Sabtu, 12 September 2009

Syarah Ushul at-Tafsir (1)

Syarah Ushul at-Tafsir (bag. 1)
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Muqaddimah
Penulis mengatakan:
“Alhamduliilah, kami memuji kepada Allah, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya dan bertaubat serta memohon perlindungan kepada-Nya dari segala keburukan jiwa-jiwa kami dan dari segala kejelekan amalan-amalan kami.
Arang siapa yang Allah menganugrahkan hidayah baginya, maka tidak suatupun yang akan menysatkannya, dan bagi siapa yang Allah sesatkan maka tidak suatupun yang dapat memberi petunjuk baginya.
Dan saya bersaksi bahwa tiada ilah (sembahan yang benar) selain Allah semata lagi tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Semoga shalawat dan salam Allah bagi beliau dan keluarga beliau, juga bagi para sahabat beliau dan yang mengikuti beliau dengan kebaikan. Amma ba’du.”


Penjelasan:
Pelajaran ini, yang kalian akan mengawalinya pada malam ini –yaitu malam sabtu- bertepatan dengan tanggap sepuluh bulan Shafar tahun 1416 hijriyah, adalah pelajaran yang berkaitan dengan dasar-dasar ilmu at-Tafisr. Kita semua memohon kepada Allah agar memudahkan penyelesaian pelajaran ini pada sisi yang memberi manfaat.
Penulis rahimahullah memulai kitab beli dengan khutbah hajat ini, yakni, ”Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji kepada Allah, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya”:
Lafazh ”kami meminta ampunan kepada-Nya” tidaklah terdapat dalam konteks hadits. Akan tetapi kami mengucapkannya menapaki amalan para ulama terdahulu. Sementara konteks hadits sebagai berikut, ”Segala puji hanya bagi Allah. Kami memuji kepada Allah, kami meminta pertolongan kepada-Nya, kami meminta ampunan dari-Nya, dan kami meminta perlindungan kepada-Nya dari segala keburukan jiwa-jiwa kami.”
Adapun kata ”al-hamdu” (segala puji) adalah suatu bentuk penyifatan zat yang terpuji dengan seluruh kesempurnaan disertai dengan kecintaan dan pengagungan. Al-hamdu (pujian) tersebut bisa disebabkan kesempurnaan zat yang dipuji dan bisa juga disebabkan pemberian nikmat zat yang dipuji tersebut. Dengan demikian pujian tersebut adalah suatu keutamaan dan pengutamaan. Seseorang yang makan apabia dia hendak makan, maka dia mmeuji Allah subhanahu wata’ala atas segala kesempurnaan-Nya ataukah karena kebaikan dan pemberian nikmat dari-Nya? Jawabnya adalah karena alasan yangkedua. Berdasarkan sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya Allah ridha kepada setiap hamba yang jika dia memakan suatu makanan maka hamba tersebut memuji-Nya atas makanan tersebut dan jika meminum minuman maka hamba tersebut memuji-Nya atas minuman tersebut.”
Huruf ”al-laam” pada sabda beliau SAW, ”lillahi” (kepada Allah” menunjukkan makna al-istihqaq (hak kepemilikan) dan al-ikhtishash (pengkultusan). Adapun kedudukannya sebagai al-istihqaq dikarenakan zat yang aling berhak untuk dipuji adalah Allah subhanahu. Sedangkan kedudukannya sebagai al-ikhtishash dikarenakan al-hamdu mencakup segala bentuk pujian. Hal tersebut disebabkan awalan ”al” pada kata ”al-hamdu” menunjukkan makna al-istighraaq” (umum menyeluruh). Dan zat apakah yang dikultuskan dengan segala bentuk pujian? Zat tersebut tiada lain adalah Allah subhanahu. Karenanya kami mengatakan bahwa huruf ”al-laam” pada lafazh ”al-hamdu lillah” menunjukkan makna al-istihqaq dan al-ikhtishash.
Kalimat ”kami memuji Allah” adalah kalimat penegas atas makna ”segala puji hanya bagi Allah.”
Kalimat ”kami mminta pertolongan kepada-Nya, ”yaitu kami memohon dari-Nya segla bentuk pertolongan.
Kalimat ”kami meminta ampunan dari-Nya,” yaitu kami memohon dari-Nya segala bentuk ampunan. Adapun makna ”al-’aun” (pertolongan) yaitu segala bentuk bantuan. Sedangakan ”al-maghfirah” (ampunan” maknanya adalah menutupi segala dosa diserta penghapusannya.
”Kami berlindung dari segala keburukan jiwa-jiwa kami”, kami berlindung kepada Allah yaitu kami memohon penjagaan dari-Nya dari segala keburukan jiwa-jiwa kami. Dan apakah jiwa memiliki banyak keburukan? Benar, jiwa mengandung banyak keburukan. Allah ta’ala berfirman,

”Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,” (Yusuf: 53)
Berkaitan dengan hal ihwal jiwa manusia, al-Qur`an telah menerangkan 3 macam sifat jiwa manusia:
Jiwa yang tenang (an-nafsu al-muthma`innah) pada firman Allah ta’ala,

” Hai jiwa yang tenang.” (al-Fajr: 27)
Jiwa yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu al-`ammarah bis-su`), yaitu pada firman Allah ta’ala,

”Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,” (Yusuf: 53)
Dan jiwa yang menyesali diri sendiri (an-nafsu al-lawwamah), yaitu pada firman Allah ta’ala,

“dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (al-Qiyamah: 2)
An-nafsu al-muthma`innya (jiwa yang tenang) dan an-nafsu al-`ammarah bis-suu` (jiwa yang mengajak kepada keburukan) adalah dua sifat jiwa yang antagonis. Karena jiwa yang tenang mengajak (an-nafsu al-muthma`innah) kepada kebaikan dan melarang dari segala keburukan sedangkan jiwa yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu al-`ammarah bis-suu`) mengajak kepada segala keburukan dna menghalangi dari segala kebaikan.
Sedangkan an-nafs al-lawwamah, penafsiran yang benar bahwa sifat ini adalah sifat bagi seluruh jiwa. An-nafsu al-`ammarah bis-suu` akan menjadikan anda menyesali diri dan juga an-nafsu al-muthma`innah akan menjadikan anda menyesali diri anda. Kapan an-nafsu al-`ammarah bis-suu` akan menjadikan anda menyesali diri anda sendiri? Yaitu bilamana anda melakukan amal kebaikan dan bilamana anda meninggalkan amal keburukan, maka jiwa ini akan menjadikan anda menyesali diri anda sendiri.
Dan an-nafsu al-muthma`innah, kapan menjadikan anda menyesali diri anda sendiri? Yaitu bilamana anda melakukan keburukan dan meninggalkan amal kebaikan. Jadi pendapat yang tepat, sifat penyesalan akan diri sendiri adalah sifat yang menyertai seluruh jiwa, baik bagi jiwa al-`ammarah bis-suu` dan jiwa al-muthma`innah.
Jiwa kita terdapat keburukan di dalamnya dan yang terjaga hanya jiwa yang beroleh penjagaan dari Allah. Karena inilah, kita memohon penjagaan dari Allah atas segala keburukan jiwa kita dan dari segalam kejelekan amalan-amalan kita. Amalan-amalan manusia sebagaimana yang kalian ketahui terbagi menjadi tiga kategori: amalah buruk, amal shalih dan amalan yang berada di antara keduanya, antara buruk dan shalih.

