Minggu, 05 Juli 2009

Penyimpangan dari Al-Aqidah Al-Islamiah

Ust. Abu Mu'awiyah

Referensi aqidah Islamiyah hanyalah terbatas pada apa yang dibawa oleh al-Kitab dan as-Sunnah. Karena tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui apa yang wajib untuk Allah dan apa yang harus disucikan dari-Nya kecuali Allah sendiri, dan tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui masalah itu setelah Allah kecuali Rasulullah .
Allah Ta'ala berfirman:

“Katakanlah, apakah kalian yang lebih tahu ataukah Allah?!” dan juga Allah berfirman tentang Nabi-Nya :

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

Oleh karena itulah, manhaj as-Salaf as-Saleh dari kalangan para sahabat dan yang mengikuti mereka adalah mengambil semua permasalahan aqidah dari kedua wahyu tersebut. Apa saja yang ditunjukkan oleh keduanya berupa hak Allah Ta'ala, maka mereka beriman dengannya, meyakininya dan mengamalkannya. Dan apa saja yang tidak ditunjukkan oleh keduanya maka mereka akan menolak hal tersebut dari Allah Ta'ala dan segera membuangnya jauh-jauh.

Karenanyalah tidak pernah didapati sedikit pun adanya perselisihan di antara mereka dalam masalah aqidah. Bahkan semua perkara aqidah yang keluar dari mulut-mulut mereka atau yang dinukil dari mereka, bagaikan keluar dari hati dan mulut yang sama, padahal zaman hidup mereka tidak sama dan tempat tinggal mereka juga berjauhan. Hal ini karena aqidah yang mereka yakini adalah aqidah yang turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh Allah Ta’ala telah mewajibkan atas diri-Nya -karena rahmat dan hikmahNya- untuk menjaga aqidah ini dari berbagai macam susupan dari luar yang bisa mengotori kemurniannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. An-Nisa` : 82)

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”. (QS. Al-Hijr : 9)

Maka apakah ada dalil yang lebih jelas menunjukkan akan kebenaran aqidah ini?! Imam Ismail bin Muhammad Al-Ashbahani berkata dalam kitab beliau Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah (2/239), "Dan termasuk perkara yang menunjukan bahwasanya ahlul hadits merekalah ahlul haq adalah sesungguhnya jika kamu menelaah seluruh kitab-kitab mereka yang terkarang, dari yang pertama sampai yang terakhir, yang terdahulu maupun yang belakangan, -bersamanaan dengan berbedanya negeri dan zaman hidup mereka, rumah-rumah mereka saling berjauhan dan setiap dari mereka menempati satu bagian dari bagian-bagian (bumi)- kamu pasti akan menemukan mereka dalam menjelaskan aqidah di atas cara dan metode yang sama, mereka berjalan di atas cara tersebut, tidak berpaling darinya dan tidak menyimpang di dalamnya. Ucapan mereka dalam hal tersebut sama, penukilan mereka sama, kamu tidak mendapati adanya perbedaan dan perselisihan di antara mereka pada satupun permasalahan walaupun sedikit. Bahkan seandainya kamu mengumpulkan seluruh yang keluar dari lisan-lisan mereka dan nukilan-nukilan mereka dari pendahulu mereka, maka kamu akan dapatkan seakan-akan (semua) hal tersebut datang dari satu hati, diucapkan oleh satu lisan. Maka apakah atas kebenaran itu ada dalil yang lebih jelas dari hal ini?”.

