Sabtu, 04 Juli 2009

Celaan Al-Qur`an dan As-Sunnah akan Ikhtilaf dan Tafarruq

Telah diketahui kewajiban untuk kembali merujuk kepada Al-Qur`an Al-Karim, As-Sunnah dan Ijma'/konsesnsus kaum muslimin, perlu juga diketahui bahwa salah satu dari landasan Ushul para Ulama Ahlu As-Sunnah wal-Jama'ah adalah menegakkan Sunnah dan Atsar dan senantiasa mengajak kepada al-jama'ah/persatuan Ummat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t , "Al-Bid'ah senantiasa diiringi dengan perpecahan, sebagaimana halnya Sunnah diiringi dengan Al Jama'ah / persatuan, hingga dinamakanlah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah seperti halnya dikatakan: Ahlul Bid'ah dan furqah – perpecahan –. "
Demikianlah syariat Islam yang lurus ini …. Syariat yang mengajak kepada kebersihan hati dan impelementasinya pada sikap yang zhahir, baik dalam ibadah kepada Allah  ataupun dalam interaksi antara sesama Muslim lainnya.
Dan Allah  tidaklah sama sekali mengajak hamba-Nya untuk bercerai berai satu sama lainnya, saling bermusuhan, dan berselisih … namun diatara perintah-Nya yang wajib untuk diikuti dan ditaati adalah perintah untuk bersatu diatas satu kalimat, menyatukan hati dan jasad, tidak berpecah belah dan bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.

Firman Allah ,
ﭽ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﭼ
"Dan sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan menjadi berkelompok-kelompok." (Al-An'am: 159 )
Berkata Al-Baghawi t, "Mereka adalah ahlul bid'ah wal Ahwa'."
Berkata Ibnul Mubarak t, “Ahlus Sunnah tidaklah terdapat pada mereka perselisihan."
Dan firman Allah ,
ﭽ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﭼ
"Engkau menyangka mereka bersatu sedangkan hati-hati mereka bercerai berai, ini dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak berakal." ( Al Hasyr : 14 ) "

Firman Allah ,
ﭽ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘﭙ ﭚﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭼ
"Dan janganlah kalian saling berselisih hingga kalian bercerai berai dan lenyap kewibawaan kalian." (Al-Anfal: 46 )

Firman Allah ,
ﭽ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑﮒ ﭼ
"Allah ta'ala telah menurunkan syariat kepada kalian dari Agama ini sebagaimana yang telah diwasiatkan dengannya Nuh –alaihis salam- dan yang telah Kami wahyukan kepada engkau –Muhammad- dan apa-apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan 'Isa –'alaihimus salam- agar kalian menegakkan Agama ini dan janganlah kalian berpecah belah." ( Asy-Syura : 13 )

Dan firman Allah :
ﭽ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭼ
"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketaqwaan dan janganlah kalian meninggal terkecuali kalian dalam keadaan berislam. Dan berpeganglah dengan tali ikatan Allah dan janganlah kalian berpecah belah." ( Ali Imran : 102 – 103 )

Dan dari hadist Abu Hurairah  , Nabi  bersabda, "Sesungguhnya Allah  telah ridha kepada kalian atas tiga perkara : Kalian beribadah kepada-Nya semata dan tidak berbuat kesyirikan, kalian semua berpegang erat dengan tali ikatan Allah dan tidak berpecah belah, dan kalian menasihati bagi siapa yang Allah telah memberikan wilayah akan perkara kalian "
( Diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 1715 dan Imam Malik dalam Al-Muwaththa' 2 / 990 )

- Antara Khilaf Tanawwu' (pluralistis) dan Khilaf Tadhaadh(kontradiktif)

Khilaf yang selama ini dikenal oleh para Ulama Islam pada dasarnya terbagi atas dua bagian, yakni :-
1. Ikhtilaf yang tercela pada kedua belah pihak yang berselisih paham.
2. Ikhtilaf yang mana syara' memberikan pujian pada salah satu dari kedua belah pihak yang berselisih tersebut.

Dimana kedua bagian itu telah ditunjukkan dalam Al-Qur`an , As-Sunnah dan Ijma' serta kaidah-kaidah yang telah diamalkan oleh kalangan As-Salaf Ash-Shalih
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam memaparkan permasalahan ini, -
"Dan adapun ikhtilaf yang disebutkan oleh Allah  dalam Al-Qur`an Al-Karim ada dua bagian : -
Pertama : Ikhtilaf yang mana kedua pihak semuanya dicela, sebagaimana dalam firman Allah ,
ﭽ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭼ
"Dan mereka akan senantia berselisih. Terkecuali yang Rabb-mu memberikan limpahan rahmat-Nya."

