Minggu, 23 November 2008

Dakwah Salafiyah di Villani II (bag. 5)

Demikianlah, setelah uraian tentang ciri dan karakter dakwah Salafiyah terdahulu, barulah pembicaraan melangkah pada waqi' –realita- dakwah Salafiyah di Villa Nusa Indah II(Villani II). Syabaab di wilayah ini dan juga sekitarnya, pada dasarnya –sebagian besarnya tentunya- adalah para syabaab yang haus akan ilmu dan dirasah 'ilmiyah. Hanya saja, dari jeda waktu mulainya pengenalan "nama" dakwah Salafiyah oleh beberapa da'i, mereka tidaklah diajak untuk mengenal dan mendalami ilmu-ilmu asy-syar'iyah. Sebagian besar fokus dakwah para da'i tersebut hanya bersifat formalitas bahkan cenderung pada tajammu'at, yaitu mengumpukan sebanyak-banyaknya pengikut tanpa memperhatikan kualitas ilmiyah yang dicapai oleh mereka. Hingga penokohan da'i tertentu serta kultus individu menjadi ciri dakwah para da'i ini ditengah-tengah mad'u mereka. Dakwah Salafiyah yang hakikipun pada akhirnya tidak dikenali oleh sebagian besar mad'u, yang mana mereka semakin jauh dari metode at-tarbiyah dan ats-tashfiyah yang ditunjukkan para ulama as-Salaf. Sehingga beberapa diantaranya malah menganggap "asing" metode at-tarbiyah yang telah dicontohkan oleh ulama as-Salaf.
Sebut saja misalnya, seorang yang mengaku diri sebagai senior dakwah Salafiyah di Villani II ini. Penulis telah mendengar sendiri, tidak sekali dua kali, klaim senioritas itu terujar dari lisannya. Kata-kata, "paling demikian dan demikian…" telah menghiasi lisan, bahkan mungkin hatinya –na'udzu billah-.Sementara, orang ini tidaklah mengerti ilmu-ilmu syara'. Bahasa Arab, ilmu Hadist, ilmu Ushul dan Qawa'id Fiqhiyah, dan ilmu-ilmu teoritis/alat lainnya, sangat asing bagi dia, terlebih jika dikatakan dia mengetahuinya. Keangkuhan yang menjadikan semakin "muram"-nya wajah dakwah Salafiyah.
Lain halnya, seorang yang lain, pengajar "Sekolah Dasar" di salah satu sekolah di dalam area Villani II. Yang pernah mengecap sedikit pengetahuan bahasa arab "percakapan" dari sebuah instituisi pendidikan swasta. Al-Akh ini, ketika melihat perkembangan beberapa syabaab yang menelaah kajian Ilmu an-Nahwu/ash-Sharf, ilmu Ushul, Mushthalah Hadist dll, memberi komentar yang menunjukkan "kebodohan"-nya terhadap dakwah Salaf –semoga bukan karena "kedengkian" dia atas dakwah Salafiyah ini-:
Belajar ilmu menurutnya, haruslah memakai absensi, tidak sebatas hadir saja. Demikian salah satu ujarannya yang sampai. Mungkin, karena "kerja harian" sebagai guru sekolah dasar yang terbiasa "memegang absen" yang menjadikan dia menyamakan forum ta'lim dan dakwah ilallah sederajat dengan mengajar anak-anak SD.
Saat lainnya, dia meminta adanya tazkiyah –license/rekomendasi- pada pelajaran-pelajaran ilmu-ilmu alat itu sendiri. Ucapan ini bukan hal yang baru penulis dengar, sebelumnya orang-orang hizbiyyah dari kaum harakah juga menghujat para da'i dan thalabul ilmu Ahlus Sunnah dengan ucapan ini. Ada kemungkinan, al-akh ini, karena pernah belajar di institusi yang nota bene "hizbiy" hingga pemikirannya menjadi kacau seperti ini, ataukah karena selama ini dia –sepanjang pengetahuan penulis- mengambil ilmu dari para da'i Hizbiyyiin, sehingga cara berpikirnya juga tidak jauh berbeda dengan para da'i tersebut.
Kami katakan – selain sebagai kritik dan nasihat baginya-, dan sebagai jawaban diatas:
1. Jikalau tazkiyah tersebut yang dimaksud adalah tazkiyah "kabiiruhum" yang memasung dirinya sebagai tolak ukur "salafiyah" seseorang, maka ucapan al-akh ini –semoga Allah mengampuninya- adalah ucapan yang lazim dikalangan kaum hizbiyyiin dan para muqallid.
2. Demikian juga, jika pernyataan tersebut diterima, maka pernyataan serupa akan ditujukan kepada al-akh itu sendiri -yang sepengetahuan penulis telah berani mengajar salah satu dari ilmu alat yakni bahasa Arab- pada kapasitas keilmuannya sendiri yang jauh dari layak untuk mengajar terlebih untuk mendapatkan tazkiyah. Bahkan juga tertuju kepada "kabiiruhum" diatas, yang akan terlontar pertanyaan, apakah "kabiiruhum" ini juga telah mendapatkan tazkiyah ?? Adapun jawaban al-akh atau siapa saja dalam membela "kabiiruhum" adalah juga jawaban kami, karena tidak ada perbedaan diantar kedua keadaan pada pernyataan al-akh tersebut. Agama Islam tidak membedakan dua hal yang serupa dan juga tidak menyatukan dua hal yang berbeda.
3. Adapun jika yang dimaksud tazkiyah yang syar'iyah, maka Salafiyyiin saling memberi tazkiyah satu dengan lainnya, adapun kaum hizbiyyin maka tazkiyah mereka sama sekali tidak mu'tabar. Karena kaum hizbiyyin memberi tazkiyah pada pada wakat ilmiyah seseorang melainkan pada al-wala` wa al-bara kepada seseorang tertentu -dalam hal ini adalah kabiiruhum mereka- atau komunitas tertentu.
4. Dan dalam tinjauan lebih spesifik, ustadz Salafiyiin yang mengajari ilmu-ilmu tersebut, bukanlah seorang yang tidak diketahui wawasan keilmuannya, telah makruf pengambilan ilmu dan sebagai seorang penuntut ilmu syar'i, hal mana berbeda dengan status "kabiiruhum" sendiri yang tidak memiliki kejelasan karakter ilmiyah dan hanya berkecimpung dalam muhadharah-muhadharah umum, layaknya al-qashshash dan al-khuthaba` dimasa generasi ulama Hadist.
Demikian ulasan yang agak panjang, walau tidak mendetail dalam membahas masalah "at-tazkiyah" dan insya Allah sekiranya ada kesempatan akan dibahas secara spesifik tentang masalah tersebut. Ulasan diatas sebatas nasihat ringkas bagi al-akh –semoga Allah mengembalikannya kepada kebenaran-.
Beginilah mungkin gambaran tentang beberapa watak "pelaku dakwah" di daerah Villani ini. Watak yang sebenarnya warisan dari "kabiiruhum" dan corong-corongnya yang berdakwah ala dakwah "kabiiruhum" daerah Villani II dan sekitarnya. Sebuah realita yang memprihatinkan, terkumpul dua hal yang sangat jauh dari metode dakwah Salafiyah, kejahilan atas al-ilmu asy-syar'i (dengan manhaj at-tashfiyah dan at-tarbiyah) dan dakwah hizbiyyah "tajammu'at". Dakwah yang menghasilkan kebodohan, taklid, fanatisme pada individu tertentu, hizbiyah "model" baru yang dihias dengan pakaian as-Salafiyah.
Akan tetapi, walillahil hamdu, sebagaimana sabda Nabi , "bahwa akan senantisa ada diantara umatku suatu kalangan yang menunjukkan al-haq, tidaklah mendatangkan mudharat siapa saja yang menyelisihi mereka dan tidak pula yang merendahkan mereka," beberapa syabaab telah kami ketahui sebagai thalabul ilmu asy-syar'i. Dan telah tampak pula kecintaan mereka kepada ilmu-ilmu syara' dan kepada sunnah Nabi  ash-shahihah. Mereka mempelajari ad-Diin ini dengan berpedoman kepada al-Qur`an, al-hadits dan al-atsar, sebatas dengan kemampuan mereka dalam al-fahm dan at-tafaqquh fid-diin.
Disisi lain pula, kaum muslimin telah tergerak hati mereka untuk mengenal dakwah Salafiyah yang murni, baik itu dalam al-aqidah ash-shahihah, fiqh yang berpedoman pada ad-dalil asy-syar'i, kajian al-hadits an-nabawi dan ilmu-ilmu lainnya. Kaum muslimin inilah yang membutuhkan sambutan dan uluran tangan untuk bersama-sama menegakkan as-sunnah dan dakwah Salafiyah Ahlis Sunnah wal-Jama'ah. Adapun yang menyuarakan dakwah tajammu'at, mereka hanyalah menilai kaum muslimin sebagai bagian dari mereka, jika melayani dan memfasilitasi kebutuhan "komunitas" mereka. Jika tidak, maka mereka akan menganggap kaum muslimin sebagai musuh mereka dan sebagai kalangan yang harus dijauhi. Sebut saja sebuah masjid "al-fulani" di Villani II, yang telah sejak dahulu menjadi fasilisator dakwah mereka, ketika disebabkan hal-hal yang manusiawi, mereka –pelaku dakwah tajammu'at ini- meninggalkan masjid "al-fulani" tersebut. Kemudian mereka menelan lisan dan ucapan mereka dengan –setelah meninggalkan kaum muslimin tersebut- menerima atau "memanfaatkan" fasilitas sebuah institusi pendidikan di Villani II yang dahulu mereka cap sebagai institusi gado-gado, tidak jelas, dan dengan segala macam tuduhan ekstri lainnya. Sebuah interaksi mu'amalah hizbiyah, mu'amalah yang berasaskan asas pemanfaatan, dan loyalitas kepada komunitas/individu tertentu.
Namun dengan keberadaan beberapa da'i ilallah, dakwah kepada kaum muslimin tersebut masih dapat berjalan, terlepas dari segala ikatan hizbiyah yang tercela yang ditunjukkan oleh para pelaku dakwah tajammu'at.
Dan inipula-lah penutup rangkaian ulasan dakwah di Villa Nusa Indah II. Adapun sejumlah masalah ilmiyah dakwiyah yang penulis isyaratkan dalam bahasan ini, insya Allah akan dibahas pada materi lainnya secara lebih luas dan ilmiyah, bi-idznillah ta'ala.

Penulis
(Admin)

Dakwah Salafiyah di Villani II (bag. 4)

7. Menghidupkan sunnah Rasulullah  dalam setiap permasalahan ibadah, suluk dan setiap aspek kehidupan, hingga para pelaksana as-Sunah dianggap sebagai kaum yang terasing ditengah-tengah komunitasnya.

Telah shahih diriwayatkan didalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi  bersabda,
"Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing. Dimana Islam akan bersembunyi diantara dua masjid sebagaimana seekor ular berada bersembunyi didalam sarangnya."
Dan pada lafazh hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau  bersabda, "Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing."[1]

8. Celaan terhadap fanatisme kepada selain Kalam Allah, kalam Rasul-Nya 

Allah ta'ala berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengedepankan –diri kalian- dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha mendenger lagi Maha mengetahui." (Al-Hujurat: 1)

Dan Allah ta'ala telah mencela segala bentuk taklid, dimana Allah ta'ala berfirman,

"Dan apabila dikatakan kepada mereka agar mereka mengikuti segala yang Allah turunkan –berupa wahyu-, mereka mengatakan, bahwa kali mengikuti segala yang kami dapati dari bapak-bapak kami. Tidakkah bapak-bapak mereka sama sekali tidak mengetahui sesuatupun juga dan mereka tidaklah mendapatkan hidayah." (al-Baqarah: 170)

Al-Hafidz Ibnu Rajab –Dari catatan kaki kitab Iqazhu Al-Himam hal. 93 -, beliau mengatakan, “Wajib bagi setiap oang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah  dan dia telah mengetahuinya, untuk menerangkannya kepada umat, menasihati mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti perintahnya, walaupun hal itu bertentangan dengan pendapat ulama yang diagungkan. Karena perintah Rasulullah  lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti dibanding pendapat ulama besar manapun yang menyalahi perintah beliau di dalam beberapa perkara, dimana pendapat ulama itu terkadang keliru. Dari sini terlihat betapa para sahabat dan generasi setelah mereka menolak setiap orang yang menyelisihi As-Sunnah yang shahih dan tidak jarang mereka berlaku keras dalam penolakan ini[2].
Hal itu bukan didasari rasa benci terhadap orang tersebut, melainkan dia seorang yang sangat dicintai dan diagungkan di dalam hati manusia. Akan tetapi, Rasulullah  lebih dicintai oleh mereka dan perintah beliau lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Dan hal ini tidak menghalangi mereka untuk memberikan penghormatan kepada seorang alim yang menyelisihi perintah beliau  , walaupun orang itu mendapat ampunan kelak…”

9. al-Amr bil-Makruf wan-Nahyu 'an al-Munkar.