Demikianlah keadaan para ulama salaf dan yang mengikuti mereka dengan baik, mereka senantiasa sepakat dalam aqidah mereka dan dalam referensi aqidah mereka. Yang dengan hal itulah Allah Ta'ala mempersatukan kalimat mereka dan senantiasa memberikan taufik kepada mereka menuju aqidah yang benar, serta menyatukan manhaj dakwah mereka. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Akan tetapi, tatkala sebagian manusia ada yang membangun aqidah mereka di atas selain al-Kitab dan as-Sunnah, dari ilmu-ilmu kalam dan kaidah-kaidah manthiq yang mereka warisi dari filsafat Yunani, maka lahirlah satu per satu penyimpangan dan perpecahan dalam aqidah, yang mana hal itu akhirnya mengakibatkan pada pecahnya persatuan dan kesatuan kaum muslimin. Wallahul Musta’an.

A. Akibat Jelek dari Aqidah yang Menyimpang.

Menyimpang dari aqidah yang benar adalah sebab terbesar dari kebinasaan dan kehancuran alam semesta. Allah Ta'ala berfirman:
ظهر الفسادُ في البرِّ والبحر بما كسبت أيدي الناس
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa maksiat -dan sebesar-besar maksiat adalah aqidah yang rusak- mempunyai banyak akibat jelek yang akan menimpa pelaku dan keluarganya, atau menimpa masyarakat dan umatnya, atau menimpa bumi, langit, lautan, hewan-hewan dan selainnya.

Allah Ta'ala juga berfirman:
لو يؤاخذ الله الناس بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun.” (QS. Fathir: 45)
Ibnu Mas’ud berkata, “Yang Allah maksud adalah semua hewan yang melata.” Lihat Tafsir Al-Qurthubi (7/2/361)
Karenanyalah, kiamat -yang menjadi masa puncak dari munculnya semua bentuk kehancuran dan kebinasaan- tidak akan tegak sampai aqidah yang benar ini betul-betul telah sirna dari muka bumi ini. Nabi  bersabda:
لا تقوم الساعة حتى لا يقال في الأرض الله الله
“Tidak akan tegak hari kiamat sampai di bumi tidak ada lagi yang mengatakan: Allah, Allah.” (HR. Muslim no. 148 dari Anas bin Malik)

Dan tidaklah Allah menyiksa sebuah kaum -yang tadinya beriman- kecuali karena rusaknya aqidah mereka. Allah Ta'ala berfirman:
وضرب الله مثلا قرية آمنة مطمئنة يأتيها رزقها رغدا من كل مكان فكفرت بأنعم الله فأذاقها الله لباس الجوع والخوف بما كانوا يصنعون
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 112)
Masyarakat yang tidak dibimbing oleh aqidah yang benar adalah kaum yang berakhlak binatang, yang telah kehilangan semua sarana dan prasarana yang bisa menunjang kelangsungan hidupnya, walaupun lahiriahnya mereka bergelimang dengan sarana dan prasarana kehidupan yang bersifat materi. Hal itu karena sarana dan prasarana yang bersifat materi ini butuh untuk dimanfaatkan dan diarahkan kepada hal yang bermanfaat. Sementara tidak ada satu pun perkara yang bisa mengarahkannya kepada hal yang bermanfaat kecuali aqidah yang benar. Karenanyalah Allah Ta'ala menggandengkan kedua perkara ini dalam perintahkan kepada para rasul:

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun: 51)

Maka kekuatan aqidah tidak boleh terlepas dari kekuatan materi. Kapan aqidah yang benar tidak mengiringi langkah kekuatan materi maka kekuatan materi tersebut hanya akan menjadi wasilah menuju penghancuran dan pengrusakan pribadi, masyarakat bahkan alam semesta, sebagaimana yang telah banyak disaksikan di zaman ini pada negeri-negeri kafir yang hanya menguasai kekuatan materi tapi tidak mempunyai aqidah yang benar.
Di antara akibat jelek dari aqidah yang rusak adalah terjadinya banyak goncangan dan gempa yang menghancurkan negeri-negeri, angin kencang lagi banjir bandang yang menenggelamkan para makhluk dan selainnya dari bencana-bencana besar, sebagai hukuman dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:
فكلا أخذنا بذنبه فمنهم من أرسلنا عليه حاصبا ومنهم من أخذته الصيحة ومنهم من خسفنا بهم الأرض ومنهم من أغرقنا
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan.” (QS. Al-Ankabut: 40)