Apakah amalan-amalan yang buruk punyak dampak negatif?
Jawabnya: benar. Perhatikanlah firman Allah ta’ala,
” (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu” (al-Ma`idah: 13)
Dimana Allah menjatuhkan siksa bagi mereka dengan ragam siksa ini karena mereka melanggar janji mereka. Dengan begitu amalan-amalan yang buruk akan berdampak yang buruk pula. Dan kejelekan yang terjadi tiada lain disebabkan amalan-amalan yang buruk, sebagaimana firman Allah ta’ala,

”Kejelekan akan menjadi tampak di daratan dan di lautan,” mengapa?
Allah ta’ala melanjutkan firman-Nya,

”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Ruum: 41)
Dan Allah ta’ala berfirman,

”atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian besar (dari mereka).” (asy-Syuraa: 34)
Sabda beliau, ”Barang siapa yang Allah anugrahkan hidayah baginya, maka tiada satupun yang dapat menyesatkannya,” yaitu siapa saja yang Allah telah beri kepastian limpahan hidayah baignya dan yang Allah telah anugrahkan hidayah baginya. Siapa saja yang Allah telah tetapkan akan beroleh hidayah dari-Nya niscaya dia akan mendapatkan petunjuk, walau terdapat di dalam dirinya amalan-amalan yang mengindikasikan kesesatannya, dan bagi siapa yang Allah telah berikan hidayah dan dia telah beroleh petunjuk, maka tidak seorangpun yang akan sanggup menjadikannya sesat. Karena Allah ta’ala telah memberinya hidayah secara pasti dan dia telah mendapatkan petunjuk, maka tidak seorangpun yang akan dapat menyesatkannya. Karena Allah telah memberinya hidayah. Dengan demikian, permasalahan ini berada dalam genggaman tangan siapa? Berada di dalam genggaman tangan Allah subhanahu.
Konteks ini mengharuskan seseorang agar tidak memohon hidayah kecuali dari Allah ta’ala dengan melakukan segala sebab hidayah tersebut. Merintis sebab suatu keharusan, mohonlah hidayah kepada Allah dan juga kerjakan segala sebab-sebab hidayah tersebut, diantaranya dengan mempelajari syariat Islam, mengikutinya dan lain sebagainya.
Sabda beliau, ”Dan bagi siapa yang Allah sesatkan maka tidak seorangpun yang dapat memberinya hidayah.” Dan bagi siapa yang telah disesatkan dalam realisasi perbuatan yaitu kesesatan yang telah terjadi dan siapa saja yang ditetapkan akan disesatkan. Konteks ini mencakup dua hal tersebut secara keseluruhan. Siapa saja yang Allah telah kehendaki kesesatan bagi dirinya, maka tidak akan mungkin seseorang memberinya hidayah. Tidak ada misal yang paling sesuai dibandingkan dengan upaya Rasulullah SAW terhadap paman beliau Abu Thalib. Abu Thalib telah melakukan kebaikan yang amat besar –yaitu terhadap Rasulullah SAW- dan telah bersabar atas pengisolasian kaum Quraisy atas dirinya hanya dikarenakan dia berada di sisi Rasulullah SAW dan dia telah beriman dengan lisannya serta membenarkannya. Di dalam Lamiyah Abi Thalib yang masyhur dia mengatakan,

Sungguh mereka telah mengetahui bahwa anak kami tidaklah didustakan
Oleh kami dan tidak juga mengujar ucapan yang batil .

Dan Abu Thalib juga berkata,
Dan sungguh kalian telah mengetahui bahwa agama Muhammad
Adalah agama terbaik dari agama-agama kaum manusia