Dan Allah ta'ala telah mengecualikan kaum yang mendapatkan curahan rahmat-Nya dari ikhtilaf tersebut, demikian juga dalam firman Allah ,
ﭽ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﭼ
"Dan demikian itu dikarenakan Allah telah menurunkan Al-Qur`an padanya terdapat Al-Haq, dan sesungguhnya mereka yang berselisih terhadap Al-Qur`an benar-benar berada dalam penyimpangan yang jauh."

Dan juga firman Allah ,
ﭽ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊﮋ ﭼ
"Dan tidaklah mereka yang telah diturunkan kepada mereka Al-Kitab berselisih terkecuali setelah datang kepada mereka ilmu pengetahuan , dikarenakan kedengkian yang ada pada mereka."

Dan firman Allah ,
ﭽ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﭼ
"Dan janganlah kalian sebagaimana halnya mereka yang telah tercerai berai dan berselisih setelah datang kepada mereka penjelasan yang nyata."

Dan firman Allah ,
ﭽ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭼ
“Dan mereka yang mencerai – beraikan agama mereka dan menjadi berkelompok – kelompok.“ (Al-An’am : 115)

Dan demikian juga Allah  telah menyifati kaum Nashara dalam firman-Nya,
ﭽ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭼ
"Maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang senantiasa mereka kerjakan."

Dan Allah  telah menyifati perselisihan diantara kaum Yahudi dalam firman-Nya,
ﭽ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ ﭼ
"Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka nyalakan api peperangan, Allah memadamkannya."

Dan firman Allah ,
ﭽ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﭼ
"Kemudian mereka –para pengikut Rasul itu – menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan segala yang ada pada mereka masing-masing."
Dan demikian halnya Nabi , sewaktu beliau menyifatkan bahwa ummat ini akan tercerai berai menjadi tujuh puluh tiga golongan, beliau  bersabda,
كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَ هِيَ الجَمَاعَةُ
"Kesemuanya berada dalam api neraka terkecuali hanya satu firqah , yakni Al Jama'ah."
Dan pada riwayat lainnya,
مَنْ كَانَ عَلىَ مِثْلِ مَا أَناَ عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحاَبِيْ
"Yakni yang berada diatas amalan semisal amalan – ku pada waktu ini dan para sahabatku."
Maka beliau menjelaskan bahwa kesemua yang berselisih adalah kalangan yang celaka pada dua sisi, kecuali satu firqah, mereka inilah Ahlus Sunnah wal-Jama'ah.

Dan ikhtilaf yang tercela ini pada dua sisinya, bisa jadi disebabkan karena:

- Terkadang niat yang jelek, dikarenakan adanya dalam tiap diri seseorang perasaan dengki dan hasad dan keinginan untuk menyombongkan diri di muka bumi, dan hal-hal lainnya. Maka dengan begitu ia menjadi senang mencela pendapat ataukah perbuatan selainnya, atau menjatuhkannya untuk mengedapankan dirinya dari orang tadi, ataukah menyenangi pendapat yang satu nasab atau satu mazhab dengannya, atau karena satu negeri atau karena persahabatan, dan karena perkara lainnya. Dimana dalam mengangkat pendapat ia , ia berharap memperoleh kemuliaan ataukah kedudukan, dan seperti ini alangkah banyaknya dijumpai pada anak keturunan Adam, dan ini adalah suatu kezhaliman.
- Dan terkadang juga sebabnya dikarenakan ketidak tahuan setiap pihak yang berselisih akan hakikat sebenarnya yang mereka perselisihkan , ataukah ketidak tahuan dari dalil pegangan yang dijadikan landasan salah seorang dari kedua belah pihak, ataukah salah satunya tidak mengetahui kebenaran yang ada pada pihak lainnya, walaupun ia mengetahui bahwa dirinya berada diatas Al-haq baik dalam tinjauan hukum ataukah pegangan hukum itu.
Dan ketahuilah bahwa kejahilan dan perbuatan zhalim inilah asal muasal setiap keburukan, sebagaimana firman Allah ,
ﭽ ﯫ ﯬﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﭼ
"Dan kaum manusia pun bersedia memikul amanah itu, sungguhlah mereka itu kaum yang zhalim lagi bodoh." ( Al-Ahzab : 72 )

Adapun ragam ikhtilaf ini , pada dasarnya terbagi pada dua bagian,
- Iktilaf Tanawwu' – اِخْتِلاَفُ التَّنَوُّعِ -
- Ikhtilaf Tadhadh - اِخْتِلاَفُ التَّضَادِ -

