Sabtu, 12 September 2009

Penuntun Ringkas Pelaksanaan Shalat 'Iedain (3)

1. Shalat ‘Ied bagi yang mempunyai udzur tidak dapat menuju Lapangan/Mushalla ‘Ied.

Keterangan:
Telah disinggung sebelumnya, bahwa seorang yang sakit atau mempunyai udzur, diperbolehkan untuk tidak menghadiri mushalla ‘ied.
Berkata Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“
Sandaran hukumnya:

Hadist Ali bin Abi Thalib, dimana beliau memerintahkan seseorang sebagai ganti imam shalat bagi orang-orang yang tua renta lagi lemah di masjid.
Hadist ini ada beberapa jalan periwayatanya, sebagian sanadnya shahih sebagian lagi sanadnya hasan insya Allah, sebagian lagi ada perbincangan dikalangan ulama.
Namun pada hadits tersebut terdapat perbedaan pada beberapa lafazhnya, ada yang menyebutkan “ imam mengerjakan empat raka’at “dan riwayat lainnya, “ mengerjakan dua raka’at “.

Yang shahih, dari kedua lafadz tersebut adalah, “ imam mengerjakan dua raka’at.“ Dan ini semisal dengan hadits Anas bin Malik, yang menyebutkan bahwa beliau mengerjakan shalat bersama keluarga beliau dua raka’at, jika beliau tertinggal shalat ‘ied bersama imam.

2. Tata cara pengerjaan Shalat ‘Ied

- Shalat ‘Ied Shalat dua raka’at.

Keterangan:
Yakni dimana pelaksanaannya sebagaimana dengan pelaksanaan shalat lainnya, dimulai dengna takbiratul ihram dan diakhir dengan salam. Hanya saja terdapat takbir tambahan selain takbiratul ihram.

Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid Al-Laitsi dan juga hadits An-Nu’man bin Basyir yang keduanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dimana pada hadits Abu Waqid Al-Laitsi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at pertama membaca surah,
(( Qaaf ))
Dan pada raka’at kedua membaca:
(( Iqtarabatis-saa`ah wan-syaqal Qamar ))
Dan pada hadits An-Nu’man bin Basyir, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at pertama membaca:
(( Sabbihisma Rabbikal-a'laa ))
Dan pada raka’at kedua membaca:
(( Hal ataaka haadiitsul-ghaasyiyah ))

Hadist Umar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Shalat jum’at dua raka’at, shalat ‘iedul fithri dua raka’at, shalat ‘iedul adha dua raka’at, shalat safar dua raka’at. Sebagai shalat yang sempurna bukanlah qashar, melalui penyampaian lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.“
[Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (3/1420 dan 1566) serta di dalam Al-Kubra (1/1733 dan 1734), Ibnu Majah (1/1063), Ahmad (1/37) dan selain mereka]
An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ (5/17) dan Ibnu Qudamah didalam Al-Mughni (2/233) mengutip ijma’/konsensus ulama bahwa shalat ‘iedain dua rakat.

- Takbir Tambahan pada shalat ‘Ied (Tujuh takbir pada raka’at pertama dan lima kali takbir pada raka’at kedua) sebelum membaca Al-Fatihah, selain takbiratul ihram dan takbir disaat menuju raka’at kedua.

Sandaran hukumnya:
Hadist Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir, selain dua takbir ruku’ “
[Diriwayatkan oleh Ahmad (6/70), Abu Daud (1/1150), Ad-Daraquthni (2/47) dan Al-Baihaqi (3/287) dan selain mereka ].
Hadist Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Takbir pada shalat ‘iedul fithri tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir. Dan membaca Al-Fatihah setelah kedua takbir tersebut. “
[HR. Abu Daud (1/1151), Ad-Daraquthni (2/48), Al-Baihaqi (3/285), dan selainnya]
Terdapat perbedaan ulama dalam takbir tambahan pada shalat ‘Iedain. Namun riwayat yang shahih menunjukkan bahwa takbir tambahan adalah tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua. Adapun selain itu, sandarannya tidaklah shahih dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga takbir tambahan ini adalah selain takbiratul ihram, berdasarkan riwayat lainnya pada hadits Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash dengan lafazh, “selain takbiratul ihram,” yang dishahihkan oleh beberapa imam ahlil Hadist, diantara mereka adalah Imam Ahmad dan Al-Bukhari.

