Ta'ala:
ﭽ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﭼ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )
Dan firman Allah :
ﭽ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﭼ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Dan kedua ayat tersebut berlaku umum serta tidak adanya hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tata cara serta lafazh takbir tertentu, maka dalam hal ini diperbolehkan bertakbir dengan lafadz takbir manapun tanpa adanya pengingkaran.

Catatan 2:
Dan takbir di mushalla ‘Ied juga berlaku bagi laki-laki dan wanita. Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah. Sebagaimana yang dikatakan olehIbnu Rajab didalam Fathul Bari (9/33)

Catatan 3:
Takbir pada ‘Iedul Adha lebih ditegaskan dari pada ‘Iedul Fithri. Dikarenakan takbir pada ’Iedul adha disyari’atkan pada setiap akhir shalat pada hari ‘Ied dan hari-hari tasyriq ( tiga hari setelah ‘Ied ).
Demikian yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ( Al-Fatawa 24/221–222).


- Disunnahkan Berjalan kaki menuju Mushalla ‘Ied

Sandaran hukumnya:
Beberapa hadits yang menerangkan hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if, baik karena hafalan perawinya atau karena riwayat mereka yang diperbincangkan oleh ulama hadits. Namun ada sejumlah atsar yang shahih menyebutkan sunnahnya berjalan kaki menuju mushalla ‘ied, diantaranya atsar Al-Hasan bin ‘Ali, Ibrahim An-Nakha’i dan Umar bin Abdul Azis.

Ibnul Mundzir mengatakan, “Berjalan kaki menuju shalat ‘ied lebih baik, dan lebih dekat kepada sifat tawadhu’ (kerendahan hati). Dan tidak mengapa seseorang berkendara menuju mushalla. “ (Al-Ausath 4/264).
At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits ‘Ali (yang dha’if disebabkan riwayat ‘an’anah Abu Ishaq serta Al-Harits yang merupakan perawi yang dha’if ) mengatakan, “Hadist ini diamalkan oleh sebagian besar ulama. Mereka menyukai seseorang keluar menuju mushalla ‘ied sambil berjalan dan makan sesuatu sebelum menuju mushalla ‘ied. Dan disenangi tidak berkendara menuju mushalla kecuali jika ada udzur.” (As-Sunan 2/411).
An-Nawawi mengatakan, “Berjalan kaki lebih utama, namun jika seseorang berkendara ketika pulang dari mushalla maka hal tersebut tidak mengapa. Karena tidak memaksudkan lagi ibadah kepada Allah.“ (Al-Majmu’ 5/10–11)
Dengan demikian, jika seseorang memungkinkan berjalan kaki menuju mushalla ‘ied dan tidak memberatkannya atau menjadikannya terlambat menghadiri shalat ’ied, disunnahkan untuk berjalan kaki. Namun jika sampai menjadikann terlambat menghadiri shalat atau menyulitkannya maka tidak mengapa sambil berkendara. Wallahu a’lam bish-shawab.

- Disunnahkan menyertakan anak-anak untuk menghadiri shalat ‘Ied.

Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no.977), dari jalan Sufyan dari Abdurrahman bin Abbas, beliau berkata, Saya telah mendengar dari Ibnu Abbas, dimana beliau ditanya, “Apakah anda turut serta menyaksikan shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau berkata, “Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya yang masih kecil niscaya saya tidak akan menyaksikannya… “
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Bahwa perkataan beliau, “seandainya bukan karena keberadaan saya yang masing kecil, niscaya saya tidak akan menyaksikannya ..“ yaitu menyaksikan nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum wanita, disebabkan anak kecil masih ditolerir untuk berada disekitar kaum wanita berbeda dengan laki-laki dewasa.“

- Disunnahkan menyelisihi jalan disaat menuju dan disaat kembali dari Mushalla ‘Ied

Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi shalat ‘Ied, beliau menyelisihi jalan-berangkatnya- “
Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendatangi shalat ‘Ied, beliau pulang melewati jalan selain jalan yang beliau lewati ketika berangkat “
[ HR. At-Tirmidzi (2/541), Ibnu Majah (1/1301), Ahmad (2/338), Al-Hakim (1/296) dan selainnya ].

Risalah Ringkas Pelaksanaan Shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha (bag.1)

Risalah Ringkas
Seputar tuntunan pengerjaan
Shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha


1. Hukum Shalat Al-’Iedain ( Shalat dua hari Raya )

Keterangan:
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Islam seputar hukum shalat ‘Iedain , baik itu shala ‘Iedul Fithri ataukah shalat ‘Iedul Adha. Sebagian Ulama berpendapat shalat ‘Iedain adalah termasuk diantara shalat-shalat yang sunnah. Sebagian lainnya berpendapat shalat ‘Iedain fardhu kifayah dan yang lainya berpendapat shalat ‘Iedain shalat yang fardhu ‘ain.
Pendapat yang terakhir ini, adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang merupakan madzhab Imam Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Bahkan Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana didalam Mukhtashar Al-Muzani, menyatakan, “Barang siapa yang diwajibkan baginya shalat jum’at maka wajib pula untuk menghadiri shalat ‘Ied.”
Pendapat ini juga merupakan pendapat Ash-Shan’ani dan Shiddiq Hasan Khan.
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat ‘Iedain:
- Dalam hadist Nabi shallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan perintah beliau kepada kaum wanita, bahkan bagi yang dalam keadaan haidh, untuk menghadiri shalat ‘Iedain. Kemudian bagi wanita yang haidh mundur di bagian belakang shaf wanita disaat shalat didirikan.
- Perintah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bagi para sahabat untuk mengerjakan shalat ‘Iedain, dan juga beliau turut mengerjakannya, serta para Khalifah sepeninggal beliau dan kaum muslimin hingga zaman ini. Bahkan tidak ada satupun negeri Islam yang meninggalkan pengerjaan shalat ‘Iedain.
- Demikian pula jika shalat ‘Iedain bertepatan dengan shalat jum’at, maka shalat jum’at menjadi gugur kewajibannya. Dan seperti ini tidaklah mungkin dipahami kecuali bahwa shalat ‘Iedain merupakan shalat yang wajib. Uraiannya akan disebutkan pada pembahasan berikutnya insya Allah.

2. Waktu Pengerjaan Shalat ‘Ied.

Keterangan:
Disenangi untuk menyegerakan pengerjaan shalat ‘ied. Dan yang paling utama, seseorang telah mendatangi mushalla ‘ied disaat matahari baru saja terbit, dan jika dapat dilakukan sebelum itu, maka lebih utama lagi.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, adalah amalan para sahabat radhiallahu ‘anhum:
1. Atsar Abdullah bin Umar. Berkata Nafi’, “Ibnu Umar biasanya mengerjakan shalat shubuh di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau berangkat menuju mushalla ‘ied.“ [HR. Ibnu Abi Syaibah (1/ 5609) dan juga Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/260) ]
2. Atsar Salamah bin Al-Akwa’. Dari jalan Yazid bin Abu’Ubaid, dia berkata, “Saya telah mengerjakan shalat shubuh bersama Salamah bin Al-Akwa’ di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian saya keluar bersama beliau ke mushalla dan saya duduk hingga imam datang.”
3. Dan beberapa atsar juga dari ulama Tabi’in, diantaranya atsar Umar bin Abdul Azis, Abu Abdirrahman As-Sulami, Ibrahim An-Nakha’i dan selain mereka.

3. Hukum Shalat ‘Ied bagi Musafir dan bagi orang sakit

Keterangan:
Adapun bagi musafir, maka tidak diwajibkan baginya mengerjakan shalat ‘Iedain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, setelah menyebutkan tiga pendapat ulama dalam masalah ini, salah satu diantaranya –yaitu pendapat pertama-, Bahwa mukimnya seseorang adalah syarat wajibnya shalat ‘Ied dan juga shalat jum’at. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama. Merupakan pendapat didalam madzhab Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad pada riwayat beliau yang paling shahih.
Alasannya: Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sekalipun mengerjakan shalat dan khutbah ‘Iedain dan jum’at di saat beliau besafar. Tidaklah beliau mengerjakan shalat ‘Ied di Mina, dan sewaktu Futuh Makkah yang pada saat itu terjadi di bulan Ramadhan, hingga datangnya hari ‘Ied, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mengerjakan shalat ‘Iedul Fithri. Demikian juga para khalifah sepeninggal beliau.
Sedangkan bagi seorang yang sakit, maka dia beroleh udzur tidak menghadiri shalat ‘Iedain di Mushalla ‘Ied, jikalau tidak sanggup untuk bangkit dan berdiri berjalan menuju mushalla ‘ied. Dan bagaimanakah seorang yang sakit dan yang mempunyai udzur mengerjakan shalat pada hari ‘Iedain? Pembahasannya akan disebutkan pada poin yang ketujuh, insya Allah.

4. Hukum Shalat ‘Ied bagi wanita

Keterangan:
Shalat ‘Ied bagi wanita hukumnya wajib.
Sandaran hukumnya:
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan didalam kitab Shahih mereka berdua dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikan yang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saudaranya meminjamkan jilbabnya baginya.”

5. Sunnah mengerjakan Shalat Al-‘Iedain dikerjakan di lapangan terbuka ( Mushalla )

Keterangan:
Termasuk diantara Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluar mengerjakan shalat ‘Iedain (‘iedul fithri dan ‘iedul adha) di lapangan terbuka (mushalla), kecuali jika ada udzur.
Sandaran hukumnya :
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya keluar pada hari ‘iedul fithri dan ’iedul adha menuju mushalla. Dan yang pertama kali beliau kerjakan adalah shalat, setelah itu beliau berbalik menghadap kepada kaum muslimin, dimana mereka duduk di shaf-shaf mereka. Lalu beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memerintahkan kepada mereka .. “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “ Tidaklah seorangpun dari kaum muslimin mengerjakan shalat ‘ied di masjid kabilahnya dan tidak juga dirumahnya. Sebagaimana mereka tidaklah mengerjakan shalat jum’at di masjid-masjid kabilah.“ (Majmu’ Al-Fatawa 4/480)

Berkata Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“