Ikhtilaf Tanawwu' (pluralistis) – التَّنَوُّعِ - ,
Ikhtilah ini terdiri pada beberapa jenis :

- Dimana masing-masing dari dua pendapat atau dua amalan yang diperselisihkan adalah benar lagi disyariatkan keduanya, sebagaimana halnya pada ragam bacaan Al-Qur`an yang para sahabat berbeda pendapat pada masalah itu. Hingga Rasulullah  meleraikan mereka dari perbedaan pendapat itu, dan bersabda,
كِلاَكُماَ مُحْسِنٌ
"Kalian berdua benar adanya"
Dan serupa dengan ini, perbedaan pada bentuk-bentuk sifat adzan dan iqamah, do'a al-istiftah, bacaan at-tasyahhud, Shalat al-khauf, jumlah takbir pada shalat ied dan takbir pada shalat jenazah, dan selainnya yang telah ada tuntunan syariat pada kesemuanya.
Walaupun dapat dikatakan, bahwa sebagian bentuk tersebut ada yang yang lebih utama.

Namun selanjutnya, kita dapati banyak dari ummat islam ini dalam ikhtilaf seperti itu, menimbulkan pertentangan masing-masing kelompok diantara mereka, dalam masalah menggenapkan bacaan Iqamah ataukah mengganjilkanya dan semisalnya. Dan ini adalah hal yang jelas diharamkan. Dan yang tidak mencapai derajat ini, kita dapati sebagian besar dari mereka dalam dirinya diliputi hawa nafsu dalam mengikuti salah satu dari bentuk-bentuk pendapat ini dan penolakannya terhadap pendapat yang lainnya ataukah sampai melarangnya yang sama sekali tidak termasuk dari perkara yang dilarang oleh Rasulullah .

- Ikhtilaf yang mana setiap dari kedua pendapat itu mencakup makna pendapat yang satunya. Hanya saja diungkapkan dengan ta'bir yang berbeda. Sebagaimana sebagian besar manusia berselisih mengenai lafadz-lafadz al-hudud –hukum pidana– , konteks setiap dalil pegangan, ungkapan dari setiap penamaan, penggolongan jenis-jenis hukum dan lain sebagainya. Lalu karena kebodohan ataukah kezhaliman mengusungnya untuk memberikan pujian pada salah satu dari dua pendapat itu dan mencela yang lainnya.

- Ikhtilaf yang mana didapati adanya dua kandungan makna yang berbeda, hanya saja tidak saling bertentangan. Yakni pendapat ini pendapat yang benar dan pandapat satunya adalah pendapat yang benar, walaupun makna salah satu dari kedua pendapat itu bukanlah sebagaimana makna pendapat yang lainnya. Dan ini banyak terjadi pada permasalahan-permasalahan yang menjadi polemik serius.

- Ikhtilaf yang terjadi pada permasalahan, dimana kedua tuntunan hukumnya adalah perkara yang disyariatkan, dan seseorang atau satu kaum mengambil tuntunan yang ini sedangkan yang lainnya memilih tuntuan yang lainnya lagi, dan keduanya perkara yang baik dalam tinjauan agama.
Lantas kebodohan atau kezhaliman menjerumuskan untuk mencela salah satu dari keduanya, atau mengutamakannya tanpa ada niatan yang baik, ataukah tanpa dasar keilmuan atau tanpa adanya niat baik dan keilmuan yang menyertainya.

Adapun Ikhtilaf Tadhadh – التَّضَاد -

Yakni berupa dua pendapat yang saling bertentangan (konradikitif), baik itu dalam masalah ushul (definitive) atau dalam masalah furu'. Dan ini menurut Jumhur ulama' yang berpendapat bahwa : " Yang benar hanyalah satu ", adapun yang berpendapat : " Bahwa setiap mujtahid benar " , menurut mereka ikhtilaf ini adalah bagian dari ikhtilaf tanawwu', bukanlah ikhtilaf tadhadh. Dan penyebutan ini dalam Khilaf Tadhadh lebih berat –konskuensinya – dikarenakan kedua pendapat itu saling bertentangan.