- Apakah Mengangkat tangan disaat takbir ?

Keterangan:
Perihal mengangkat tangan disaat takbir tambahan, terdapat perbedaan dikalangan ulama. Diantara mereka ada yang membolehkan mengangkat tangan sebagaimana mengangkat tangan pada takbiratul ihram. Dan ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Atha’, Ibnul Mundzir, Al-Bukhari dan selain mereka.
Sedangkan ulama lainnya, diantara mereka adalah Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Malik bin Anas dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri berpendapat untuk tidak mengangkat tangan selain hanya pada takbiratul ihram.
Dan masing-masing madzhab diatas berargumen dengan dalil dari atsar dan juga logika. Adapun dari atsar (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari sahabat), hampir semua jalan periwayatannya terdapat kritikan dan diperbincangkan oleh ulama. Bahkan tidak satupun yang shahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , berkaitan dengan masalah ini.

Sementara dari tinjauan logika, disebutkan oleh Asy-Syafi’i, Al-Kasaani dan selain mereka, bahwa tujuan dari takbir adalah pemberitahuan takbir tambahan bagi yang tidak dapat mendengar, karena tuli atau karena jauh dari Imam sehingga tidak mendengar suara takbir imam. Logika ini cukup kuat untuk dijadikan alasan bagi yang membolehkan mengangkat tangan ketika takbir.
Adapun yang menolak mengangkat tangan disaat takbir, berargumen tidak adanya atsar dari sahabat yang shahih bahwa mereka melakukannya, … sementara mengangkat tangan disaat takbir adalah ibadah, terlebih didalam shalat. Yang harus berpedoman kepada dalil syara’.
Kesimpulannya : Tidak mengapa mengangkat tangan pada takbir tambahan dan tidak juga sepatutnya bagi yang berpendapat tidak mengangkat tangat ketika takbir tambahan mengingkari hal tersebut, apalagi hingga dikategorikan sebagai bid’ah. Wallahu a’lam.

- Dzikir yang dibaca diantara dua takbir tambahan.

Keterangan:
Berkaitan dengan masalah ini, tidak satupun hadits yang shahih maupun dha’if yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan adanya dzikir diantara dua takbir tambahan. Bahkan tidak satupun atsar dari sahabat yang shahih dalam masalah ini. Pendapat ini merupakan pendapat Malik bin Anas dan Al-Auza’i.
Adapun sebagian ulama lainnya membolehkan adanya dzikir diantara dua takbir. Diantara yang membolehkan adalah Atha’, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnul Mundzir dan juga merupakan pendapat yang diperbolehkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berdalilkan atsar yang diriwayatkan dari Atha’ dan Makhul.
Catatan:
Seiring dengan perbedaan pendapat diatas, demikian juga dengan bacaan/dzikir yang dibacakan antara dua takbir tambahan. Apakah ada bacaan dzikir tertentu atau tidak?
Imam Asy-Syafi’i didalam Al-Umm (1/395) menyebutkan, “Bahwa diamnya seseorang diantara dua takbir tambahan, seukuran membaca sebuah ayat yang tidak panjang dan juga tidak pendek. Lalu dia membaca tahlil, takbir dan tahmid … “
Berkata Imam Ahmad pada “ Su`alaat Ibnu Hani` “ ( hal. 93 ), “ Dia bertasbih , bertahlil dan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Dan sekali waktu beliau mengatakan, “Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu setiap doa yang diucapkannya juga baik.”
Jadi diperbolehkan dengan dzikir yang berupa tahlil, tahmid, tasbih, shalawat serta doa apapun diantara dua takbir tambahan. Wallahu a’lam.