Allah ta'ala berfirman,

"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dimunculkan kepada segenap kaum manusia, kalian mengajak mereka kepada perbuatan yang makruf dan melarang dari perbuatan yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah." (Ali-Imran: 110)

10. Menyanggah setiap penyelisih agama Allah dan Sunnah Rasulullah , baik muslim ataupun bukan, bagaimanapun kedudukan si penyelisih. Baik penyilisihan tersebut dikehendakinya atau tanpa kesengajaan.

Allah ta'ala berfirman:

"Wahai Nabi , mestilah engkau berjihad menghadapi orang-orang Kafir dan kaum Munafiq dan berlaku tegaslah kepada mereka."[3]


"Dan demikianlah Kami paparkan Ayat-ayat Kami agar menjadi jelas jalannya orang-orang yang berboat dosa." ( Al-An'am : 55 )
Dan dalam Muqaddimah Shahih Imam Muslim 1 / 12 , dari hadist Abu Hurairah , Nabi  bersabda, "Akan ada pada akhir ummatku segolongan manusia yang mengada-adakan sesuatu yang belumlah kalian pernah mendengarnya dan tidak juga bapak-bapak kalian, maka berhati-hatilah kalian dan mereka."
Dari Aisyah radhiallahu 'anha beliau berkata: Rasulullah  membacakan ayat ini:

"Dan Dialah – Allah – yang telah menrunkan kepadamu –Muhammad- Al-Qur`an, yang padanya terdapat ayat-ayat yang muhkam yang merupakan Ummul Kitab dan selainnya adalah ayat-ayat mutasyabih. Dan adapun orang-orang yang pada hati-hati mereka penyakit maka mereka akan mengikuti yang mutasyabih itu dari Al-Qur`an untum mendatanghkan fitnah dan mendatangkan penta'wilannya. Dan tiada yang mengetahui ta'wilnya selain Allah. Dan orang-orang yang memiliki keluasan ilmu mengatakan : kami beriman kepada nya , semuanya berasal dari sisi Rabb kami , dan tiadalah yang berpikir kecuali Ulul Albab." ( Ali Imran : 7 )
Telah ditanyakan kepada Imam Ahmad, "Seseorang yang mengerjakan puasa, mengerjakan shalat dan i'tikaf apakah lebih anda senangi dari pada seseorang yang berbicaran –mengkritik- pelaku bid'ah?" Maka beliau menjawab, "Apabila seseorang mengerjakan shalat dan i'tikaf, maka hanya untuk dirinya sendiri, sementara seseorang yang berbicara mengkritik pelaku bid'ah adalah bagi kaum muslimin, dan yang ini lebih utama."[4]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Seseorang yang membantah ahlul bid'ah adalah seorang mujahid."[5]

11. Membedakan antara kesalahan yang berasal dari seorang Ahlus-Sunnah dan kesalahan dari seorang da'i ahlil-bid'ah.

Dimana kesalahan dari seorang ulama Ahlis-Sunnah yang menegakkan asal dakwah mereka pada manhaj Ahlus-Sunnah adalah berasal dari ijtihad yang akan mendapat satu kebaikan sementara kesalahan mereka sendiri tertolak. Berbeda dengan ahlil-Bid'ah dimana asal muara ushul/dasar pondasi mereka tegak diatas manhaj yang menyelisihi manhaj Ahlus-Sunnah.
Imam asy-Syathibi mengatakan, "Seseorang yang dinisbatkan kepada bid'ah tidak terlepas dari keberadaannya sebagai seorang mujtahid ataukah seorang muqallid.
Lalu beliau berkata, kelompok yang pertama terbagi dua golongan:
Pertama, kedudukannya sebagai seorang mujtahid benar adanya. Hingga bid'ah yang terdapat darinya tidak terjadi kecuali terjadi dengan tanpa disengaja dan pengaruh dari luar bukan dari dzatnya langsung. Dan bid'ah tersebut dinamakan sebagai suatu kekeliruan dan ketergelinciran. Karena pelakunya tidaklah memaksudkan dengan pengikutannya kepada hal-hal yang mutasyabih (samar-samar) untuk menebar fitnah dan penafsiran Kitabullah –menyelisihi kandungan sebenarnya-.Yakni tidaklah dia menghendaki pengikutan pada haa nafsu dan sebagai suatu kesengajaan. Hal yang menunjukkan akan hal tersebut, apabila tampa kebenaran baginya, maka diapun tunduk pada kebenaran tersebut.
Kedua, adapun yang tidak tepat dengan berpedoman pada tolak ukur keilmuan sebagai bagian dari ulama mujtahid. Dimana dia dengan bebasnya beranalogi dengan segala sesuatu yang menyelisihi syariat, seperti yang telahdikemukakan sebelumnya. Dimana telah terkumpul padanya kebodohan akan kaidah-kaidah syara' dan hawa nafsu yang mendorongnya pada asalnya, dan hal tersebut hanya sebagai dampak ikutan."[6]

12. Beribadah kepada Allah dengan ketaatan kepada Pemerintah serta tidak mengadakan pemberontakan terhadapnya. Dan mengajak mereka kepada kebaikan dan saling kerjasama serta saling menasihati dengan penuh kejujuran.

Allah ta'ala berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada para pemimpin diantara kalian." (an-Nisa`: 59)
Dan Nabi  bersabda, "Barang siapa yang telah membai'at seorang imam, lalu dia menyerahkan perjanjian dan ketundukan hatinya maka dia harus mentaatinya semampunya.Jika datang seorang yang menentang imam tersebut, maka kalian penggallah leher –imam- yang lainnya."[7]

13. Hikmah dalam Dakwah ilallah

Allah ta'ala befirman,

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Ali Imran: 159)
Dan Rasulullah  bersabda, "Sesunguhnya kelemah lembutan pada sesuatu tidaklah kecuali akan menghiasinya dan tidaklah kelemah lembutan tersebut terangkat dari sesuatu kecuali akan menjadikannya aib."
Dan demikian juga dari banyak contoh teladan Rasulullah  dalam dakwah ilallah, dimana beliau  mengiringkan kelemah lembutan, kesantunan, ucapan yang tegas namun bil-hikmah serta akhlak yang mulia dalam interaksi dakwah, menunjukkan keutamaan hikmah dalam dakwah ilallah.

14. Memberikan perhatian pada ilmu syara' yang berdasarkan pada al-Qur`an, as-Sunnah dan atsar-atsar Salaful Ummah, menuntut ilmu tersebut lalu mengamalkannya.

Allah ta'ala berfirman,

"Ketahuilah bahwa tiada Ilah yang hak selain Allah dan mintalah ampunan akan dosamu." (Muhammad: 19)
Dan dari Ali bin Abi Thalib a dan 'Abdullah bin Mas'ud a keduanya mengatakan, "Tidak akan bermanfaat suatu perkataan tanpa diiringi dengan amal, dan tidak akan bermanfaat suatu amalan tanpa perkataan dan tidak akan bermanfaat perkataan dan amalan tanpa diiringi dengan niat, dan tidak lah berarti suatu niat tanpa keselarasan dengan sunnah."[8]

15. Kesungguhan untuk mengadakan at-tashfiyah yang menyeluruh dan at-tarbiyah diatas pundasi at-tashfiyah ini.

Yaitu dengan mengembalikan pemurnian pemahaman dan ushul Dakwah ilallah kepada al-Qur`an, as-Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama as-Salaf. Makna at-tashfiyah adalah pemurnian Islam kembali kepada Islam dari segala sesuatu yang bukan bagian dari Islam, baik dalam aqidah, hukum dan akhlak, sehingga Islam kembali bersir cemerlang seperti pada pakaian Risalah Nubuwwah yang diturunkan kepada Muhammad . Sedangkan at-tarbiyah adalah, pencapaian diri manusia pada kesempurnaan yang sepadan sedikit demi sedikit.
At-tashfiyah (pemurnian) pada al-manhaj al-'ilmi dan juga al-manhaj al-'amali, dari setiap penyimpangan dan penyelisihan atas manhaj as-Salaf disertai dengan at-tarbiyah (pendidikan/pengajaran) ar-rabbaniyah. Nabi  sendiri adalah peletak dasar at-tashfiyah dan at-tarbiyah ar-rabbaniyah ini, Allah ta'ala berfirman,

"Dan Dialah yang telah mengutus pada kaum yang ummi, seorang rasul dari mereka. –Rasul itu- membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, membersihkan hati mereka dan mengajarkan mereka al-Kitab dan hikmah, walau mereka sebelumnya berada pada kesesatan yang nyata." (al-Jumu'ah: 2)
Dan sepeninggal beliau  yang melanjutkan kewajiban at-tashfiyah dan at-tarbiyah adalah para ulama dan thalabul ilmi, firman Allah ta'ala,

"Akan tetapi kalian jadilah para Rabbaniyyin, dimana kalian mengajarkan kaum manusia al-Kitab dan disebabkan kalian terus mempelajarinya." (Ali Imran: 79)
Dan manhaj at-tashfiyah dan at-tarbiyah ini adalah suatu yang harus selalu menyertai dakwah Salafiyah, dan sebagai suatu keharusan dalam manhaj ad-Dakwah, asy-Syaikh al-'Allamah Nashiruddin al-Albani mengatakan, "Dan menjadi keharusan untuk memulai dengan at-tashfiyah dan at-tarbiyah. Dan setiap gerakan apapun yang tidak ditegakkan dengan pundasi ini maka tidak ada faedah sama sekali pada gerakan tersebut secara mutlak."[9]

(Bersambung)


[1] Muslim 1/130-131
[2] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Walaupun yang mereka selisihi adalah orang tua dan ulama-ulama mereka. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ath-Thahawi didalam Syarah Ma’ani Al-Atsar (1/372), dengan sanad yang kesemua perawinya tsiqah, dari Salim bin Abdullah bin Umar, ia berkata: “Suatu ketika saya duduk bersama Ibnu Umar dimasjid. Tiba-tiba datang kehadapan beliau seorang penduduk Syam, lalu bertanya kepadanya tentang haji tamattu’, di dalam Umrah ke Haji.
Ibnu Umar berkata: “Itu adalah amalan yang baik lagi bagus.”
Laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya bapakmu pernah melarangnya.”
Ibnu Umar berkata: “Celaka engkau ! walaupun bapakku melarangnya, namun Nabi r telah melakukannya dan memerintahkannya. Apakah engkau akan mengambil pendapat bapakku atau perintah Rasulullah r ?!”
Laki-laki itu menjawab: “Dengan perintah Rasulullah r .”
Ibnu Umar berkata: “Pergilah diriku.”
Ahmad meriwayatkan semisalnya (no.5700), At-Tirmidzi (2/82-At-Tuhfah) dan beliau menshahihkannya.
[3] At-Tahrim : 9
[4] Majmu' al-Fatawa 28/231.
[5] Majmu' Al-Fatawa 4 / 13
[6] Al-I'tisham 1/193-194.
[7] HR. Muslim, Kitab al-Imarah 3/1473.
[8] Dikeluarkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari'ah hal. 131, Al-Laalikai dalam Syarh I'tiqad 1 / 57 dari perkataan Al-Hasan Al-Bashri dan Sa'id bin Jubair , dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 9 dari Sufyan Ats-Tsauri.
[9] Lihat al-Bashair hal. 118

Kamis, 20 November 2008

Mengenal Landasan Syariat Islam, Al-Qur`an As-Sunnah dan Ijma'

Syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan menyeluruh. Sempurna dari sisi sifat dan karakter syariat Islam itu sendiri dan menyeluruh mencakup segala prikehidupan hamba Allah, tanpa satupun yang terlewatkan. Baik dalam masalah aqidah, peribadatan khusus, muamalah/interaksi sosial, akhlak dan adab serta sendi-sendi kehidupan lainnya. Kesempurnaan ini juga merupakan implikasi dari kesempurnaan dasar pijakan syariat Islam itu sendiri, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan ijma'/konsensus kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin tidak diperkenankan untuk menyelisihi dasar pijakan syariat Islam sebagaimana tidak diperbolehkan menyelisihi syariat Islam itu sendiri.
Berikut beberapa keterangan dari al-Qur`an dan as-Sunnah yang shahih berkenaan dengan hal tersebut:
Allah I berfirman dalam Al-Qur`an Al-Karim,

"Dan jika kalian berselisih pada suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya." ( An-Nisa : 59 )
Dan firman Allah I,