Sekiranya bukan karena cela dan menghindar umpatan .
Niscaya engkau akan mendapatiku membenarkan hal itu dengan jelas.
Walau begitu, dia tidaklah mendapatkan hidayah, bersamaan dengan antusias Nabi SAW agar pamannya tersebut mendapatkan hidayah, namun dia tetap tidak mendapatkan hidayah , melainkan Abu Thalib meninggal diatas kekafiran. Nabi SAW menghadiri saat kematian beliau dan bersabda, ”Wahai pamanku, ucapkanlah kalimat ((laa ilaha illalah)), kalimat yang akan saya jadikan pembela bagi anda di sisi Allah.” Akan tetapi Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat itu.
Dan akhir yang Abu Thalib ucapkan bahwa dia ebrada diatas agama Abdul Muththalib, akhirnya diapun meninggal dunia diatas kekafiran, semoga Allah memberi perlindungan.
Ucapan beliau, ”Dan saya mempersaksikan bahwa tiada ilah (sembahan yang benar) selain Allah semata lagi tiada sekutu bagi-Nya dan saya mempersaksikan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
”Saya mempersaksikan,” yaitu pengakuan dengan pembenaran dan penyaksian. Seorang yang menyaksikan sesuatu adalah yang melihatnya secara nyata. Persaksian disini mengandung makna pembenaran yang telah dianggap setara dengan penyaksian untuk mempetegas suatu yang dibenarkan.
Ucapan beliau, ”bahwa tiada ilah (sembahan yang benar) selain Allah,” apakah yang beliau maksudkan bahwa tiada sembahan selain Allah, apakah makna ini benar? Tentu tidak, penafsiran ini tidaklah benar jika mengatakan tiada sembahan selain Allah. Karena terdapat banyak sembahan selain Allah dan juga dinamakan sebagai smebahan. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

” Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (al-Mu`minun: 117)
Dan firman Allah,

”Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Huud: 101)
Dan firman Allah ta’ala,

”Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Huud: 101)
Dan jika seandainya kita mengatakan, tiada sembahan yang eksis kecuali Allah, penafsiran ini adalah pernyataan aqidah ’wihdatul-wujud’ –manunggaling kawula gusti, jawa-. Karena Allah adalah sembahan yang menciptakan langit dan bum. Dan berhala-berhala ini adalah juga sembahan, kalaulah demikian mereka semuanya adalah satu !!
Dengan ini, dapat dipastikan bahwa makna kalimat syahadat yaitu tiada sembahan yang hak selain Allah. Berdasarkan perincian ini, maka khabar dari ”laa” an-nafiyah disamarkan sementara lafazhul-jalaalah (yaitu ”Allah”) setelah illa adalah ”badal” (pengganti) dari khabar tersebut. Ini adalah bentuk i’rab yang paling baik dari semua i’rab yang ada dan pendapat paling selamat dari sanggahan dan kritikan dibanding pendapat-pendapat lainnya.
Ucapan beliau, ”semata lagi tiada sekutu bagi-Nya.” Lafazh ”semata” adalah penegas dalam hal penetapan (al-itsbat) sedangakn lafazh ”tiada sekutu bagi-Nya” adalah penegas atas hal peniadaan (an-nafyu).
Kalimat ini yang tiada lain dalam kalimat ikhlas seandainya ditimbang dengan langit dan bumi, niscaya kalimat ini akan lebih berat dari pada langit dan bumi . Kalimat ini adalah ucapan yang jikalau kalimat tersebut merupakan akhir ucapan seseorang di dunia, niscaya dia akan dimasukkan kedalam surga .
Kalimat ini adalah kalimat yang sangat agung dengan timbangan dan nilainya. Kalimat tersebut akan menjaga seseorang dan hartanya dari pembunuan sebagaimana kalimat tersebut menjaganya dari kekufuran. Karena inilah ketika Usamah bin Zaid menjangkau dan mendapati seorang musyrik, orang musyrik ini berkata, ”Laa ilaha illalah.” Namun Usamah memahami bahwa si musyrik tersebut mengucapkan kalimat ini untuk mencari perlindungan dan karena takut terbunuh, lantas beliau menwaskannya. Hal itu lalu sampai kepada Nabi SAW, kemudian beliau SAW bersabda, ”Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengatakan (Laa ilaha illallah)?” Usamah menjawab, ”Iya, akan tetapi dia mengucapkannya untuk mencari perlindungan.” –makna dar ta’awwudzan (mencari perlindungan diri) adalah mempergunakan kalimat tersebut untuk menjaga dirinya dari pembunuhan-. Lalu Nabi SAW terus mengulang-ulangi soal tersebut hingga Usamah berkata, ”Sungguh saya berharap sekiranya saya saat itu belum lagi memeluk Islam.”
Beliau berandai sekiranya dia belumlah menjadi seorang muslim kla itu, dikarenakan apabila dia memeluk Islam, maka segala dosanya terdahulu akan terampuni. Namun kejadian tersebut telah terjadi. Hanay saja Nabi SAW tidak menjatuhkan pidana berupa pembayaran diyat atau kaffarah, karena beliau salah dalam penafsiran. Dan kaffarah tidaklah diberlakukan jika diiringi dengan kesengajaan.
Ucapan beliau, ”Dan saya mempersaksikan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.”
Penjelasan ”saya mempersaksikan” sebagaimana penjelasan yang telah kami uraikan sebelumnya di syahdat yang pertama.
Muhammad adalah ibnu Abdullah bin Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, shalawat Allah dan salam-Nya bagi beliau. Tidak seorangpun dari keturunan Nabi Ismail yang menjadi nabi selain beliau SAW.
Ucapan beliau, ”hamba-Nya dan utusan-Nya.” Kata ”hamba-Nya” yaitu seorang yang menyembah kepada-Nya lagi merendahkan diri, dan sama sekali tidak memiliki hak rububiyah.
”Utusan-Nya,” yaitu sebagai seorang yang diutus dari Allah subhanahu. Bukan seorang pendusta namun beliau juga tidak memiliki hak dalam hal rububiyah. Pada ucapan beliau, ”hamba-Nya dan utusan-Nya,”: Kata ”hamba-Nya” terkandung bantahan kepada siapa saja yang berlaku ghuluw pada diri beliau. Sedangkan pada ucapan ”utusan-Nya” adalah bantahan kepada siapa saja yang mendiskreditkan diri beliau dan mendustakannya sambil mengatakan: bahwa beliau bukanlah seorang rasul ataukah mengatakan: bahwa risalah beliau tidak universal. Kaum nashrani dewasa ini –semoga laknat Allah bagi mereka hingga hari kiamat demikian pula bagi kaum yahudi- mengatakan: ”Muhammad adalah rasul Allah, Isa adalah rasul Allah dan Musa adalah rasul Allah. Hanya saja Musa bagi kaum beliau, Isa bagi kaum belia dan Muhammad juga diutus hanya untuk kaum beliau. Hngga tidak ada perbedaan antara kami dan kalian. Kalian beriman kepada seorang rasul yang diutus kepada kalian dan kami beriman kepada seorang rasul yang dikirim kepada kami. Kaum yahudipun juga demikian.
Akan tetapi, kami mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah seorang rasul yang diutus kepada seluruh umat yang dilahirkan setelah adanya kerasulan beliau. Karena dia diharuskan untuk mengikuti beliau. Hingga Rasulullah SAW bersabda, ”Seandainya saudaraku Musa hidup niscaya tidak ada alasan baginya selain mengikutiku.”
Ucapan beliau, ”Muhammad adalah hamba-Nya dari rasul-Nya,” dan beliau tidak mengucapkan, ”Kepada sleuruh kaum manusia,” sementara kalimat ini –yaitu kalimat at-tasyahhud- adalah kalimat yang Nabi SAW ajarkan kepada umatnya disaat tasyahhud. Kami ucapkan dalam tasyahhud, ”Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadn ’abduhu wa Rasuluhu.” dan tidaklah kami mengucapkan, ”ilaan-naasi kaafah” (kepada sleuruh kaum manusia) berdasarkan pengajaran Rasulullah SAW kepada kami. Maka kami katakan seperti pendapat Ibnu Malik rahimahullah:
Dan menghilangkan kata yang telah diketahui suatu yang diperkenankan