- Bacaan Surah Al-Fatihah dan Surah setelahnya, dibacakan dengan suara nyaring.

Keterangan:
Diantara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Ied adalah membaca surah Qaaf atau Al-A’laa pada raka’at pertama dan surah Al-Qamar atau Al-Ghasyiah pada raka’at kedua.
Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu ‘anhu, beliau ditanya, “Surah apakah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedul fithri dan ‘Iedul adha ?”
Beliau menjawab, “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada kedua shalat tersebut membaca:
(( Qaaf ))
Dan:
(( Iqtarabatis-saa`ah ... ))
(HR. Muslim no. 891)

Dan pada hadits An-Nu’man bin Basyir, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain dan shalat jum’at membaca:
(( Sabbihisma Rabbikal-a'laa ))
Dan:
(( Hal ataaka hadiitsul-ghaasyiyah ))
Kedua hadits diatas, dijadikan sandaran hukum juga oleh sebagian ulama, bahwa bacaan pada shalat ‘Iedain adalah bacaan yang dibaca dengan jahar/suara keras. Mereka mengatakan:
1. Sahabat tidaklah mengetahui bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain kecuali jika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjaharkan bacaannya.
2. Pada hadits An-Nu’man, sifat bacaan shalat ‘Iedain disetarakan dengan sifat bacaan pada shalat jum’at.
3. Shalat ‘Iedain adalah shalat jama’ah dengan khutbah yang dapat dianalogikan dengan shalat jum’at yang juga dengan khutbah.
Pendapat mengeraskan bacaan pada shalat ‘Iedain adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan sebagian besar ulama Islam. Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (2/336) mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, kecuali yang diriwayatkan dari Ali.”
Sedangkan hadits ‘Ali adalah hadits yang dha’if. Pada sanadnya terdapat Al-Aslami dia perawi yang matruk (ditinggalkan). Dan sanad lainnya terdapat Al-Harits seorang perawi yang dha’if.
Diantara ulama yang juga mengutip ijma’ seperti pernyataan Ibnu Qudamah: Az-Zarkasyi dan Al-Qurthubi.

3. Khutbah Al-‘Iedain

- Khutbah ‘Ied dilakukan setelah shalat.

Keterangan:
Yang wajib adalah mendahulukan shalat baru selanjutnya khathib khutbah pada hari ‘Iedain.
Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu Abbas, beliau berkata, “Saya telah menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum, semuanya mengerjakan shalat sebelum khutbah.”
Demikian juga hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma mengerjakan shalat ‘Iedain sebelum khutbah“ ( HR. Al-Bukhari dan Muslim ).
Imam Muslim didalam Shahihnya meriwayatkan hadits Jabir, beliau berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat pada hari ‘iedul fithri, dimana beliau memulai shalat sebelum khutbah. Setelah beliau menyelesaikan khutbah, beliau lantas mendatangi wanita dan mengingatkan mereka. Beliau bersandar kepada Bilal, smeentara Bilal menghamparkan pakaian beliau , dan para wanita melemparkan sedekah mereka.”
Juga semisalnya diriwayatkan dari hadits Abu Said Al-Khudri (Muttafaq ‘alaihi).

- Sunnah mengerjakan Khutbah sambil berdiri diatas tanah.