"Dan barang siapa yang menyelisihi Rasul setelah datangnya petunjuk dan juga jalan kaum yang beriman akan kami palingkan sebagaimana ia berpaling dan akan kami campakkan mereka kedalam api neraka." ( An-Nisa : 115 )
Dan firman Allah ,

"Dan berilah peringatan kepada orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya akan ditimpakan kepada mereka fitnah ataukah akan dijatuhkan pada mereka adzab yang pedih." ( An-Nur : 63 )
Firman Allah ,

"Sekali-kali demi Rabb engkau, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikan engkau tempat bertahkim dari segala yang mereka perselisihkan sesama mereka lalu tidaklah ia mendapatkan dalam hati-hati mereka ketidak senangan dari yang telah engkau putuskan dan menerimanya sebenar-benar penerimaan." ( An-Nisa : 65 )
Dan firman Allah ,

"Dan apa yang didatangkan Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa yang ia cegah darinya maka kalian hindarilah." ( Al-Hasyr : 7 )
Dan firman Allah ,

"Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lainnya yang akan memecah belah kalian dari jalan-Nya, inilah yang diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertaqwa." ( Al-An’am : 153 )
Dan firman Allah ,

"Dan kalian ikutilah segala yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti selainnya dan kalian jadikan wali kalian, namun sangat sedikitlah dari kalian yang berpikir."
Dan firman Allah ,

"Dan kalian ikutilah yang terbaik dari yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian sebelum didatangkan atas kalian adzab yang tiba-tiba sedangkan kalian tidak menyadari." ( Az-Zumar : 55 )
Dan juga firman Allah ,

"Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”( Ali Imran : 32 )
Dan firman Allah ,

"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berpaling sedangkan kalian mendengarkannya." ( Al-Anfal : 20 )
Adapun dari Sunnah Nabi , maka terdapat sekian banyak hadist-hadist yang shahih diantaranya,
Yang diriwayatkan dari hadist Abu Nujaih Al-'Irbadh bin Sariyah radhiallahu 'anhu, beliau berkata,

وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً وَجِلَتْ مِنْهاَ القُلُوْبُ وَ ذَرِفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ. فَقُلْناَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهاَ مَوْعِظَةُ مُوَدَّعٍ فَأُوْصِناَ ! قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ السَّمْعِ وَ الطاَّعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ وَ إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرىَ اخْتِلاَفاً كَثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّواْ عَلَيْهاَ بِالنَّواَجِذِ وَ إِياَّكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ
“Nabi  telah memberikan kepada kami suatu nashihat yang begitu menusuk sanubari kami. Yang telah menggetarkan hati-hati kami dan membuat air mata kami menetes jatuh.
Maka kamipun mengatakan, Wahai Rasul Allah, sepertinya nasihat ini adalah nasihat perpisahan dari engkau, maka berikanlah kami wasiat !

Beliau  bersabda,
"Saya wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah subhanahu wata'ala, taat dan tunduk kepada-Nya, walaupun yang menyampaikannya hanyalah seorang hamba habsyi. Dan sesungguhnyalah, barang siapa diantara kalian yang akan hidup sepeninggalku akan mendapati perselisihan yang teramat banyak maka berpeganglah kalian dengan sunnah-ku dan sunnah para Khulafa' Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk, berpegang eratlah dengannya . Dan waspadalah kalian dari setiap perkara yang diada-adakan, dikarenakan kesemuanya itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya dineraka."
( Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunan-nya No. 4607, At-Tirmidzi dalam As-Sunan No. 2676, Ibnu Majah No. 42, Ahmad dalam Al-Musnad 4 / 126, Ad Darimi No. 95, dan hadist ini telah dishahihkan oleh Al Albani )

Dari Al-Miqdam bin Ma'dikarib radhiallahu 'anhu dari Rasulullah , beliau bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitab dan semisalnya bersama dengan Al-Kitab …"
( Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam As-Sunan No. 3804, 4604, Ahmad dalam Al-Musnad 4 / 130 )
Dan dari Jabir bin 'Abdillah radhiallahu 'anhu dari Nabi ,bersabda –pada kisah Haji Nabi- , "Dan sungguh telah saya tinggalkan kepada kalian dimana kalian tidak akan sesat setelahnya jikalau kalian berpegang teguh diatasnya Kitabullah … "
(Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1218 dan selain dari beliau )
Dan dalam Shahih Ibnu Hibban No. 122 dari Abu Syuraih Al Khuza'i radhiallahu 'anhu beliau berkata, “Keluar ketengah kami Rasulullah  lalu berkata, "Bukankah kalian mempersaksikan syahadat Laa Ilah Illallah wa Inni Rasulullah ? Mereka menjawab, “Benar.” Beliau  berkata, "Sesungguhnya Al-Qur`an ini salah satu sudutnya berada ditangan Allah  dan sudut lainnya ditangan kalian maka berpegang teguhlah dengannya, dan kalian tidak akan sesat dan celaka selamanya setelah itu"
( Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Shahih At-Targhib 1 / 93 )
Dikeluarkan oleh Ahmad rahimahullah dalam Al-Musnad 1 / 337, Ishaq bin Rahawaih lihat dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah 1 / 360, Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal-Mutafaqqih 1 / 145, dan Ibnu 'Abdil Barr dalam Al-Jami' 2/ 239 – 240, dari Atsar 'Abdullah bin Abbas h , ketika beliau disapa oleh 'Urwah bin Az-Zubair rahimahullah dalam masalah Umrah. Dimana 'Urwah berdalilkan dengan amalan Abu Bakar radhiallahu 'anhu dan 'Umar radhiallahu 'anhu ketika membantah Ibnu Abbas h.

Berkata Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, "Dan inilah yang sebenarnya telah mencelakakan kalian, demi Allah kecuali Allah akan menjanjikan bagi kalian ancaman, Dimana saya telah menceritakan –suatu riwayat mendatangkan – kepada kalian hadist Nabi  sedangkan kalian mendatangkan –pendapat- Abu Bakar dan 'Umar"
Dan dari Abu Darda'  dari Rasulullah  beliau bersabda,

فَوَاللهِ لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مَحَجَّةٍ بَيْضـَـاءَ لَيْلِهاَ كَنَهاَرِهاَ
" … Dan demi Allah, telah saya tinggalkan bagi kalian diatas pemisalan yang putih bersih, dimana malamnya bagaikan siang harinya )”
( Hadist Hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya 1 / 4, dan Ibnu Abi 'Ashim dalam Kitab As-Sunnah hal. 26 dan dihasankan oleh Al-Albani t dalah Shahih Ibnu Majah 1 / hal. 6 dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad 4 / 126 dan Ibnu Majah 1 / 16 dari hadist Al-'Irbadh bin Sariyah, dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Dhzilalul Jannah No. 47 – 49 )
Berkata Abi Darda radhiallahu 'anhu, "Telah benarlah adanya Allah  dan Rasul-Nya , kami telah ditinggalkan diatas suatu pemisalan yang putih bersih, malamnya bagaikan siangnya. "
Dan berkata Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, "Sesungguhnya kalian akan terjerembab pada perbuatan muhdatsah dan dikelilingi dengan perkara yang muhdats – diada-adakan - , maka tatkala kalian melihat segala yang diada-adakan, wajiblah bagi kalian untuk berpegang dengan ketentuan yang terdahulu."
( Dikeluarkan oleh Ad-Darimi dalam As-Sunnah 1 / 56 )
Dan beliau radhiallahu 'anhu juga berkata, "Hati-hatilah kalian dengan segala perkara bid'ah, hati-hatilah dengan sikap melampaui batas dan hati-hatilah dengan sikap berlebih-lebihan, dan hendaklah kalian berpegang dengan warisan yang terdahulu."
( Dikeluarkan oleh Ad-Darimi dalam As-Sunnah 1 / 50 )
Dan dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu 'anhu, beliau berkata, "Kalian ikutlah pada jalan-jalan kami ! Dan jikalau kalian mengikuti kami sungguhlah kalian telah berlalu dengan cepatnya, dan jikalau kalian menyelisihi kami sungguhlah kalian telah sesat dengan kesesatan yang jauh."
( Disebutkan oleh Ibnu Wadhdhoh dalam " Al-Bida' wan-Nahyu 'anha " hal. 12 )
Berkata Sahl bin 'Abdillah At-Tastury t, "Hendaklah kalian berpegang dengan Atsar dan Sunnah, karena sesungguhnyalah saya takutkan akan datang sebentar lagi suatu zaman, dimana manusia waktu itu diingatkan padanya tentang Nabi  dan perlunya menjadikan beliau qudwah pada setiap perilaku beliau, merekapun mencemoohkannya dan menjauhkan diri mereka darinya, berlepas diri, merendahkannya serta menghinakannya."
( Tafsir Al-Qurthubi 9 / 139 )
Berkata 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, "Sesungguhnyalah kami mengikuti semata dan tidak memulai , dan kami hanya ittiba' dan tidak sekali-kali mengada-adakan bid'ah dan tidaklah kami akan sesat selama kami berpegang dengan Perkara ini." - Yaitu As-Sunnah –
( Diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam Syarh I'tiqad Ahlus Sunnah 1 / 86 )
Dan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu dan 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu keduanya mengatakan, "Tidak akan bermanfaat suatu perkataan tanpa diiringi dengan amal, dan tidak akan bermanfaat suatu amalan tanpa perkataan dan tidak akan bermanfaat perkataan dan amalan tanpa diiringi dengan niat, dan tidak lah berarti suatu niat tanpa keselarasan dengan sunnah."
( Dikeluarkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari'ah hal. 131, Al-Laalikai dalam Syarh I'tiqad 1 / 57 dari perkataan Al-Hasan Al-Bashri dan Sa'id bin Jubair , dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 9 dari Sufyan Ats-Tsauri )

Berkata Abu Darda' radhiallahu 'anhu, " … Tidaklah sekali – kali engkau akan tersesat selama engkau mengikuti Sunnah."
( As-Sunnah, Abu Bakr Muhammad bin Nashr Al-Marwazi hal. 28 )
Berkata Ibnu 'Ajlan rahimahullah, "Tidak akan benar suatu amal terkecuali terpenuhi tiga hal , taqwa kepada Allah, Niat yang baik dan penyelarasan dengan Sunnah. "
( Jami' Ulum wal-Hikam 1 / 71 )
Begitu juga Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan –ketika beliau meriwayatkan suatu hadist- dimana sebagian yang hadir mengatakan, “Apakah engkau menerima hadist ini ?”
Maka beliau rahimahullah mengatakan. "Jika saya telah meriwayatkan suatu hadist yang shahih dari Nabi  lalu saya tidak menerimanya, maka saya mempersaksikan kalian bahwa sesungguhnya pikiran saya telah hilang, sambil beliau menghamparkan kedua tangannya."
( Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi'i 1/ 474 – 475 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 9 / 106 )
Dan Al-Imam Asy-Sya'bi rahimahullah berkata, "Apapun yang mereka beritakan dari hadist Rasulullah r maka terimalah, dan segala yang mereka ucapkan dengan pemikiran mereka maka lemparkanlah ketempat sampah."
(Dikeluarkan oleh Ad-Darimi dalam As-Sunan 1 / 60)
Berkata Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, "Barang siapa yang disampaikan kepadanya hadist dari Rasulullah  lantas menerima keabsahannya namun menolaknya setelah itu tanpa adanya kepalsuan dari ia, maka orang ini kafir."
( Al-Ihkam li Ibni Hazm 1 / 89 )
Dan Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah telah menyebutkan hal yang serupa dalam Kitab As-Sunnah lihat hal. 113, 119, dan 128.
Dan selainnya dari Hadist-hadist serta Atsar-Atsar yang shahih dari Rasulullah  serta para sahabat beliau dan para Imam Ahlus Sunnah setelahnya.

(Ummu Zakariya)

Siapakah Aktor Intelektual Pembela HIzbiyah

KESAKSIAN AL USTADZ ABU MAS’UD Rabu, 12 Juli 2006 di Ma’had Umar Ibnul Khattab Paciran-Lamongan Jawa Timur

Berkata al Ustadz Abu Mas’ud: “Khutbatul Hajat Thoyyib insya Allah, dalam kedatangan kawan-kawan dari Ma’had Al-Bayyinah (Sedayu, Gresik-ed) ke Ma’had kita, yaitu (Ma’had) Umar bin Al-Khattab dalam rangka mencari kejelasan atas perkara yang selama ini terjadi di pertengahan dakwah Salafiyyah di Indonesia. Adapun yang akan kita bicarakan sebagaimana permohonan sebagian kawan di sini, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan masalah perpecahan yang ada dalam medan dakwah Salafiyyah di Indonesia. Dan di sini saya Abu Mas’ud karena juga termasuk mengetahui sedikit perkara seputar masalah ini, maka sebagian kawan memohon agar saya menjelaskan kepada orang-orang yang mungkin membutuhkan untuk masalah ini dan semoga apa yang akan kita jelaskan bermanfaat bagi kita semua yang hadir di sini, bagi kawan-kawan yang sampai kepadanya tentang masalah ini melalui beberapa perantara, mungkin melalui kaset, mungkin melalui tulisan dan melalui internet atau yang semisal dengannya.

