Kamis, 08 Januari 2009

Fiqh an-Nisa` - asy Syaikh al-Albani

Bab Haid, Nifas dan Istihadhah
(Bagian Pertama)

Berkata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah :
Haid adalah darah hitam kental, memiliki bau khas yang tidak enak. Jika seorang wanita mendapatinya pada dirinya dia menjadi wanita yang haid.
Dari Fatimah binti Abi Hubaisy, ketika ia sedang haid, Nabi  bersabda kepadanya :
إذا كان دم الحيضة فإنه دم أسود يعرف فإذا كان ذلك فأمسكي عن الصلاة فإذا كان الآخر فتوضئي وصلي فإنها هو عرق
“Jika itu adalah darah haid, maka darahnya hitam sudah dikenal. Jika benar, maka janganlah engkau shalat. Adapun jika darahnya tidak seperti itu, maka berwudhu dan shalatlah, karena itu adalah darah yang berasal dari urat / pembuluh darah”.
)HR. Abu Dawud:45 &50, an-Nasa`i:66, ad-Daraquthni:76, Muslim:174, Ibnu Hazm (2/164) dari Ibnu Abi ‘Adi dia berkata, Muhammad bin ‘Amru telah menceritakan kepada kami dia berkata Ibnu Syihab telah menceritakan kepada kami dari Urwah bin Az Zubair dari Fatimah.
Sanad hadits ini hasan dan Ibnul 'Arabi juga menghasankannya dalam “al-‘Aridhah”. Sedangkan al-Hakim berkata, “Haditsnya shahih berdasarkan syarat Imam Muslim”. dan adz-Dzahabi pun menyetujuinya. Akan tetapi tidak sebagaimana yang mereka katakan.
Kemudian al-Hakim meriwayatkan hadits ini (1/174) dari jalan Suhail bin Abi Shalih dari az-Zuhri dari ‘Urwah bin az-Zubair dari Asma’ binti Umais, beliau berkata, saya mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fatimah binti Abi Hubaisy telah haid sejak begini dan begini maka ia tidak shalat." Maka Rasulullah  bersabda,
سبحان الله هذا من الشيطان لتجلس في المركن, فإذا رأى صفرة من الماء فتغتسل للظهر والعصر غسلا واحدا وتغتسل للمغرب والعشاء غسلا واحدا وتغتسل للفجر وتتوضأ فيما بين ذلك
"Subhanallah, ini berasal dari syetan. Hendaklah ia duduk di bak mandi, maka jika ia melihat cairan kekuningan diatas air, maka hendaklah ia mandi untuk shalat dhuhur dan ashar dengan sekali mandi dan mandi sekali lagi untuk maghrib dan isya’, juga mandi untuk shalat fajar. Adapun waktu-waktu diantara waktu shalat itu cukup dengan wudhu saja.”
Al-Hakim berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim”, dan adz-Dzahabiy menyetujuinya. Hadits tersebut seperti yang mereka berdua katakan.
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (48) dan ad-Daraquthni (79), ath-Thahawi (60-61). Dan hadits ini menunjukkan bahwa as-sufrah (cairan kekuning-kuningan) bukanlah darah haid, berdasarkan sabda beliau , "Darah haid warnanya hitam bisa dikenali." Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm dan mayoritas ulama mazhab azh-Zhahiriyah, sebagaimana disebutkan dalam “al-Muhalla” (2/168).
Adapun al-humrah (cairan kemerahan) dan al-shufrah (cairan kekuningan) yang keluar setelah masa suci tidak perlu dipermasalahkan. Demikian pendapat Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauriy dan al-Auza’iy, asy-Syafi’I dan Ahmad dan yang lainnya.
Dari Aisyah istri Nabi , bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy, ibu mertua Rasulullah , yang menjadi istri Abdurrahman bin Auf mengalami istihadhah selama tujuh tahun, maka ia pun meminta fatwa dari Rasulullah  untuk masalahnya ini. Rasulullah  bersabda,
إن هذا ليست بالحيضة ولكن هذا عرق فاغتسلي وصلي
“Ini bukan darah haid, tapi darah yang keluar dari urat / pembuluh darah, maka mandi dan shalatlah”.
Aisyah berkata, “Ia lalu mandi di mirkan (bak mandi) di kamar saudara perempuannya yaitu Zainab binti Jahsy sampai air penuh dengan warna merah darah. ( Muslim:181,:Abu Daud:44, an-Nasa`i:655, Ibnu Majah:215-216, ad-Darimi:196-198,199,200, Ahmad :6/83,187).
Dan juga diriwayatkan oleh Muslim (181-182), an-Nasa`i (65), Abu Daud (43)
Dan dari Aisyah juga, “Bahwasanya Nabi  i’tikaf bersama sebagian istri beliau, dan dan dia dalam keadaan istihadhah. Ia melihat darah dan menggunakan pembalut untuk menahannya. Aisyah mengaku bahwa yang ia lihat adalah seperti air ‘ushfur dan berkata, “Ini sama seperti pernah dialami oleh Fulanah” (al-Bukhari: 26, ad-Darimi: 217)
Dalam lafadz al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang istri Rasulullah  yang sedang i’tikaf bersama beliau mengalami istihadhah. Ia melihat al-humrah dan ash-shufrah, lalu menggunakan pembalut, namun ia tetap shalat.
Dan dari Ayyub dari Muhammad dari Ummu Athiyah, ia berkata, “Kami dahulu tidak menganggap al-kudrah (cairan yang berwarna keruh) dan ash-shufrah (cairan kekuningan) dan tidak mempermasalahkannya.” ( al-Bukhari: 338, Abu Dawud: 50, an-Nasa`i: 66, ad-Darimi: 214, Ibnu Majah: 222, al-Hakim dalam “al-Mustadrak”:174 ). Lalu diriwayatkan pula oleh ad-Darimi (215), Ibnu Majah (222) dan al-Hakim dalam “al-Mustadrak” dari jalur Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ummul Hudzail dari Ummu ‘Athiyah dengan tambahan, بعد الطهر شيئا (setelah masa bersir tidak mempedulikannya). Dan al-Hakim dalam “al-Mustadrak” berkata, "Hadits ini shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim."
Adapun Ummu al-Hudzail, Ia adalah Hafshah bin Sirin. Demikian yang dikatakan oleh adz-Dzahabi. Hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim karena adanya Hammad bin Salamah. Hadist yang pertama sesuatu dengan syarat mereka berdua, kritikan beliau pada al-Bukhari tidak berarti sama sekali. Ad-Darimi meriwayatkan dari Ibnu Siirin, bahwa beliau mengatakan, “Mereka tidak mempermasalahkan hadits kudrah dan sufrah”.