Keterangan:
Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khutbah ‘Ied diatas tanah, tanpa berdiri diatas mimbar.
Diantaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk mengerjakan shalat ‘Iedul fithri atau ‘Iedul adha di mushalla/lapangan. Kemudian beliau melewati kaum wanita, maka beliau bersabda: “ Wahai kaum wanita bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya saya telah melihat penghuni neraka adalah kalian … “
( HR. Al-Bukhari dan Muslim )
Pada lafadz lainnya, “ … lalu beliau memulai dengan shalat, setelah beliau shalat dan mengucapkan salam, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menghadap kepada kaum muslimin, sementara mereka duduk di tempat mereka … “
Juga hadits Ibnu Abbas yang telah disebutkan sebelumnya, beliau ditanya, “ Apakah anda menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”
Beliau mengatakan, “ Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya disisi beliau tidaklah saya menyaksikannya- yaitu karena usia beliau yang masih kecil- lalu beliau mendatangi gundukan tanah yang berada didekat kediaman Katsir bin Ash-Shalat, lalu beliau khutbah. Kemudian beliau mendatangi kaum wanita, menasihati mereka, dan memerintahkan mereka untuk berdedekah … “
( HR. Al-Bukhari dan selainnya )

Catatan:
Pada hadits diatas menunjukkan pula sunnahnya bersedekah pada hari ‘Ied, terutama bagi kaum wanita.

- Khutbah ‘Ied terdiri atas dua kali Khutbah.

Keterangan:
Khutbah ‘Ied adalah dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantara dua khutbah. Berkata Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah, “ … Apabila imam telah salam, maka imam berdiri untuk khutbah kehadapan kaum muslimin dengan dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantaranya, … -lalu beliau berkata : - “dan pada masalan ini tidak terdapat perbedaan pendapat diantara ulama “ (Al-Muhalla 5/82)
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , tidak satupun yang shahih menunjukkan adanya dua kali khutbah ‘Ied. Namun sebagian ulama hadits seperti An-Nasaa’i didalam Al-Kubra yang mencantumkan hadits dua kali khutbah jum’at pada bab. Khutbah ‘Iedain, demikian juga dengan Ibnu Khuzaimah (2/349) yang mencantumkan hadits khutbah jum’at dari hadits Ibnu Umar pada masalah khutbah ‘Iedain. Isyarat bahwa khutbah ‘Ied semisal dengan khutbah jum’at.

- Mengawali Khutbah dengan bacaan “ Innal Hamda lillah … dst “

Keterangan:
Berkaitan dengan sebagian besar yang diamalkan oleh kaum muslimin/para khathib shalat ‘Ied, yakni bertakbir sembilan kali diawal khutbah ‘Ied, amalan tersebut merupakan pendapat dari Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad dan selain mereka. Sebagian besar pendapat yang mereka utarakan, bahwa khathib pada khutbah pertama bertakbir sembilan kali dan pada khutbah yang kedua bertakbir tujuh kali takbir.
Bahkan Imam Malik menambahkan bahwa kaum muslimin bertakbir bersama dengan imam.
Argumen mereka sebagai berikut:
1. Hadist ‘Ubaidullah bin Abdullah bin’Utbah, beliau berkata, “Termasuk sunnah bertakbir diatas mimbar pada hari ‘Ied ketika memulai khutbah pertama dengan sembilan takbir sebelum khutbah dan pada khutbah selanjutnya dengan tujuh kali takbir.” [Hadist ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (5672, 5673, 3674), Ibnu Abi Syaibah (5865), Al-Baihaqi (3/299). Hadist ini didalamnya terdapat perawi yang matruk]
2. Bahwa pada hari itu adalah hari takbir, olehnya itu disyari’atkan untuk memulai takbir disaat memulai khutbah ‘Ied.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullah kedua berpendapat bahwa yang sunnah adalah memulai dengan ucapan: “ Innalhamda lillah … “ tanpa takbir diawal khutbah ‘Ied. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memulai khutbah beliau dengan selain ucapan tersebut. Pendapat kedua imam ini lebih tepat kiranya, dengan mengacu dha’ifnya hadits diatas.
Adapun argumen kedua, mungkin dapat dijawab, -jikalau benar adanya – maka hanya berlaku untuk ‘Iedul adha, disebabkan takbir pada ‘Iedul fithri berakhir disaat imam khutbah. Akan tetapi khutbah ‘Ied tidaklah menjadi batal karena hal ini, dan tidak juga diingkari bagi yang melakukannya. Wallahu a’lam.