Yang akan kita bicarakan, yaitu mungkin beranjak dari apa yang dikenal dengan dakwah Salafiyyah di Indonesia. Dulu, ketika saya masih di Pakistan pada tahun 1990-1994 permasalahan yang semisal ini sudah pernah terjadi dibicarakan di sana. Kemudian, setelah saya pindah ke Saudi Arabia tepatnya di kota Mekkah, permasalahan ini juga termasuk permasalahan yang sudah sering dibicarakan, baik masalah Ihya’ut Turots Kuwait, baik masalah-masalah Jum’iyah yang lain atau masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah manhaj, ini sudah pernah dibicarakan panjang lebar. Kemudian, sepulang saya dari Saudi Arabia sekitar pada tahun 1995, di pertengahan tahun waktu itu saya belum pernah mendengar masalah ini di Indonesia karena saya masih awal. Setelah itu, pada tahun 96 saya sebagai pengajar di Al-Furqon Gresik di Ma’hadnya Aunur Rofiq Ghufron. Nah..dari situ saya terus mendengar beberapa permasalahan seputar dakwah Salafiyyah di negeri kita ini sebagaimana yang dulu saya dengar di Saudi Arabia atau di Pakistan sebelumnya.

Kemudian, permasalahan yang berkaitan dengan masalah perpecahan dakwah Salafiyyah dan ini adalah berawal dari sebagian kawan para da’i di Indonesia ini bermuamalah dengan beberapa yayasan yang dikenal dengan yayasan penyandang dana, seperti As-Sofwah, seperti Ihya’ut Turots Kuwait dan yang lain banyak sekali seperti Al-Haramain atau beberapa yayasan yang mungkin kita tidak perlu menyebutkannya, yang jelas banyak sekali. Dari sini timbul sebagian koreksi-mengkoreksi atas sebagian para da’i waktu itu, kita dengar perselisihan antara Jafar Umar Tholib dengan Abu Nida’ cs, Aunur Rofiq dan yang lain yang berkumpul dengan mereka. Ketika saya mendengar tentang masalah ini, waktu itu adalah berkenaan dengan masalah Yayasan As-Sofwah. Waktu itu pembicaraan tentang As-Sofwah sudah panjang lebar dibicarakan dengan Ja’far Umar Tholib dan kawan-kawan.

Ketika itu saya mendengar masalah ini, ketika itu saya bertanya kepada kawan-kawan yang saya percaya bahwasanya menurut pengakuan sebagian kawan-kawan As-Sofwah adalah sebuah Yayasan yang disebut kawan-kawan menyandang dana dalam arti hanya sekedar membantu. Adapun misi yang lain di sela-sela membantu itu ataupun di waktu dia membantu ini waktu itu tidak diketahui tentang keburukannya, karena sebagian kawan yang saya tanya jawabannya adalah: “Ya selama ini –katanya- tidak ada masalah.” Dan kita ketahui Muhammad Khalaf secara khusus arahnya tidak macam-macam dalam arti tidak membikin repot dalam masalah dakwah sementara kritikan gencar dari Ja’far Umar Tholib dan kawan-kawan yang sepaham waktu itu. Ketika itu ya kita tidak… kalau saya pribadi saya tidak mempercayai tentang kritikan dari Ja’far Umar Tholib, kenapa? Karena kita mendapatkan beberapa koreksi tentang Ja’far Umar Tholib dari sisi tidak jujurnya ketika bercerita atau dalam sisi tidak cocok antara apa yang ia ceritakan dengan kenyataan yang berkaitan dengannya. Maka prinsip saya secara pribadi saya tetap juga membolehkan mengambil dana dari Yayasan As-Sofwah tapi di saat itu saya terus melihat, mencari sejauh mana Yayasan As-Sofwah ini dalam masalah penyelisihannya terhadap syari’at Islam, terhadap manhaj akhirnya sayapun pernah ketemu sekali dengan Muhammad Khollaf di al-Furqon, ketika saya tanya-tanya tentang masalah tertentu berkaitan dengan masalah manhaj di situ saya memiliki sedikit koreksi terhadap dia.

Kemudian permasalahannya ini semakin terus memanjang, dan ini kejadiannya sekitar tahun 99, kemudian pada tahun 2000 ternyata yayasan As-Sofwah waktu itu mengirim sebuah undangan tapi melalui pihak al-Furqon dalam arti undangan yang datangnya dari As-Sofwah melalui via telepon kemudian dikirim sebagian kawan di al-Furqon yaitu oleh Rahmat Hadi kemudian dibahasakan dalam bentuk tulisan. Nah, isinya adalah mengajak adanya pertemuan untuk muqobalah antara ustadz-ustadz al-Furqon dan karyawan, mungkin seperti itu, semisal dengan itu, pertemuan ini maunya diadakan di al-Irsyad Surabaya, isinya adalah untuk membicarakan masalah maudhu’ dakwah dan mutu para da’i, menurut pengakuan As-Sofwah ini katanya permintaan para muhsinin Saudi Arabia tapi dalam isi undangan ini ada sedikit keganjalan atau permasalahan yang kita bicarakan yang kita anggap itu perkara yang menyelisihi manhaj , di situ dijelaskan bahwasanya tidak boleh tidak hadir dalam menghadiri undangan ini dan tidak boleh udzur dan barangsiapa yang tidak hadir maka dianggap keluar dari guru atau karyawan al-Furqon. Nah isi undangan yang semacam ini saya nilai menyelisihi manhaj dalam arti As-Sofwah adalah sekedar Yayasan yang membantu al-Furqon dalam rangka untuk berdakwah, karena ada sisi mendikte al-Furqon untuk menganggap keluar atau masuknya seorang guru tergantung dia karena barang siapa yang tidak hadir dianggapnya keluar dari guru atau karyawan al-Furqon sementara undangan tadi itu bikinannya As-Sofwah yang diminta oleh As-Sofwah agar ditandatangani oleh Aunur Rofiq. Aiwa, ditandatangani. dan menyebarkannya diantara guru-guru di al-Furqon diantaranya saya dan ustadz Nurul Yaqin dan yang lainnya, karena saya melihat ini adalaah menyelisihi manhaj saya langsung. saya banting-banting itu isi undangan dan besoknya saya datangi Aunur Rofiq ke rumahnya, saya tanya sejauh mana hubungan antum dengan As-Sofwah jawabnya sejauh apa yang kita ketahui adalah sekedar mereka membantu dan kami menggunakan dana untuk kepentingan dakwah. “Cuma itu?” Jawaban beliau : “Ya”. “Kemudian apakah tidak ada nanti terakhirnya itu Ma’had ini dikuasai oleh mereka?”, “Tidak ada”, (jawab Aunur Rofiq). Tapi kenyataan yang ada dalam undangan ini adalah ada sisi kekuasaan atas mereka atau ada sisi penguasaan dari mereka atas al-Furqon maka itu saya bilang sama Aunur Rofiq: yang jelas saya nilai ini adalah undangan yang bermakna hizbiyah saya tidak hadir dalam acara yang akan diadakan di Surabaya, di al-Irsyad, saya pribadi saya nggak hadir.

Kemudian setelah itu sebagian guru muda di sana bertanya kepada Aunur Rofiq karena mendengar saya tidak hadir. Maka menurut sebagaimana yang disyaratkan dalam isi undangan, barangsiapa yang tidak hadir dianggap keluar dari guru atau karyawan al-Furqon, akhirnya sebagian guru muda menjumpai Aunur Rofiq (dan bertanya): “Apakah Abu Mas’ud tahun ajaran baru depan ini masih disuruh mengajar disini?” Kata Aunur Rofiq: “Masih, kalau mau”. Akhirnya sebagian guru yang mendengar itu datang ke tempat kami disini, menemui saya dan menemui ustadz Nurul Yaqin untuk menawarkan dan menanyakan: “Apakah masih mau mengajar di sana?” Saya bilang: “Saya masih mau mengajar asal hubungannya al-Furqon dengan As-Sofwah tidak semisal itu, tidak seperti itu. Akhirnya mereka sidang, para guru-guru muda ini sidang membicarakan masalah ini menimbang antara mashlahat dan madhorot, kalau kita menuruti undangannya As-Sofwah kita akan kehilangan Abu Mas’ud, kalau kita nanti memakai Abu Mas’ud kita akan kehilangan dana. Kemudian mana yang lebih ashlah, mana yang lebih menguntungkan dalam masalah dakwah, akhirnya mereka memutuskan menghadiri undangan itu tapi dalam rangka mempermasalahkan isi undangan, sementara mereka Abubakar al-Fui yang didampingi oleh Farid Okbah itu ndak tahu rencananya guru-guru itu ke al-Irsyad. Mereka mendatangi undangan dikiranya sekedar langsung mulus gitu aja, ternyata sampai sana dipermasalahkan isi undangan yang ditulis oleh pihak al-Furqon atas suruhan As-Sofwah tadi itu. Setelah dipermasalahkan panjang lebar sampai lama akhirnya terakhir tidak ada pertemuan, kenapa? Karena mereka memohon agar Abu Mas’ud jangan dikeluarkan dengan tidak hadirnya ini, (sementara) mereka (As-Sofwah) meminta agar dikeluarkan karena tidak menuruti isi undangan. Akhirnya mereka memutuskan semuanya tidak menerima muqobalah, tidak menerima pertemuan dan titik terakhirnya akhirnya As-Sofwah pun memutus hubungan dengan al-Furqon karena tidak mau menuruti mereka, dalam arti adanya muqobalah yang disyaratkan siapa yang tidak hadir dianggap keluar dari guru atau karyawan al-Furqon.

Waktu itu Aunur Rofiq tidak ada di Jawa, Aunur Rofiq dikirim oleh As-Sofwah ke Medan dalam rangka berdakwah, kemudian..ini pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2001 akhirnya saya pun tetap mengajar dari 2000-2001 karena As-Sofwah sudah memutus dana dan saya masih mau mengajar karena sudah tidak ada hubungan dengan As-Sofwah yang di atas pernyataannya yang batil tadi itu, karena mereka juga berani menolak isi undangan yang tadi itu, ndak menerima adanya muqobalah akhirnya As-Sofwah pun memutus dana dan kita pun masih tetap mengajar selama setahun pada tahun 2001.



Lha…pada tahun 2001 saya ketemu Sholeh Su’aidi di rumahnya di Salatiga. Waktu itu kita bicara-bicara tentang masalah umum lha tiba-tiba Sholeh Su’aidi ini nyeletuk bicara masalah tidak senangnya hubungannya Jamilurrohman dengan As-Sofwah. karena dia juga termasuk baru pulang dari Yaman dan memberikan pernyataan seperti itu maka sayapun akhirnya sambut..saya sambut, saya tambah, saya jelaskan pada dia tentang tindakannya As-Sofwah selama ini di al-Furqon. Akhirnya Sholeh Su’aidi bersikeras, agar apa? (agar) Saya ini menjelaskan di depan kawan-kawan di Jogja tentang masalah As-Sofwah, tapi saya nggak mau, saya keberatan, kenapa? Karena saya takut nanti dikatakan rebutan uang, karena pernah sebagian kawan cerita sama kawan-kawan di Bukhori, Ma’had Bukhori di Solo, diantara mereka ada yang menyatakan dulu kamu ndak pernah bicara tentang As-Sofwah, sekarang di putus dana baru bicara. Nah saya mendengar kalimat ini saya ndak mau jadi orang yang kedua dikatakan rebutan duit , saya ndak mau bicara masalah ini. Akhirnya Sholeh pun menekan sampai pagi saya mau pulang pamitan pulang dari Salatiga ke Jatim ditekan terus di jalan. Akhirnya saya bilang saya mau tapi dengan syarat: “Kamu ikut dalam masalah ini, dan yang punya acara kamu dan saya sekedar memberikan penjelasan di belakang kamu” Sholeh pun akhirnya mau, terus kita janjian, membikin waktu, waktu itu kita tetapkan tgl 20 April 2001 akhirnya terjadilah pembicaraan masalah ini di Jogja di Jamilurrohman, dan isi pembicaraan bukan hanya sekedar masalah As-Sofwah tapi menyangkut masalah dakwah secara umum. Di situ kita bicarakan demi mengutuhkan dakwah ini biar ndak berpecah-belah, dakwah Salafiyyah ini biar ndak berpecah-belah, ndak semakin terpuruk. Akhirnya waktu itu kita bicarakan demi dakwah Salafiyyah ini biar ndak berpecah-belah kita perlu bicara masalah-masalah tertentu, diantaranya apa? Kita harus menjaga jangan sampai kita ini mudah dipermainkan oleh orang-orang yang menyandang dana seperti As-Sofwah, demi menjaga dakwah Salafiyyah kita jangan menyekolahkan anak didik kita ke sekolah-sekolah yang tidak jelas pemikirannya seperti LIPIA, kemudian ditambah dengan masalah-masalah lain, waktu itu Sholeh Su’aidi menambah masalah Ihya’ut Turots Kuwait, demi menjaga dakwah Salafiyyah, kita jangan mengambil dana ke Ihya’ut Turots Kuwait.