B. Sebab-Sebab Penyimpangan dari Al-Aqidah Al-Islamiah.

1. Mengambil aqidah dari rujukan yang tidak benar, sebagaimana yang telah berlalu di awal pembahasan. Dan cukuplah menjadi dalil akan rusaknya semua referensi aqidah selain al-Kitab dan as-Sunnah adalah: Bahwa barangsiapa yang hanya mengambil aqidahnya dari al-Kitab dan meninggalkan as-Sunnah, maupun sebaliknya, maka Rasulullah  telah menjanjikan baginya kesesatan. Beliau  bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي
”Sesungguhnya saya telah tinggalkan untuk kalian suatu perkara (jika kalian berpegang teguh dengannya), niscaya kalian tidak akan sesat selamanya; yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”. (HR. Al-Hakim no. 319, Al-Baihaqi (10/114), dan Ad-Daraquthni no. 149 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 186)

2.Jahil terhadap aqidah yang benar. Hal ini dikarenakan mereka tidak mempelajarinya dan tidak pula mengajarkannya atau karena minimnya perhatian dan minat mereka untuk mempelajari dan menyebarkannya. Ini mengakibatkan lahirnya satu generasi atau lebih yang tidak mengetahui aqidah yang benar tersebut dan juga tidak mengetahui apa saja yang bertentangan dan bisa membatalkannnya. Sehingga mereka pun akan meyakini kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththab :
إنما تنقض عرى الإسلام عروة عروة, إذا نشأ في الإسلام من لا يعرف الجاهلية
“Tali agama islam tidaklah terlepas seutas demi seutas, kecuali ketika lahir di dalam islam, orang yang tidak mengetahui (aqidah dan amalan) jahiliah. ”
Ambillah pelajaran dari kisah terjadinya kesyirikan pertama kali di muka bumi ini, yaitu pada kaum Nuh. Dimana pada awalnya mereka membuat patung-patung guru-guru hanya sebagai penyemangat bagi mereka dalam ibadah dan untuk mengenang guru-guru mereka. Maka perhatikanlah, bagaimana bisa beberapa generasi kemudian bisa menyembah patung tersebut? Hal itu tidak lain karena ada sebuah generasi di antara mereka yang tidak mengenal aqidah yang benar, yang pada generasi inilah setan masuk membisikkan kesyirikan penyembahan kepada patung-patung tersebut, lalu mereka mewariskannya kepada anak cucu mereka .

3.Fanatik kepada apa yang telah dianut dan diamalkan turun-temurun oleh nenek moyang mereka, walaupun itu adalah suatu kebatilan. Allah Ta'ala berfirman tentang kaum musyrikin:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)
Bahkan ini merupakan ciri khas dari setiap kaum yang rusak aqidahnya, yang karenanya Allah menyiksa mereka. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka". (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Az-Zukhruf: 23-25)

4.Taklid buta dalam permasalahan aqidah, dimana dia mengambil pendapat-pendapat manusia dalam aqidah tanpa melihat landasan dalilnya dan tanpa mencari tahu sejauh mana kebenarannya. Sebagaimana yang terjadi di zaman ini, dimana sebagian kaum muslimin ada yang ‘ikut-ikutan’ mempercayai teori Darwin yang jelas-jelas menolak adanya pencipta. Dan banyak di antara mereka yang mengikuti aqidah-aqidah Jahmiah, Muktazilah, Asy’ariah, Shufiah dan selain mereka, yang semua aqidah mereka dibangun di atas ilmu kalam, manthiq, filsafat, mimpi-mimpi, dan ucapan-ucapan manusia yang tidak ma’shum.