- Menghadiri Khutbah ‘Ied wajib menurut pandangan yang shahih dari Ulama.

Keterangan:
Sebagian besar ulama Madzahib berpendapat menghadiri khutbah ‘Ied sunnah, dan tidak sampai ke derajat wajib.
Ulama tersebut berargumen dengan hadits Abdullah bin As-Saa`ib radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat ‘Ied, lalu beliau bersabda, “Barang siapa yang menyenangi untuk berpaling, maka tidak mengapa baginya untuk berpaling. Dan barang siapa yang menyenangi untuk menyimak khutbah hndaknya dia menyimak.“
[Hadist ini diriwayatkan oleh An-Nasaa’i (3/1571) dan didalam Al-Kubra (1/1779), Abu Daud (1/1155), Ibnu Majah (1/1290), Al-Hakim (1/295), Ibnu Khuzaimah (2/1462) dan selain mereka].
Hadist ini yang shahih adalah hadits mursal. Sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan demikian juga Abu Zur’ah Ar-Razi merajihkan bahwa hadits diatas adalah hadits yang mursal. ( Al-‘Ilal 1/513 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 9/48–49).
Dan juga diriwayatkan dari mursal Atha’, semakna dengan hadits diatas.
Sementara itu, diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam Ahmad pendapat yang menyiratkan wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied. Bahkan Imam Malik melarang kaum wanita dan hamba sahaya untuk berpaling meninggalkan khutbah ‘Ied.
Diantara argumen mereka adalah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa khutbah ‘Ied adalah bagian dari syi’ar ‘Ied. Dan juga seiring dengan pendapat yang mewajibkan kaum muslimin bahkan kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘Ied, menyaksikan berkah dan da’wah kaum muslimin, dimana hal tersebut akan dijumpai disaat khutbah ‘Ied.
Wallahu a’lam.

- Disunnahkan duduk diam dan mendengarkan Khutbah ‘Ied

Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikan yang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
“ Menyaksikan dakwah kaum muslimin … “ dijelaskan oleh Ibnu Rajab yakni khutbah ‘Ied.
Hanya saja, sebagian ulama memandang tidak wajib untuk diam mendengarkan khutbah ‘Ied. Dan hanya sebatas sunnah. Karena jika dianggap wajib maka akan mengharuskan pula wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied, sementara sebagian besar ulama berpendapat tidak wajibnya, seperti yang telah dikemukakan diatas.

Faidah :
Hukum bersalaman dan tahni`a setelah shalat ‘Ied
Diriwayatkan dari atsar Abdullah bin Busr, Abdurrahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nadhir dan Khalid bin Mi’dan, “Bahwa diucapan kepada mereka ucapan: Taqabbalallahu minna wa minkum ( semoga Allah menerima amalan kami dan kalian), dan juga mereka mengucapkanya kepada selain mereka.“
(Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani didalam At-Targhib (1/381) dengan sanad yang tidak mengapa)
Berdasarkan atsar ini pula, pembolehan mengucapkan ucapan tersebut merupakan amalan yang sunnah.
Dan tidak mengapa mengucapkan ucapan selain ucapan diatas, disebabkan tidak adanya hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan hal tersebut, baik apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkanya atau melarangnya. Yang ada hanyalah amalan sejumlah sahabat radhiallahu ‘anhum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, didalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253) , membolehkannya dengan ucapan diatas dan juga yang semisalnya.
Adapun Imam Ahmad, driwayatkan bahwa beliau membolehkannya hanya saja beliau tidak memulainya. Namun jika ada yang memulai maka beliau menjawabnya. (Al-Furu’ 2/150).