Lha.. di saat itu kita angkat atau Sholeh Su’aidi yang mengangkat masalah fatwanya para ulama seputar Ihya’ut Turots Kuwait dari Syaikh Muqbil, Syaikh Rabi’ dari Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi (telah menyimpang jauh, untuk lebih jelasnya silakan merujuk pada artikel-artikel tentangnya di sahab.net-red) dan yang lainnya. Kemudian waktu itu saya memilih qoulnya Syaikh Rabi’, saya secara pribadi Abu Mas’ud memilih qoul Syaikh Rabi’ dalam arti tidak membolehkan walaupun tanpa syarat apapun pokoknya jelas ndak boleh. Saya memilih itu, adapun Sholeh Su’aidi waktu itu belum mengutarakan pendapatnya dan yang lain. Waktu itu semuanya diam… Jadi kita bicarakan dalam arti untuk mengutuhkan dakwah Salafiyyah di atas kelurusan ini, kita jangan menyekolahkan anak didik kita ke sekolah-sekolah yang tidak jelas seperti LIPIA, seperti Al-Irsyad Tengaran, adapun tentang masalah LIPIA, tentang masalah As-Sofwah tentang al-Irsyad Tengaran waktu itu kawan-kawan di Jogja memberikan beberapa tambahan tentang penjelasan yang saya jelaskan, dalam arti tidak ada sisi “tidak terima”. Untuk dalam majelis itu nampaknya yaa baik-baik saja, seolah-olah mereka sudah…malah mereka juga memberikan tambahan tentang berapa perkara yang dijadikan bahan koreksi atas al-Irsyad Tengaran dan atas As-Sofwah dan yang semisalnya. Waktu itu juga Sholeh Su’aidi memberikan tangguh (penangguhan) untuk memutuskan hubungan dari Ihya’ut Turots juga bukan perkara yang mudah karena sudah terlalu banyak membutuhkan dana, tapi kita juga perlu usaha sendiri. Maka untuk itu ketika berikan tangguh sekitar 2 tahun dalam rangka berupaya untuk meninggalkan sedikit demi sedikit.

Kita pulang ke Jatim. Akhirnya saya kira ya pernyataan ini sudah selesai, dalam arti apa? Mereka itu nampaknya setuju atas apa yang kita usulkan demi menjaga dakwah Salafiyyah ini dari perpecahan dan yang semisalnya. Ternyata tiba-tiba Abu Nida’ turun ke Gresik, ke Aunur Rofiq menjelaskan tentang apa yang saya bicarakan di sana (Jogja), kemudian kata Abu Nida’ diatasnamakan ini adalah kemauannya Abu Mas’ud atas nama al-Furqon dalam rangka untuk meninggalkan semua penyandang dana dari beberapa Yayasan. Padahal waktu itu saya berbicara di Jogja tidak atas nama al-Furqon tapi atas nama pribadi! Sayapun berangkat atas nama pribadi! Tidak atas nama al-Furqon atau Yayasan al-Furqon, tidak sama sekali! Akhirnya Aunur Rofiq mendengar cerita ini terus mungkin dia semakin..entah bagaimana, bingung atau rancu dalam pemikiran dia, akhirnya tiba-tiba Aunur Rofiq mengeluarkan surat pengeluaran pemberhentian atas saya dan ustadz Nurul Yaqin, tapi dengan bahasa yang nggak jelas……..antara ragu dan yaqin apakah ini pengeluaran atau tidak gitu. Akhirnya ustadz Kholif dalam rangka ziaroh kesana bersama ustadz Nurul Yaqin. Sebelumnya ustadz Kholif itu ziaroh ke Aunur Rofiq dia tanya, “Apakah antum memberhentikan ustadz Abu Mas’ud dan ustadz Nurul Yaqin dari mengajar disini?”, “Ya” (kata Aunur Rofiq’ dia mengakui). Karena diberhentikan, saya sudah selesai yaa sudah nggak ada masalah. Sayapun nggak merasa kurang enak ya biasa saja nggak ada masalah wong diberhentikan ya berhenti. Sayapun sudah lama mengajar di sana sudah 5 tahun. Jadi sayapun sudah agak capek dari awal ngajar sampai tahun 2001 itu pulang-pergi pulang-pergi terus pake sepeda motor. Akhirnya sayapun nggak mempermasalahkan, lha tiba-tiba setelah nikahnya ustadz Kholif dengan adiknya ustadz Nurul Yaqin disini, namanya ustadz Kholif inikan termasuk didikannya Aunur Rofiq sejak kecil, sambil acara keluarga karena punya bibi di sana, sambil juga mampir sama ustadz Nurul Yaqin ke Aunur Rofiq, di situ Aunur Rofiq nyeletuk tanpa ditanya : “Sebetulnya saya dengan antum berdua tidak ada permasalahan apa-apa, tidak ada perbedaan manhaj, tapi antum kami berhentikan karena desakan dari Yazid dan kawan-kawan Surabaya.” Ini pengakuannya Aunur Rofiq terhadap ustadz Nurul Yaqin dan ustadz Kholif tanpa ditanya waktu itu. Kitapun ndak tahu kenapa dikeluarkan? Ndak tahu, ndak urus, Kholif-pun tidak saya suruh tanya waktu dia tanya sendiri sebelumnya, ternyata (Aunur Rofiq-red) ngomong sendiri ternyata pemberhentian atas saya dan ustadz Nurul Yaqin waktu itu atas perintah Yazid dan kawan-kawan Surabaya. Ya kawan-kawan Surabaya waktu itu yang kita yakini, dhon yang rojih adalah Abdurrahman Tamimi cs.

Lha, akhirnya dari sisi ini saya langsung bersikap tegas tentang siapa Yazid sebenarnya. Ternyata otak pemberhentian atas nama saya dan yang lain adalah Yazid dan kawan-kawan Surabaya menurut pengakuannya Aunur Rofiq terhadap ustadz Nurul Yaqin dan ustadz Kholiful Hadi! Kemudian diperkuat oleh ustadz Abdurrohim: “memang itu tekanannya Yazid” kemudian diperkuat oleh ustadz Abdurrohman al-Buton bahwasannya memang tekanan Yazid! Lha kita nggak tau sebabnya ternyata Ibnu Yunus menjelaskan ketika bertemunya Ibnu Yunus dengan Yazid di Bogor pada tahun yang sama, tahun 2001. Lha di situ Yazid mengatakan kepada Ibnu Yunus :”Kamu jangan ikut-ikutan seperti Abu Mas’ud, dia “Ja’far tsani”, Ja’far kedua. Permasalahannya apa? Permasalahannya karena saya ini membicarakan As-Sofwah! Nah saya berbicara tentang As-Sofwah antum sudah dengar sendiri tadi itu sebabnya adalah ketika ia (As-Sofwah) memiliki tindakan berupa dikte terhadap al-Furqon agar menandatangani isi undangan yang dibikin di sana yang isi undangannya adalah: “Barangsiapa yang tidak hadir maka dianggap keluar dari guru atau karyawan al-Furqon.” Dan katanya ndak boleh udzur! Saya bicara tentang As-Sofwah dalam masalah itu, dan saya bicara tentang masalah LIPIA. Saya ketahui LIPIA adalah Ma’had yang miring dalam masalah manhaj, ini beberapa persaksian dari santri-santri LIPIA sendiri yang langsung bilang sama saya. Dan saya berbicara tentang masalah Ihya’ut Turots karena saya mengikuti qoul (perkataan) sebagian para ulama’ seperti Syaikh Rabi’ dan yang semisalnya. Adapun saya berbicara masalah al-Irsyad Tengaran, saya mengetahui dari beberapa persaksian yang datang dari sebagian kawan sendiri dari kawan-kawan dari Jamilurrahman dan dari murid-murid saya sendiri juga mengetahui. Maka disini permasalahan yang inti ternyata apa ? Yazid bersama kawannya itu adalah tidak rela kalau ada seorang yang membicarakan As-Sofwah! Bahkan ukuran al wala wal baro’ yang dibangun oleh Yazid Jawas adalah sesuai dengan akal pikirannya! Jadi, bicara seperti bicara tentang masalah As-Sofwah, memperingatkan sebagian kawan, menasehati, ini adalah dianggapnya memecah belah dakwah, kemudian diikut-ikutkan dengan pemikirannya Ja’far Umar Tholib . Terus terang, saya bicara ketika itu, saya menolak persaksiannya sebagian kawan seperti Ja’far Umar Tholib tentang masalah As-Sofwah kenapa? Kenapa saya tidak menerima? Karena Ja’far terkoreksi dari sisi kejujurannya, saya menolak khabar dari Ja’far bukan karena masalah lain tetapi karena telah masyhur bahwasanya Ja’far adalah seorang yang kadzab, yang tidak pernah jujur dalam beberapa masalah, khususnya dalam masalah seperti ini, maka itu saya menolak. Adapun ketika saya tahu tentang masalah As-Sofwah itu siapa, maka sayapun mensikapi, sayapun menjelaskan kepada sebagian kawan, kemudian dari sisi inilah timbul perpecahan Abu Mas’ud dengan kawan-kawannya yang dahulu, ini yang kita ketahui tentang masalah As-Sofwah.

Kemudian bersambung dalam masalah ini adalah masalah-masalah yang lain seperti mereka mengumbar bahwasanya saya adalah Ja’far kedua di Indonesia. Ini juga pernah didengar oleh Ibnu Yunus dari Cholid Bawazier : “Engkau jangan seperti Abu Mas’ud, Ja’far kedua”, ini diantaranya. Kemudian akhirnya terus timbul koreksi-mengkoreksi akhirnya sayapun termasuk tidak terima dalam masalah ini. Akhirnya sayapun memberikan suatu koreksi tegas terhadap siapa Yazid Jawas, maka sering saya lontarkan didepan kajian-kajian kita dan di depan kawan-kawan yang bertanya tentang masalah ini. Maka saya nilai bahwasanya orang-orang seperti Aunur Rofiq adalah orang-orang yang menuruti kemauan Yazid dan orang-orang yang punya kepentingan di dalam masalah ini seperti kawan-kawan mereka di Surabaya. Maka saya sendiri mempunyai koreksi jelas terhadap Aunur Rofiq bahwasanya dia termasuk orang yang mengekor Yazid dan juga turut bersekongkol dalam masalah ini. Bahkan sampai hari ini kita nggak mendapatkan koreksi dari mereka baik berupa kaset ataupun tulisan tentang As-Sofwa ataupun Ihya’ut Turots ataupun yang semisalnya.