Akan tetapi kita dapati kebanyakan dari mereka suatu pendapat yang bathil jika dipandang dari yang menyelisihinya, ada suatu kebenaran ataukah suatu dalil yang menunjukkan adanya kebenaran dalamnya, akhirnya dibantahlah kebenaran pada asalnya ini secara keseluruhan, hingga akhirnya kebenaran ini menjadi tertolak pada sebagian pendapat mereka, sebagaimana halnya tertolak dari asalnya, sebagaimana yang kalian lihat pada sebagian besar Ahlus Sunnah dalam masalah Qadar, Shifat Allah dan tentang shahabat dan selainnya …

Adapun Ahlul Bid'ah – maka perkara mereka sangatlah jelas – sebagaimana disaksikan pada kebanyakan fuqaha', ataukah kalangan mutaakhkhirin (ulama kontemporer) dalam masalah-masalah fiqh, dan engkau lihat juga perselisihan yang banyak antara mutafaqqihah dan sebagian penganut sekte tasawuf dan antara firqah-firqah Sufiyah, dan contohnya sangatlah banyak.

Dan barang siapa yang Allah telah anugrahkan baginya Hidayah dan Nur –cahaya - , ia akan melihat dari ini semua apa yang nampak baginya sebagai suatu manfaat yang datang dari Al-Kitab dan As-Sunnah , yakni berupa larangan dari ini semua dan semisalnya, walaupun hati yang bersih spontan akan meng-ingkari kesemuanya ini, akan tetapi inilah cahaya yang terang benderang dari sekian cahaya…
( Lihat pada Iqtidha' Shirathal Mustaqim – Ibnu Taimiyah 1 / 122 – 135 dengan beberapa pengurangan )

Pada bahagian lain beliau t berbicara dalam masalah ini, beliau t katakan, "Bahwa ikhtilaf tanawwu' kembali kepada dua permasalahan : -

Pertama: Masing-masing dari Ulama Salaf, memberikan definisi dengan penggunaan ibarat yang berbeda dengan ibarat yang lain, yang menunjukkan suatu makna dari sebuah penamaan yang berbeda dengan lainnya, sedangkan inisialnya sama. Semisal dalam menafsirkan kalimat "Shirathal Mustaqiim," sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur`an atau ittiba'/mengikuti Al-Qur`an, yang lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah Islam, yang lain mengatakan As-Sunnah dan al-jama'ah, ada pula yang mengatakan suatu bentuk Ubudiyah, atau mutaba'ah/keikut sertaan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, beramal dengan ketaatan kepada Allah … dan beberapa ungkapan penafsiran lainnya.

Kedua: Masing-masing dari ulama As-Salaf menyebutkan generalisasi penamaan pada beberapa bagiannya, sebagai suatu contoh konkrit dan indikasi deskriptif bagi yang mendengarkan terhadap bagian itu … bukannya sebagai batasan yang sesuai dengan yang hendak ditinjau baik secara umum atau khusus. "

Beliau t mengatakan, "Kebanyakan bentuk ikhtilaf inilah yang didapati dari para Ahli Tafsir Salaf baik itu shahabat ataukah tabi'in. "
Adapun ikhtilaf yang kembalinya pada bagian kedua yakni ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) , tidak akan dijumpai pada ulama As-Salaf baik dalam disiplin ilmu Tafsir. Ataukah eksistensi ikhtilaf ini dalam Ahkam (perundang-undangan Islam) sangatlah sedikit dan ini tidak berkenaan dengan ushul agama (masalah yang fundamental) yang sifatnya umum yang masyhur dalam Diin, melainkan hanya pada beberapa masalah-masalah yang pelik yang didapat dijangkau dengan ijtihad dan nazhar – sudut pandang-… "
( Lihat pada Muqaddimah Tafsir hal 10 dan hal. 17 – 18 dan Majmu' Al-Fatawa 13 / 381 – 382 )

Dan sebuah faidah yang berharga, dari perkataan Al-Imam Al-Mujtahid Al-Muththalibi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i t, tentang ikhtilaf yang muharram –yang diharamkan – dan ikhtilaf yang ma'dzur –yang diberikan padanya udzur - … Dalam kitab beliau " Ar-Risalah " no. 1671 – 1680, Berkata Ar Rabi' bin Sulaiman kepada Al-Imam Asy Syafi'i, "Sesungguhnyalah saya telah mendapati kalangan Ulama baik yang terdahulu maupun yang datang belakangan berbeda pendapat satu sama lainnya dalam sejumlah perkara, apakah yang demikian ini diperkenankan bagi mereka ?"
Beliau t menjawab, "Ikhtilaf terbagi pada dua bagian, yang pertama adalah ikhtilaf yang muharram/diharamkan, sedangkan bagian yang lainnya tidaklah saya katakan seperti itu."
Berkata Ar Rabi', "Lantas bagaimanakah ikhtilaf yang muharram itu ? "
Beliau t menjawab, "Yaitu ikhtilaf pada masalah yang mana Allah  telah menetapkan adanya hujjah –pegangan- didalam Al-Qur`an ataukah melalui lisan Nabi-Nya, dengan konteks yang sangat jelas, maka tidak diperbolehkan adanya ikhtilaf dalam masalah itu bagi yang mengetahuinya.