Kami mengetahui bahwa kerasulan beliau bersifat mutlak bagi setiap individ, maka penghilangan objek kerasulan beliau (yaitu kaum manusia seluruhnya, pent) karena didasari pengetahuan akan hal tersebut.
Ucapan beliau, ”Shalawat dan salam Allah bagi beliau dan bagi keluarga beliau, serta bagi para sahabat beliau dan yang mengikuti mereka dengan baik.”
Apakah makna ”Allah bershalawat bagi beliau,”?
Pendapat terbaik dalam menafsirkannya adalah dengan mengatakan: Allah menyanjung beliau di al-Mala`i al-A’laa (tempat yang tertinggi. Yakni Allah memberi pujian bagi beliau dan menyifati beliau dengan sifat-sifat sempurna d al-Mala`i al-A’laa, yakni ditengah-tengah para malaikat.
”Dan bagi keluarga beliau,” kata ”keluarga” terkadang disebutkan secara terpisah semisal pada ucapan tasyahhud kita, ”Allahumma shalli ’ala Muhammad wa ’ala aali Muhammad.” Apabila disebutkan secara terpisah, maka yang dimaksudkan adalah seluruh pengikut beliau diatas agama beliau. Seperti di dalam firman Allah ta’ala tentang Fir’aun,

” Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras". (Ghafir: 46)
Yaitu pengikut Fir’aun.
Dan jika kata ”keluarga”, ”sahabat”, dan pengikut” disebutkan bersamaan seperti dalam ibarat ini, maka yang dimaksud dengan ”keluarga” adalah kerabat beliau dari kalangan kaum mukminin. Adapun selain kaum mukminin, maka tidak tergolong sebagai bagian dari keluarga belia. Karena Allah ta’ala berfirman kepada Nuh ’alaihis-salam tentang anak beliau,

”Sesungguhnya dia bukan termasuk dari bagian keluargamu.” (Huud: 46)
Sementara dia adalah anak kandungnya sendiri, namun allah meniadakannya sebagai bagian dari keluarga beliau. Demikian juga kerabat beliau SAW yang tidak beriman kepada Muhammad SAW bukanlah termasuk anggota keluarga beliau SAW. Walau secara garis nasab mereka adalah keluarga beliau, akan tetapi mereka tidak termasuk dalam cakupan doa bagi keluarga Nabi.
”Dan para sahabat beliau,” yaitu mereka yang berkumpul dengan beliau dan beriman kepada beliau walau hanya sesaat lalu meninggal dunia diatas keimanan itu .
”Dan yang mengikuti mereka dengan kebaikan,” adalah umat beliau lainnya. Ucapan ini –yakni yang mengikuti mereka dengan baik- disadur dari firman Allah ta’ala,

”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,” (at-Taubah: 100)
Pengikutan ini di batasi sebagai pengikutan dengan baik, karena pengikutan dapat secara mutlak dan dapat juga terbatas dengan kebaikan, dimana setiap langkah mereka dapat diinterpretasikan dalam bentuk perkataan, perbuatan dan penolakan. Adapun pengikutan yang secara mutlak, hal ini tidaklah mencukupi, yaitu tidak akan termasuk dalam cakupan doa ini, melainkan haruslah –pengikutan tersebut- disertai dengan kebaikan.
Ucapan beliau, ”dan salam penghirmatan,” beliau lalu melanjutkan dengan pengucapan salam, karena Allah ta’ala berfirman,

”Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (al-Ahzab: 56)
Adapun dalam at-tasyahhud, kita memulainya dengan ucapan salam sebelum ucapan shalawat. Ulasan dari hal itu, karena Rasulullah SAW mengajarkan umat beliau ucapan salam sebelum ucapan shalawat, kemudian setelah itu mereka memintak kepada beliau SAW untuk mengajarkan kepada mereka ucapan shalawat sebagaimana beliau telah mengajarkan kepada mereka ucapan salam maka beliau SAW lantas mengajarkan mereka hal tersebut . Maka urutannya sebagai berikut: salam yang pertama kali kemudian yang kedua adalah shalawat.