Kemudian, masalah-masalah seputar Ihya’ut Turots, yang berkaitan dengannya adalah orang seperti Yazid. Permasalahannya hampir mirip, yaitu kejadian yang ada di Lampung bahwasanya di sana ada Ahmad Izza Abu Hammam. Beliau ini dulunya adalah seorang murid dan juga guru di al-Furqon, santri al-Furqon kemudian jadi guru di sana kemudian akhirnya pulang ke Lampung, ke kampung halamannya. Di sana, beliau ini berdakwah dalam sebuah Ma’had yang namanya Khidmatus Sunnah, Ma’had Khidmatus Sunnah ini adalah Ma’had yang dikelola oleh Ahmad Izza sebagai Mudirnya dan kawan-kawannya. Ada 4 orang sebagai gurunya dan ada santrinya. Ternyata Ma’had ini dalam masalah dananya dikelola oleh Cholid Bawazier atas rekomendasi Yazid dan juga Aunur Rofiq. Dengan pengelolaan dari Cholid Bawazier atas rekomendasi Aunur Rofiq dan Yazid juga dari dana operasionalnya, biaya operasionalnya ini dikirim dari sana. Pada suatu saat Ahmad Izza ini memang mensikapi Ihya’ut Turots Kuwait, dalam arti menghalangi sebagian kawan-kawannya agar jangan berhubungan dalam masalah dana ke Ihya’ut Turots Kuwait. Akhirnya terjadi perpecahan antara Ahmad Izza dan seorang guru yang ada di daerah dia di desa sekampung sana. Sebagian orang-orang yang ada di Ma’hadnya Ahmad Izza sendiri, dalam arti kalimat tidak satu dalam arti ada perselisihan dalam masalah ini. Ahmad Izza memberikan suatu ketegasan bahwasanya dia tidak membolehkan mengambil dana ke Ihya’ut Turots Kuwait karena melihat mudhorotnya lebih besar ketimbang manfaatnya bahkan termasuk perkara yang menjadikan terpecah belahnya dakwah Salafiyyah di Indonesia ini diantaranya. Masalah ini ternyata menjadikan tidak enaknya Yazid dan kawan-kawan. Bahkan sampai pernah turun ke sana Yazid, juga Aunur Rofiq dan juga yang lain sekitar 4 atau 5 guru-guru besar pergi di sana untuk sifatnya apa? Memberikan penjelasan terhadap Ahmad Izza, tapi Ahmad Izza tidak menerima, kenapa? Karena tidak jelas baginya, perkara yang jelas antara membolehkan dan tidak membolehkan, menurut mereka (Yazid dan kawan-kawan) kan jelas membolehkan sedangkan Ahmad Izza tidak membolehkan. Akhirnya Ahmad Izza tetap berdiri pada posisi tidak membolehkan. Akhirnya lambat laun, tahun 2002- sampai kemarin tahun 2004 akhir Ahmad Izza-pun dikeluarkan dari kemudiran di Ma’had Khidmatus Sunnah. Permasalahannya? Yaa mirip, karena Ahmad Izza mensikapi kawan-kawannya yang mengambil dana ke Ihya’ut Turots Kuwait. Dan juga karena Ahmad Izza tidak menghadiri dauroh Syaikh Ali cs pada tahun 2002 dan 2003. saya sendiri kurang tahu kenapa nggak hadir, yang jelas tidak menghadiri. Karena tidak menghadiri ini dianggapnya termasuk tidak mempunyai adab, nggak menghormati para ulama’. Kemudian dengan nggak hadirnya Ahmad Izza ke daurah Syaikh Ali cs th 2002 dan 2003 ini dianggapnya kurang adab dan juga tidak menghormati para Masyayikh. Akhirnya Ahmad Izza pun dikeluarkan, diberhentikan dari kemudiran, kemudian guru-guru yang lain masih dibiarkan untuk mengajar di situ, yang jelas Ahmad sebagai mudir diganti oleh sebagian ustadz yang ada di situ. Setelah itu Ahmad Izza mengirimkan 4 orang agar menyampaikan udzurnya tidak hadir pada tahun 2002-2003 ke Aunur Rofiq, kemudian ke Mubarok, kemudian ke Abdurrahman at-Tamimi, kemudian ke Yazid, ternyata Yazid nggak menerima: “Nggak ada udzur untuk Ahmad Izza!” Akhirnya terpaksa harus dibubarkan semuanya, akhirnya Ma’hadnya bubar.

Di sini kita mengetahui bahwasanya ternyata Yazid mempunyai ukuran al wala’ wal baro’, siapa saja yang menyikapi Ihya’ut Turots adalah termasuk orang yang harus dimusuhi, seperti kejadian tentang saya tadi pada tahun 2001 seperti kejadian Ahmad Izza pada akhir 2004, kemudian seperti kejadian dalam masalah ini yaitu atas Ismail, seorang santri al-Furqon kemudian (menjadi) santri saya disini kemudian pulang ke Lombok, daerah Bima sana. Itu juga kasusnya sama, dari sisi ini kita mengetahui bahwasanya Yazid termasuk orang yang bersikeras untuk jadi penguasa dalam masalah ini… sebagian kawan menceritakan kepada saya karena diketahui ternyata Ismail ini adalah satu dari murid-murid Abu Mas’ud. Maka disini kita melihat bahwasanya Yazid ini pemikirannya persis dengan Ja’far Umar Tholib , Abdurrahman Tamimi pemikirannya ini tidak ada bedanya: “siapapun yang menyelisihi mereka adalah harus di baro’. Dulu Ja’far pun seperti itu. Siapapun yang menyelisihi Ja’far Umar Tholib nggak peduli benar atau salah harus di baro’…. ternyata kita memiliki data-data yang seperti itu. Semoga saja orang-orang …yang lain(nya) semoga saja menjadi baik dalam arti tidak ambisi dalam kekuasaan. Kenapa kita lihat seperti ini? Apa masalahnya Abu Mas’ud dengan Yazid Jawas, apa permasalahannya Abu Mas’ud dengan dakwah Salafiyyah? Kalau mereka jantan dan ingin memang mencari kejelasan di atas al-Bayyinah, di atas terang benderang, kenapa mereka tidak menemui Abu Mas’ud ataupun membicarakan ataupun gimana? Diam-diam mereka berusaha memboikot si fulan, si fulan jangan dijadikan pengajar, kemudian si fulan di baro’ padahal permasalahannya adalah kadang-kadang dia tidak mengetahui nggak ada. Antara saya dengan Yazid nggak ada ngomong sebelumnya sama sekali! Kalau mereka menuntut bahwasanya antum mentahdzir fulan-fulan, apakah antum sudah kamu nasehati? Disini, pernahkah Yazid dan Aunur Rofiq, Abdurrahman Tamimi menasehati Abu Mas’ud dan yang semisalnya? Nggak pernah..! Sampai hari ini belum ada, sampai hari ini belum ada Abu Nida’ menasehati Abu Mas’ud , Aunur Rofiq, Abdurrahman Tamimi, Mubarak, Salim Ghanim, Yazid dan yang lainnya belum ada, sampai hari ini belum ada! Dan dari tuntutan mereka, katanya agar kita ini sebelumnya adalah nasehat dan macam-macam adalah mereka sendiri tidak mampu untuk memenuhi! Padahal permasalahan yang saya bicarakan tidak mengenai Yazid. Saya nggak pernah bicara tentang Yazid! Saya berbicara tentang LIPIA, As-Sofwah, Ihya’ut Turots Kuwait, al-Irsyad Tengaran! Saya tidak pernah membicarakan (tentang) Yazid itu siapa! Saya belum pernah menghizbikan Yazid sebelumnya! Ternyata tiba-tiba dia memberitakan, memproklamirkan, mengumumkan tentang dirinya adalah hizbi! Dengan tekanannya terhadap Aunur Rofiq agar saya diberhentikan! Bahkan sebagian pengakuannya kawan seperti Abdurrahman Buton (dimana Yazid berkata) desakannya terhadap Aunur Rofiq: “Kalau antum tidak mengeluarkan (Abu Mas’ud), kamu akan kami baro’!” Dan sebelumnya telah ditemui oleh ustadz Abdurrohim dari Sukoharjo, waktu itu aktif mengajar di al-Furqon, tujuannya untuk menjelaskan kepada Yazid tentang apa yang terjadi di Jogja pembicaraan antara Abu Mas’ud dengan kawan-kawan di Jogja. Tapi Yazid tidak mau menerima, dia tidak mau menerima karena dengan alasan, “Karena kamu (ustadz Abdurrohim) tidak alumni luar negeri!” Maka disini termasuk akhlak buruknya Yazid, padahal dia sendiri bukan alumni luar negeri! Dia dari mana? Dari PERSIS dan dari LIPIA! Kita tahu sendiri bahwasanya PERSIS akidahnya kaya’ apa? Manhajnya kaya’ apa? Fiqihnya kaya’ apa? AQLANIYYIN! Antum tahu sendiri LIPIA dan pemikirannya, dalam metode pengajarannya, siapa guru-guru mereka? Kemudian setelah itu kapan Yazid pernah belajar di depan para ulama’, pernah jadi TKI di Saudi Arabia waktu itu entah berapa bulan, dan dia sempatkan untuk bermajelis dengan Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala, dan ini (Yazid) adalah bukan santri-santri yang khusus (belajar sebagai santri) di depan beliau, (namun sekedar mustami’). Jadi pernahkah kita mengetahui bahwasanya orang yang bersikap congkak seperti itu, ketika ingin dijelaskan oleh sebagian kawan yang tahu masalah ini yaitu ustadz Abdurrohim dari Sukoharjo yang waktu itu beliau masih mengajar di al-Furqon, dia nggak mau, (dia) menolak! Jadi kita mendapati bahwa wataknya Yazid seperti itu! Jadi memang wataknya Ja’far dan Yazid ini wataknya memang mirip. Jadi orang-orang yang sifatnya ambisi dengan kekuasaan dalam masalah ini khususnya dalam masalah dakwah ini. Abdurrahman Tamimi? Kapan dia pernah belajar dakwah Salafiyyah? Ketika itu…baru-baru terakhir inilah dia mungkin dia pernah sering berkumpul dengan sebagian Masyaikh, sebelumnya mana tahu…bahkan dia mengakui sendiri dia sejak kecil sudah dibimbing dalam Ikhwanul Muslimin, tapi karena punya ambisi kekuasaan, kemudian diatasnamakan dakwah Salafiyyah maka orang-orang seperti ini ialah orang-orang yang berbuat tanpa berfikir, oleh karena itu kita nasehati sebagian kawan untuk jangan bermodel seperti orang yang suka kekuasaan (Hubbur-Riyasah). Maka kita nasehatkan sebagian kawan-kawan, …untuk janganlah jadi kaum Sayyid, minta dipertuan. Nah yang ini yang kita takutkan dari permasalahan ini, maka untuk itu nasehat kita untuk semua ikhwan, semuanya adalah harus mengagungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar yaitu dari Salafush Sholeh. Kemudian di sana kita tidak memiliki kepentingan pribadi atau kepentingan Ma’had secara pribadi…walaupun akan menerjang dengan dalil-dalil yang shahih atau menerjang dengan perkara-perkara yang sifatnya itu jelas.

Adapun apa yang ditulis oleh Firanda dalam kitabnya itu adalah: dia mengatakan bahwasanya Ihya’ut Turots Kuwait ini adalah masalah-masalah ijtihadiyah masalah khilafiyyah yang tidak boleh dibangun di atasnya hajr. Ini termasuk perkara yang sifatnya itu menyelisihi waqi’! Bahkan dia telah termasuk orang yang berkomplotan dengan Yazid Jawas dan kawan-kawan Abu Nida’. Bahkan mereka sendirilah yang memiliki watak hajr! Buktinya hajr yang dilakukan terhadap Abu Mas’ud! Terhadap ustadz Nurul Yaqin! Terhadap Ismail dan juga terhadap Ahmad Izza dan kawan-kawannya di Lampung! Jadi yang memiliki tindakan hajr itu sebetulnya adalah dari pihak-pihak Yazid sendiri ketika adanya perkara-perkara yang tidak sepaham dengan otak mereka! Jadi permasalahan yang ditulis panjang lebar oleh sebagian kawan di buku-buku itu adalah sebetulnya membuat capek orang yang membaca! Tapi ringkasannya adalah kalau orang ingin tahu tentang keadaan yang terjadi di Indonesia yang mudah meng-hajr yang mudah men-tahdzir adalah mereka sendiri yang sifatnya tanpa adanya suatu keterangan sebelumnya tanpa adanya Iqomatul Hujjah! Nggak pernah seorang pun dari makhluk mereka atau kalangan mereka ini yang pernah menegakkan hujjah atas Abu Mas’ud atau atas yang lain dalam masalah ini! Bahkan tiba-tiba saja langsung pake’ kekuasaan. Jadi modal mereka adalah memakai kekuasaan. Jadi kalau memakai hujjah nampaknya mereka nggak mampu, maka karena nggak mampu nah pakai cara yang Fir’auniyah yaitu memakai kekuasaan! Nah dulupun Ja’far seperti itu karena nggak mampu untuk Iqomatul Hujjah. Jadi yaa memakai kekuasaan dia, maka mungkin kita perlu waspada dengan beberapa contoh ini agar kita bisa melihat ke belakang sesuatu yang telah berlalu, kemudian kita bisa mengambil I’tibar. Mungkin sampai disini dulu kita cukupkan…do’a kifaratul majelis. Selesai… ” (Ditranskrip oleh Abu Dzulqarnain Abdul Ghafur Al Malanji)

Jumat, 14 November 2008

Dakwah Salafiyah di Villani II (bag.3)

Beberapa Ciri dan Karakter Dakwah as-Salafiyah

1. Berhukum kepada Kitabullah dan as-Sunnah ash-Shahihah pada setiap aspek-aspek permasalahan kehidupan. Baik itu dalam hal aqidah, ibadah, suluk ataukah muamalah. Terlebih lagi ketika terdapat perbedaan pendapat.