Adapun perkara yang ada kemungkinan penafsiran lain dan dijangkau dengan qiyas, dan yang mana penafsiran atau pendekatan silogisme (qiyas) tersebut terarah pada suatu makna yang tersirat dari suatu hadist ataukah suatu qiyas, walaupun selainnya menyelisihinya dalam perkara tersebut.
Namun bukan berarti bahwa saya mengatakan bahwa ikhtilaf seperti ini sesempit jangkauan ikhtilaf pada masalah-masalah yang telah ada keterangan syara'nya."
Berkata Ar-Rabi', "Apakah ada dalil yang menjelaskan perbedaan yang engkau sebutkan antara kedua bentuk ikhtilaf ini ? "
Beliau t menjawab,
"Allah berfirman, mencela setiap bentuk perpecahan, -
ﭽ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﭼ
"Dan tidaklah mereka kaum yang telah diturunkan bagi mereka kitab suci berselisih melainkan setelah datangnya penjelasan bagi mereka." ( Al-Bayyinah : 4 )

Dan Allah berfirman,
ﭽ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﭼ
"Dan janganlah kalian serupa dengan mereka yang telah terpecah belah dan saling berselisih setelah datang penjelasan kepada mereka." ( Ali Imran : 105 )

Dimana Allah  mencela segala bentuk ikhtilaf yang padanya dijumpai penjelasan. Adapun ikhtilaf yang berujung pada ijtihad, maka saya telah memisalkannya kepada engkau pada masalah kiblat dan masalah asy syahadah dan selainnya … "
Saya katakan: Ini adalah faidah yang sangat berharga dan akan melapangkan pandangan setiap muslim yang menjumpai masalah-masalah khilafiyah. Bahwa ikhtilaf yang tercela adalah ikhtilaf pada masalah yang dalil-dalil syara' telah datang dengan hukum yang sangat jelas.

Terkait itu Asy-Syathibi menyatakan, “Perbedaan pendapat (al-khilaf) yang negatif pada hakikatnya adalah perbedaan pendapat yang tumbuh dari hawa nafsu yang menyesatkan, bukan dari niatan suci mencari maksud dan tujuan syâri’ (Allah) seraya mengikuti dalil-dalil, baik secara global ataupun terperinci. Perbedaan pendapat model ini pasti lahir dari para pengikut hawa nafsu. Ketika merasuk, hawa nafsu akan cenderung mengarah ke hal-hal mutasyabih (rancu), rakus akan kemenangan dan ketenaran, selain juga mengarah pada perpecahan, permusuhan dan kemarahan; mengingat bahwa antar-hawa nafsu takkan pernah terjadi kesepakatan dan pasti memiliki kepentingan berbeda”.

Termasuk ikhtilâf negatif adalah perbedaan pendapat dalam masalah yang kontraproduktif. Rasulullah  telah memperingatkan bahaya dari ikhtilâf model ini, sebagaimana tertera dalam hadits di atas. Dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, “…Rasulullah  pun keluar menemui sahabat yang sedang berdebat tentang qadar. Muka beliau merah karena marah, seakan biji delima ditaburkan di wajahnya, lalu berkata, ‘Apakah kalian diperintah untuk ini? Apakah kalian diciptakan untuk ini?! Mempertentangkan sebagian Al-Qur`an dengan sebagian yang lain. Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa’. Abdullah ibn ‘Amr berkata, ‘Tidak pernah terbersit di hatiku untuk tidak hadir dalam satu majlis Rasulullah pun sebgaimana keinginanku untuk tidak hadir dalam masjlis tersebut’.”

Masalah-masalah yang kontraproduktif seharusnya ditanggalkan dan tidak diperdebatkan. Dan, ini termasuk kaedah baku dalam etika ikhtilâf. Apa yang oleh Al-Qur`an dan sunnah ditekankan sebagai sesuatu yang penting, perhatian seorang Muslim atasnya jelas lebih utama dan lebih bermanfaat. Adapun apa yang didiamkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih baik.
Adapun ikhtilaf selain itu, beliau tidaklah mengatakan bahwa suatu yang diperbolehkan, namun bukan pula suatu yang mengekang ijtihad seorang mujtahid dalam mengemukakan pendapatnya selama tetap bermuara pada dalil-dalil dan keterangan syara'. Wallahu A'lam