5.Ghuluw (berlebihan dalam mengkultuskan) para wali dan orang-orang saleh. Tatkala mereka diyakini bisa mendatangkan manfaat, bisa menolak bahaya dan segala sesuatu yang tidak ada yang bisa melakukannya kecuali Allah. Karenanya mereka dijadikan sebagai perantara antara hamba dengan Allah dalam berdoa, bertawassul dan meminta syafaat. Sebagaimana yang disaksikan pada para pengagung kubur di zaman ini.
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Nabi mereka  telah mengancam di akhir hidup beliau:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka telah menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid”. (HR. Al-Bukhari no. 425 dan Muslim no. 529, 531 dari Aisyah -radhiyallahu anha- dan semisal dengannya hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhari no. 426 dan Muslim no. 530)

Dan tidakkah mereka sadar, bahwa perbuatan inilah yang akan menyebabkan mereka dibinasakan oleh Allah Ta'ala. Nabi  bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Waspada kalian dari ghuluw (bersikap berlebihan) dalam beragama karena tidak ada yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian kecuali karena ghuluw dalam beragama”. (HR. An-Nasa`i no. 3057 dan Ibnu Majah no. 3029 dari Ibnu Abbas  dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1283)

6.Lalai dari mentadabburi ayat-ayat Allah yang kauni dan ayat-ayat Allah yang sam’i/terdengar (al-Kitab dan as-Sunnah), hingga mereka mengira bahwa apa yang telah mereka hasilkan, murni merupakan hasil perbuatan dan kerja keras manusia. Hal itu lalu membuat mereka mengagungkan manusia dan menyandarkan semua nikmat yang mereka peroleh kepada usaha dan perbuatan mereka semata. Sebagaimana yang dikatakan oleh Qarun,
“Saya tidaklah diberikan semua harta ini kecuali karena ilmu saya.” (QS. Al-Qashash: 78)
Padahal, seandainya mereka mau berfikir dan mentadabburi kehebatan dan keagungan ayat-ayat Allah, niscaya mereka akan meyakini bahwa hanya Allah yang memunculkan semua yang ada, Dia menciptakan manfaat yang berbeda-beda pada setiap benda, Dial pulalah yang menghidupkan manusia lalu menganugerahinya dengan kemampuan untuk mengeluarkan manfaat dari benda-benda tersebut.
Allah Ta'ala berfirman, “Dan Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaffat: 96)
Dan Allah Ta'ala berfirman:

“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 32-34)

7.Kosongnya rumah dari pendidikan yang islami, padahal rumah merupakan sekolah pertama bagi setiap anak dalam mempelajari aqidah yang benar. Apalagi Nabi  telah bersabda:

“Setiap anak yang dilahirkan, dilahirkan di atas fitrah (islam). Kedua ibu bapaknyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi atau Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1292,1293,1319,4497 dan Muslim no. 2658 dari Abu Hurairah)
Maka kedua orang tua mempunyai peran yang besar dalam mengarahkan dan menuntun anaknya untuk mengenal dan mengamalkan aqidah yang benar. Dan kerusakan aqidah pertama kali merusak fitrah seorang anak melalui pendidikan kedua orang tuanya, kalau keduanya adalah orang yang lebih dahulu menyimpang dari kebenaran.

8.Rusaknya berbagai media informasi, baik media cetak maupun elektronik dengan semua bentuknya, dimana mereka turut berperan dalam menyebarkan berbagai kejelekan dan aqidah yang rusak di tengah-tengah kaum muslimin. Di TV dipertontonkan acara-acara yang kesyirikan dengan semua bentuknya, di radio diperdengarkan doa-doa kepada selain Allah dan shalawat-shalawat yang mengandung kesyirikan, di koran dan semacamnya terdapat pengumuman dan ajakan untuk mendatangi penyihiri dan dukun, bahkan kesyirikan itu bisa masuk ke setiap orang yang menggunakan HP, berupa kiriman sms yang berisi ramalan nasib dan sebagainya. Innalillahi wainna ilaihi rajiun.