Allah ta'ala berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisa': 59)

Dan firman Allah,

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65)


2. Menyadur segala keterangan yang diriwayatkan dari sahabat pada permasalahan-permasalahan agama yang bersifat umum ataukah yang bersifat spesifik.

Allah ta'ala berfirman,

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (at-Taubah: 100)
Imam asy-Syaukani mengatakan, "firman Allah : "dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,", yaitu mereka yang mengikuti para generasi pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah kaum belakangan/munta`akhkhirin setelah generasi sahabat, hingga generasi selanjutnya sampai datangnya hari kiamat."[1]

Allah ta'ala berfirman,

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."(al-Hasyr: 10)

Allah subhanahu wata'ala berfirman,

"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui." (al-Baqarah: 137)
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam as-Sunan, dari hadits Auf bin Malik, beliau berkata, Rasululah  bersabda,
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, niscaya umat-ku ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan berada didalam surga sementara tujuh puluh dua golongan berada didalam api neraka."
Lalu ada yang bertanya, "Waha Rasulullah siapakah mereka?"
Beliau  menjawab, "al-jama'ah."[2]
Dan pada hadits Abdullah bin Amru, Rasulullah  menerangkan maksud al-jama'ah tersebut dengan mengatakan, "Yakni yang berada diatas –jalan-ku dan para sahabatku."[3]
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud didalam as-Sunan dari hadits al-'Irbadh bin Sariyah, beliau berkata, Rasulullah  bersabda, "Maka diharuskanbagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para al-khulafa` ar-Rasyidiin. Berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan terlarang bagi kalian mengada-adaan perkara-perkaran yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan."[4]
Imam Ahmad mengatakan, "Dasar-dasar as-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan segala petunjuk/amalan para sahabat Rasulullah  serta mengikuti mereka, ..."[5]

3. Meninggalkan segala bentuk intervensi akal dalam masalah-masalah aqidah yang tidak ada peluang bagi akal untuk ikut campur dalam masalah-masalah tersebut.

Hal ini adalah salah satu pundasi dasar al-manhaj al-'ilmi wa al-'amali dikalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Yaitu menerima segala keterangan al-Qur`an al-'Azhiem dan as-Sunnah ash-Shahihah dalam masalah-masalah aqidah. Allah ta'ala berfirman,

"Kitab itu – al-Qur`an -, tidak terdapat didalamnya keraguan dan merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada perkara ghaib, ..." (al-Baqarah: 2-3)

Sebagian ulama as-Salaf berkata, "Penegakan Islam tidak akan kokoh kecuali diatas tiang penerimaan."
Termasuk dalam masalah aqidah ini, adalah tentang nama-nama dan segala sifat Allah, permasalahan al-qadha wal-qadar, hari kebangkitan, surga dan neraka dan yang semisalnya. Dimana keterangan tentang permasalahan tersebut hanya dengan menyadur dari al-Qur`an dan as-Sunnah ash-Shahihah tidak dari akal atau perasaan.
Al-Walid bin Muslim berkata, "Saya telah bertanya kepada al-Auza'i, ats-Tsauri, Malik bin Anas dan al-Laits bin Sa'at tentang hadits-hadits yang menerangkan sifat-sifat Allah? Kesemuanya mengatakan, "Tetapkanlah sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan –didalam hadits tersebut- tanpa menanyakan "kaifiyah/bentuk dan bagaimana" nya."[6]

4. Pengedapanan dakwah at-Tauhid

Allah ta'ala berfirman,

"Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (an-Nahl: 36)

Dan firman Allah 'azza wajalla,

"Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku." (al-Anbiyaa`: 25)

Dan firman-Nya ta'ala,

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur: 55)

5. Tidak melibatkan diri dalam perdebatan dengan para ahli Bid'ah dan juga tidak ber-majlis (hadir dalam suatu majlis) dengan mereka, menyimak perkataan mereka atau menerima segala syubhat/kerancuan mereka. Amalan inilah yang menjadi ciri para as-Salaf ash-Shalih

Allah ta'ala berfirman,

"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)." (al-An'am: 68)

Ismail bin Kharijah mengaakan, "Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu datang menjumpai Muhammad bin Sirin, lalu keduanya berkata, "Wahai Abu Bakar, kami akan membacakan hadits kepada anda dengan sebuah hadits?"
Beliau menjawab, "Tidak."
Keduanya berkata lagi, "Kami akan membacakan kepada anda sebuah ayat dari Kitabullah 'azza wajalla?"
Beliau berkata, "Tidak, kalian berdua pergi atau saya akan mengusir kalian."[7]
Seseorang dari kalangan ahli ahwa` berkata kepada Ayyub as-Sakhtiyani, "Wahai Abu Bakar, saya hendak bertanya satu kalimat kepada anda."
Namun Ayyub berpaling dan mengisyaratkan dengan jari telunjuknya, "Dan tidak setengah kalimat."[8]
Sufyan ats-Tsauri berkata, "Barang siapa yang mendengar Bid'ah maka janganlah dia menghikayatkannya kepada para temat-teman duduknya dan janganlah dia memasukkannya kedalam hati mereka."[9]
Ayyub berkata lagi, "Dan tidaklah sanggahan saya kepada mereka lebih keras melebihi dengan diam."[10]
Demikianlah ancaman dari Allah dalam bermuamalah dalam hal dakwah dan bermajlis dengan ahlibid'ah dan pengekor hawa nafsu, dan juga tercermin dalam prilaku dan ucapan para imam-imam as-Salaf.
Dan seorang pelaku bid'ah, pada awalnya tidak akan menyampaikan bid'ahnya dengan terang-terangan, melainkan dibumbui dengan kata-kata as-Sunnah dan ittiba'. Hingga kaum muslimin terpedaya, barulah mereka menyisipkan bid'ah dan penyimpangan mereka. Mufadhdhal bin Muhalhil mengatakan, "Seandainya pelaku bid'ah yang engkau duduk di majlisnya menceritakan kepada engkau tentang bid'ahnya, niscaya engkau akan memperingatinya dan engkau akan menjauh darinya. Akan tetapi dia akan menceritakan kepada anda hadits-hadits as-Sunnah di awal majlisnya kemudian dia akan menyisipkan bid'ahnya kepada anda. Maka bid'ah tersebut akan tertanam di hati anda dan tidak akan keluar dari hati anda."[11]

6. Keinginan untuk menciptakan jama'ah al-muslimin serta menyatukan kalimat mereka diatas al-Kitab, as-Sunnah serta pemahaman as-Salaf ash-Shalih.

Allah ta'ala berfirman,

"Dan berpegang teguhla dengan tali agama (syariat) Allah, dan janganlah kalian tercerai berai." (Ali Imran: 103)

Dan Allah berfirman,

"Dan janganlah kalian berlaku sebagaimana orang-orang musyrikin. Orang-orang yang memecah belah agama mereka kemudian mereka berkelompok-kelompok. Setiap kelompok bangga dengan apa yang mereka miliki." (ar-Rum: 31-32)

Al-Hakim dan Ibnu Abi Ashim meriwayatkan dari hadits Umar bin al-Khaththab bahwa Nabi  bersabda, "Kalian diharuskan untuk berada bersama al-jama'ah dan hati-hatilah kalian dengan perpecahan. Dan sesungguhnya syaithan bersama seseorang dan dia akan semakin jauh dari dua orang. Bagi siapa yang menginginkan kemewahan surga maka dia harus bersama dengan al-jama'ah."[12]
Dan dari hadits Hudzaifah didalam ash-Shahihain, bahwa Rasulullah  bersabda, "Engkau haruslah menepati jama'ah kaum muslimin dan imam mereka."
Hudzaifah bertanya, "Dan jika mereka saat itu tidak berjama'ah dan tidak terdapat imam?"
Beliau  menjawab, "Engkau menjauhi semua kelompok walau engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu sementara engkau tetap seperti itu."[13]
Sementara yang dimaksud al-jama'ah adalah segala yang sesuai dengan kebenaran, sebagaimana perkataan Ibnu Mas'ud, "al-jama'ah adalah segala yang sesuai dengan al-haq, walau anda bersendiri."[14]
Dan juga telah disebutkan sebelumnya, bahwa al-jama'ah adalah segala yang disampaikan oleh Rasulullah  dan amalan para sahabat beliau.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah , "Al-Bid'ah senantiasa diiringi dengan perpecahan, sebagaimana halnya Sunnah diiringi dengan Al Jama'ah / persatuan, hingga dinamakanlah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah seperti halnya dikatakan: Ahlul Bid'ah dan furqah – perpecahan –. "[15]

7. Menghidupkan sunnah Rasulullah  dalam setiap permasalahan ibadah, suluk dan setiap aspek kehidupan, hingga para pelaksana as-Sunah dianggap sebagai kaum yang terasing ditengah-tengah komunitasnya.

(Bersambung)
[1] Lihat Fathul Qadir 2/398.
[2] Ibnu Majah pada kitab al-'Itq bab. Iftiraaq al-Umam no. 1322. al-Albani menshahihkannya didalam Shahih Sunan Ibnu Majah
[3] At-Tirmidzi didalam kitab al-Iman, bab. Maa Jaa`a fii Iftiraaq hadzihi al-Ummah 5/26. al-Albani menghasankan iwayat ini didalam Shahih Sunan at-Tirmidzi.
[4] Sunan Abu Dawud, kitab as-Sunnah, bab. Fii Luzuum as-Sunnah 5/14-15. al-albani menshahihkannya didalam Shahih Sunan Abu Dawud.
[5] Syarh Ushul I'tiqad Ahlis-Sunnah 1/156
[6] As-Syari'ah hal. 314 karya al-Ajurri.
[7] Asy-Syari'ah karya al-Ajurri hal. 57 dan al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/446
[8] Asy-Syari'ah hal. 57 dan al-Ibanah 2/447.
[9] Syarh as-Sunah karya al-Baghawi 1/227.
[10] Asy-Syari'ah hal. 61
[11] Al-Ibanah 2/444
[12] Al-Mustadrak 1/114 dan as-Sunnah 1/42, al-Albani menshahihkannya.
[13] Al-Bukhari 13/35 dan Muslim 3/1375-1376.
[14] Al-Baits 'ala Inkaar al-Bida` hal. 92.
[15] Al-Istiqamah 1 / 42

Kamis, 13 November 2008

As-Sunnah-Imam Ahmad

AS SUNNAH
AL IMAM AHMAD BIN HANBAL

Berkata Abul Husain Muhammad bin Abi Ya'la, Al Mubarak menceritakan kepada kami, beliau berkata, Abdul 'Azis Al Azjiy mengabarkan kepada kami, beliau berkata, Abu Bakar Al Mufid menceritakan kepada kami, beliau berkata, Al Hasan bin Isma'il Al Rib'iy menceritakan kepada kami, beliau berkata, Ahmad bin Hanbal, Imam Ahlus Sunnah, yang telah bersabar sewaktu adanya Mihnah – ujian/fitnah seputar masalah Al Qur'an -, berkata kepadaku : -
Telah sepakat sembilan puluh orang ulama tabi'in, para Imam kaum muslimin dan para Imam As-Salaf serta fuqaha' pada tiap zaman, bahwa As Sunnah yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sepeninggal beliau adalah : -
Sunah yang pertama : Adalah ridho dengan setiap Qadho' Allah – 'azza wajalla – dan meyerahkan diri pada setiap keputusan-Nya , bersabar pada semua hukum ketentuan-Nya, serta melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan- Nya.
Beriman kepada Al Qadar – Takdir - , yang baik maupun yang buruk.
Meninggalkan perdebatan yang sia-sia dan
Melakukan Jihad bersama setiap Khalifah, yang baik ataupun yang fajir.
Menshalati setiap yang meninggal dari Ahlul Qiblat.
Al-Iman adalah ujaran dan amalan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan makshiyat.
Al-Qur`an Kalamullah, yang diturunkan kedalam hati Nabi-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wasalam , dan bukanlah makhluq dari manapun dilantunkan.
Bersabar dibawah naungan panji seorang penguasa dengan segala yang nampak padanya, perbuatan adil ataukah perbuatan dholim.
Dan untuk tidak mengadakan pemberontakan pada setiap pemimpin ketika mereka berbuat hal-hal yang zhalim.
Dan tidak mengkafirkan seorang-pun dari Ahlut Tauhid, walapun ia melakukan perbuatan dosa besar.
Menahan diri dari segala yang telah diperselisihkan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Sebaik-baik kaum manusia – sepeninggal Rasulullah shallalllahu 'alaihi wasallam – adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali anak paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Mendo'akan rahmat bagi setiap sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan pada anak keturunan beliau, para istri-istri beliau, para kerabat /mertua beliau – radhiallahu 'anhum ajma'in.
Dan inilah As-Sunnah , ketika kalian berpegang dengannya kalian akan meraih keselamatan.

Sabtu, 08 November 2008

Dakwah Salafiyah di Villani II ( 2 )

Pernik-pernik Dakwah Salafiyah
Di Villa Nusa Indah II
(Bagian 2)


Pasal
Ushul ad-Dakwah
(Hakikat dan Karakter Dakwah Salafiyah)


Definisi dan Hakikat Dakwah Salafiyah

As-Salafiyah adalah suatu sifat,karakter, metode dan landasan dalam menegakkan dakwah Ilallah. Berasal dari kata as-salaf, yang secara etimologi bermakna "sesuatu yang terdahulu." Ataukah "sesuatu yang mendahului sesuatu lainnya."
Ibnu Manzhur mengatakan, "-kata- as-Salaf, as-Saliif dan as-Salifah adalah kelompok yang terdahulu/mendahului."
Salaf seseorang adalah seseorang yang telah terlebih dahulu meninggal dunia, dari para bapak dan kerabat orang tersebut yang generasi mereka berada diatasnya. Karena itulah, generasi yang pertama dari ulama tabi'in dinamakan sebagai as-Salaf ash-Shalih.
Dari sini dapat diketahui bahwa kata as-Salaf beserta kembangannya, dalam sebagian besar pemakaiannya dalam bahasa Arab menunjukkan makna terdahulu, mendahului, yang telah lampau, dan waktu/zaman yang telah berlalu mendahului zaman sekarang.[1]
Makna ini jugalah yang terdapat didalam al-Qur`an, yaitu kata as-Salaf didalam konteks ayat-ayat al-Qur`an juga menunjukkan makna suatu yang terdahulu, zaman/waktu yang telah berlalu atau terdahulu. Diantaranya,
Firman Allah ta'ala,

"Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah." (al-Baqarah: 275)
Firman-Nya, "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu," yakni baginya segala yang telah di makan dan diambilnya dari perbuatan riba sebelum adanya pengharaman.
Sa'id bin Jubai dan as-Suddi mengatakan, "Baginya apa yang telah diambilnya dahulu, yaitu makanan dari hasil riba sebelum datangnya pengharaman."[2]

Dan firman Allah subhanahu,

"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (an-Nisa`: 22)
Ath-Thabari berkata dalam menafsirkan ayat diatas, "Disebutkan bahwa ayat ini turut berkaitan dengan kaum yang dahulu mewarisi istri-istri bapak mereka. Lalu Islam datang sementara mereka masih dalam amalan itu. Maka Allah tabaraka wata'ala mengharamkan bagi mereka pengambil alihan istri-istri bapak mereka. Dan Allah mengampuni bagi mereka perbuatan yang telah berlalu diantara mereka di masa jahiliyah dan kesyirikan mereka bagi yang melakukan perbuatan itu. Dan mereka tidaklah dikenakan ganjaran dosa akibat perbuatan tersebut, jika mereka bertaqwa kepada Allah dalam ke-Islaman mereka dan mereka taat kepadanya dalam ke-Islaman mereka tersebut."[3]

Dan firman Allah ta'ala,

" –dan terlarang bagi kalian- menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (an-Nisa: 23)
Didalam Tafsirnya, Ibnu Katsir berkata, "Yaitu diharamkan bagi kalian menghimpunkan dua wanita bersaudara bersamaan dalam akad pernikahan, demikian juga dalam kepemilikan hamba sahaya. Kecuali yang kalian pernah lakukan di masa jahiliyah, maka kami telah memaafkan dan mengampuninya."[4]

Dan firman Allah ta'ala

"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi. Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu."(al-Anfal: 38)
Firman-Nya, " niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu," yaitu dari kekufuran, dosa-dosa dan kesalahan mereka.
Asy-Syaukani mengatakan, "Yaitu diampuni bagi mereka segala permusuhan mereka yang telah lampau."[5]

Dan firman Allah ta'ala,

"Dan kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian." (az-Zukhruf: 56)
Ath-Thabari menafsirkan ayat ini, beliau berkata, "Maka Kami jadikan mereka, yaitu orang-orang yang telah kami tenggelamkan di lautan dari kaum Fir'aun sebagai awal pendahuluan mereka sebelum menuju ke neraka mendahului orang-orang kafir Quraisy dari kaummu wahai Muhammad. Dan orang-orang kafir kaummu akan mengikuti titian mereka."
Ibnu Katsir berkata, "Sebagai pendahulu bagi seseorang yang mengamalkan amalan yang serupa dengan amalan mereka."[6]

Dan terdapat beberapa ayat lainnya, yang mengindikasikan makna kata as-salaf yang tidak berbeda dengan yang terkandung pada ayat-ayat diatas.

Adapun didalam as-Sunnah an-Nabawiyah, kata as-salaf menunjukkan beberapa makna yang beragam. Diantaranya bermakna al-qardh (pinjam-meminjam) dan juga bermakna transaksi jual beli dengan metode as-salam[7]. Dan juga bermakna semisal dengan makna yang terkandung didalam etimologi bahasa Arab dan kandungan al-Qur`anal-Karim –yaitu bermakna terdahulu dan yang telah mendahului-.

Diantaranya kata as-salaf didalam as-Sunnah an-Nabawiyah yang bermakna sesuatu yang mendahului kehidupan saat ini, hadits Aisyah radhiallahu 'anha yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada putri beliau Fathimah radhiallahu 'anha disaat menjelang ajal beliau  , " ... Dan tidaklah saya melihat kecuali ajalku telah mendekat. Dan sesungguhnya engkau adalah keluargaku yang paling pertama menyusulku. Dan sebaik-baik pendahulu, adalah saya bagimu."[8]

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim didalam kitab Shahih mereka dari hadits Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu, bahwa beliau berkata kepada Rasulullah , "Bagaimanakah pendapat anda tentang beberapa hal dimana dahulu saya beribadah dengan hal-hal tersebut di masa jahiliyah, berupa sedekah, membebaskan budak dan silaturrahim. Apakah pada amalan-amalan tersebut terdapat pahala?"
Nabi  menjawab, "Engkau telah memeluk Islam atas segala kebaikan yang terdahulu."[9]
Maknanya, atas pengabulan amalan-amalan kebaikan anda.

Dan juga hadits yang diriwayatkan dari hadits Abdullah bin Umar dari Nabi , bahwa beliau  bersabda, "Sesungguhnya kelanggengan kalian dibandingkan dengan umat-umat terdahulu sebelum kalian, sebagaimana –waktu- antara shalat ashar dan terbenamnya matahari, ..."[10]

Dari uraian dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah diatas, tampaklah jelas, walau kata as-salaf memiliki beberapa makna lainnya, bahwa syari'at Islam juga telah mempergunakan kata as-salaf untuk menunjukkan waktu/zaman yang telah berlalu dan menduhulu zaman ini.
Ibnu Atsir mengatakan, " ... karena inilah generasi ulama tabi'in yang pertama dinamakan sebagai as-Salaf ash-Shalih."[11]
Demikian juga yang disebutkan oleh as-Sam'ani, "Bahwa as-Salafi adalah penisbatan kepada as-Salaf serta mengikuti mazhab mereka."[12]

Makna as-Salaf dalam Istilah Ulama Islam
As-Salaf dalam istilah syara' adalah para sahabat, kemudian generasi ulama tabi'in yang mengikuti mereka diatas kebenaran dan kebaikan, lalu generasi tabi' tabi'in dan para Imam Islam yang dipersaksikan keutamaan dan ke-Imaman mereka –radhwanallahi 'alaihim ajma'in. Allah ta'ala berfirman,

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (at-Taubah: 100)

Dan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari didalam kitab ash-Shahih beliau dari hadits Imran bin Hushain radhiallahu 'anhu bahwa Nabi  bersabda, "Sebaik-baik umat-ku adalah yang berada pada masaku, kemudian generasi mereka, kemudian generasi selanjutnya setelah mereka."
Imran bin Hushain berkata, "Saya tidak tahu, apakah beliau menyebutkankan dua kurun/generasi setelah kurun masa tersebut."[13]

Ibnu Abdil Barr didalam Jami' Bayaan al-'Ilmi wa Fadhlihi 2/119 menyebutkan atsar Abdullah bin Mas'ud, dimana beliau berkata, "Barang siapa yang hendak mengikuti sunnah hendaklah dia mengikuti sunnah yang telah meninggal dunia. Karena seorang yang masih hidup tidak akan aman dari adanya fitnah. Merekalah para sahabat Rasulullah , ummat yang paling bersih hatinya, paling dalam keilmuannya dan paling sedikit pengadaan suatu yang diada-adakan. Suatu kaum, yang Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Rasulullah  dan penegakan agama-Nya. Maka kenalilah hak mereka dan berpegang teguhlah dengan petunjuk mereka. Karena sesungguhnya mereka berada diatas petunjuk yang lurus."

Hingga lafazh kata as-Salaf telah menjadi kata yang identik dan menunjukkan generasi para sahabat radhiallahu 'anhum, ulama tabi'in dan generasi penerus mereka diatas manhaj para sahabat, dan kemudian paa imam dan ulama Islam yang adil bijaksana yang telah beroleh petunjuk, dan disepakati oleh kaum muslimin dalam hal ke-Imaman dan keagungan kadar mereka. Perkataan mereka disadur dari masa ke masa, tarikh/sejarah dakwah mereka bersih dan tertulis dengan tinta emas. Baik dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, manhaj dan suluk, akhlak dan adab, yang zhahir maupun batin. Semisal para Imam yang empat, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, al-Laits bin Sa'ad, Abdullah bin Mubarak, al-Auza'i, Amru bin Syarahbil as-Sya'bi, Ibrahim an-Nakha'i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan masih banyak lagi lainnya.
Asy-Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid mengatakan, "Apabila dikatakan kata as-Salaf, atau as-Salafiyyun atau as-Salafiyah, yang merupakan nisbat kepada –generasi- as-Salaf ash-Shalih, yaitu seluruh sahabat radhiallahu 'anhum beserta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik. Selain mereka yang cenderung kepada al-Ahwa` sepeninggal generasi sahabat radhiallahu 'anhum, dari beberapa kelompok yang memisahkan diri dari as-Salaf ash-Shalih, baik dengan suatu penamaan atau sifat ..."
Generasi as-Salaf ash-Shalih, adalah selain siapa saja yang tertusuh dalam suatu perbuatan bid'ah ataukah populer dengan julukan yang tidak diridhai, semisal kaum Khawarij, ar-Rafidhah, al-Jabariyah, al-Mu'tazilah, al-Jahmiyah dan firqah-firqah sesat lainnya."[14]


Beberapa Ciri dan Karakter Dakwah as-Salafiyah
1. Berhukum kepada Kitabullah dan as-Sunnah ash-Shahihah pada setiap aspek-aspek permasalahan kehidupan. Baik itu dalam hal aqidah, ibadah, suluk ataukah muamalah. Terlebih lagi ketika terdapat perbedaan pendapat.
(Bersambung)

[1] Untuk lebih luas dalam mengetahui makna etimologi kata as-Salaf, silahkan lihat kitab Tahdzib al-Lughah 12/431-432 karya al-Azhari, Lisan al-'Arab 3/2068-2070, al-Qamus al-Muhith 3/158-159 dan an-Nihayah fii Ghariib al-Hadist 2/390
[2] Tafsir ath-Thabari 6/14, Tafsir Ibnu Katsir 1/327, Adhwaa`ul Bayaan 1/290-291
[3] Jami' al-Bayaan 8/132.
[4] Tafsir al-Qur`an al-Azhiem 1/472
[5] Lihat Fathul Qadir 2/308 dan juga didalam Tafsir Ibnu Katsir 2/308.
[6] Jami' al-Bayaan 25/85 dan Tafsir Ibnu Katsir 4/130.
[7] Yaitu salah satu bentuk transaksi perniagaan dimana harga didahulukan sedangkan barang diidentifikasikan dengan sifatnya hingga waktu tertentu.
[8] Al-Bukhari no. 6285, 6286 dan Muslim –al-Minhaj- 16/6-7.
[9] HR. al-Bukhari no. 1136 dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat al-Bukhari dan Muslim –al-Minhaj- 2/140.
[10] HR. al-Bukhari no. 557
[11] An-Nihayah 2/390
[12] Al-Ansaab 7/104
[13] HR. al-Bukhari no. 3650
[14] Lihat lebih lanjut Majmu' al-Fatawa 3/157, Syarh ath-Thahawiyah karya Ibnu Abi al-'Izz hal. 336, Lawami' al-Anwar 1/20, Aqidah Ahlis Sunnah wal-Firqah an-Najiyah hal. 10-11, dan Hukmi al-Intima` ila al-Firaq wal-Ahzab wal-Jama`aat al-Islamiyah hal. 42.