C. Solusi Dari Penyimpangan Aqidah

1.Kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah dalam menimba aqidah yang benar dari keduanya, sebagaimana para ulama salaf mengambil aqidah mereka dari keduanya. Karena tidak akan membaik nasib umat ini kecuali dengan apa yang menjadikan awal umat ini menjadi umat yang terbaik.
Di samping itu, kita juga harus mengetahui akidah-akidah dari setiap sekte yang menyimpang, serta mengetahui syubhat-syubhat mereka agar semuanya bisa dipatahkan dan umat bisa diperingatkan dari kesesatan mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
عَـــــرَفْتُ الشَّــــــرَّ لاَ لـِلشـــَّــ رِّ وَلَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشّـ َ رِّ وَقَـــعَ فِيْـــهِ
“Saya mengetahui kejelekan bukan untuk kejelekan akan tetapi untuk menghindar darinya, karena barangsiapa yang tidak mengetahui kebaikan dari kejelekan maka dia akan terjatuh ke dalamnya (kejelekan tersebut)”.

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan dalam firmannya :
وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat (Al Qur'an) dan supaya jelas jalannya orang-orang yang berdosa”. (QS. Al-An’am : 55)
As-Sa’di -rahimahullah- berkata dalam Tafsirnya, ““Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat (Al Qur'an)” Yakni kami menjelaskan, menerangkan dan membedakan antara jalan hidayah dan kesesatan dan (antara jalan) penyelewengan dan petunjuk. Agar orang-orang yang diberi hidayah bisa mendapatkan hidayah dengannya dan agar semakin nampak kebenaran yang harus untuk diikuti. “Dan supaya jelas jalannya orang-orang yang berdosa” yang mengantarkan kepada kemurkaan Allah dan siksaan-Nya. Karena, kalau jalannya orang-orang yang mujrim telah nampak dan jelas, maka akan mudah untuk menghindar dan menjauh darinya. Berbeda kalau jalan mereka masih kabur dan kurang jelas, karena kalau demikian keadaannya maka maksud yang mulia ini (menjauh darinya dan agar jelas jalannya orang-orang yang sholeh) tidak bisa terwujud”.

2.Mempunyai perhatian dan minat yang besar dalam mempelajari dan mengajarkan aqidah yang benar pada setiap tingkatan pendidikan. Memberikan porsi yang cukup dalam pengajarannya dan memperketat ujian dalam hal ini guna memantapkan hasil aqidah tersebut pada setiap orang yang mempelajarinya.

3.Hanya mengajarkan kitab-kitab aqidah salaf ahlussunnah wal jamaah, dan menjauhi kitab-kitab yang ditulis oleh mereka yang terpengaruh oleh aqidah sekte-sekte yang menyimpang, seperti Shufiah, Muktazilah, Asy’ariyah dan selainnya.

4.Tegaknya setiap dai untuk memperingatkan, memperbaiki dan meluruskan semua bentuk aqidah rusak yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin, serta membantah semua kesesatan orang-orang yang menyimpang. Hal itu karena di antara faktor yang membantu tersebarnya aqidah yang rusak adalah di satu sisi tatkala banyaknya orang jahil atau sesat yang berbicara dan mengajarkan aqidah yang menyimpang, di sisi lain orang yang mengetahui aqidah yang benar tidak mau menyebarkan dan diam terhadap berbagai aqidah rusak yang dia temui. Sehingga yang bodoh tidak akan pernah mengetahui kebenaran dan yang sesat semakin merajalela dengan kesesatannya.

Wallahu Ta'ala A’la wa A’lam. Washallallahu ala Nabiyyina Muhammad, wa ala alihi wa shahbihi wasallam.

[Rujukan utama: Aqidah At-Tauhid hal. 11-18 karya Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan -hafizhahullah-]