[Beberapa Kandungan Fiqh Hadist:]
1. Jika haid itu berwarna hitam dan dapat dikenali, maka setiap wanita yang melihat hal itu pada dirinya dan dapat mengenalinya. Dengan demikian berarti ia adalah wanita haid. Apabila tidak seperti itu, berarti ia adalah wanita yang istihadhah.
2. Jika ia tidak dapat membedakan /mengenali darahnya, kerena derasnya atau karena kontinyuitasnya, maka hendaknya wanita itu kembali pada hari-hari kebiasaan haidnya.
3. Jika ia tidak mengetahui hari-hari kebisaan haidnya dan tidak dapat membedakan jenis darahnya, maka hendaknya ia melihat pada kebiasaan wanita haid pada umumnya.

Kandungan fiqh yang pertama ditunjukkan oleh Hadits Fatimah binti Abi Hubaisy. Sedangkan untuk yang kedua disebutkan oleh Hadits Ummu Habibah riwayat Ahmad yang baru saja dibahas dan ini merupakan hadits dari Aisyah.
Ummu Salamah juga telah meriwayatkan hadits tersebut. Sanadnya diriwayatkan oleh Ahmad (6/322-323 & 320,393), Abu Daud (42), an-Nasa`i (65), ad-Darimi (199), Ibnu Majah (215), ad-Daraquthni (76) dari Sulaiman bin Yasar dari Ummu Salamah. Namun jalur ini memiliki cacat karena jalur antara Sulaiman dan Ummu Salamah ada yang terputus (inqitha'). Sedangkan Abu Daud dan yang lain meriwayatkan darinya bahwasanya ada seorang laki-laki yang menceritakan kepadanya dari Ummu Salamah.
Akan tetapi hadits ini memiliki jalur lain dalam “al-Musnad” (6/304) beliau mengatakan, Suraij telah menceritakan kepada kami bahwa Abdullah yaitu Ibnu Umar telah menceritakan kepada kami dari Salim Abi an-Nadhr dari Abu Salamah bin Abdur Rahman dari Ummu Salamah. Dan sanad ini hasan dengan sanad yang ada sebelumnya.
Adapun point ketiga ditunjukkan oleh hadits Hamnah binti Jahsy ketika ia berkata, “Saya pernah istihadhah mengeluarkan darah yang sangat deras dan banyak, maka aku mendatangi Rasulullah  untuk meminta fatwa. Aku mendapatinya berada di rumah saudara perempuanku Zaenab binti Jahsy, aku pun berkata :
“Wahai Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah mengeluarkan darah yang sangat deras dan banyak. Apa pendapatmu tentang ini ? istihadhah ini telah menghalangiku dari shalat dan puasa”. Maka Rasulullah  bersabda, “Sebaiknya engkau menggunakan al-kursuf (kapas), karena ia bisa menahan darah."
Ia berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu”. Rasulullah  menjawab, “Kalau begitu gunakanlah kain."
Ia menjawab, “Darahnya lebih banyak dari itu." Beliau  bersabda, “Sumpallah." Ia menjawab, “Darahnya mengalir deras”. Beliau  lalu bersabda,
سآمرك بأمرين أيهما فعلت فقد أجزأ عنك من الآخر فإن قويت علبهما فأنت أعلم فقال لها : إنما هذه ركضة من ركضات الشيطان فتحيضي ( أي : اجعلي نفسك حائضة ) ستة أيام أو سبعة في علم الله ثم اغتسلي حتى إذا رأيت أنك قد طهرت واستنقيت فصلي أربعا وعشرين ليلة أو دم الحيضة فإنه دم أسود يعرف ثلاثا وعشرين ليلة و أيامها فصومي فإن ذلك مجزيك وكذلك فافعلي في كل شهر كما تحيض النساء وكما يطهرن لميقات حيضهن وطهرهن
وإن قويت أن تؤخر الظهر وتعجلي العصر فتغتسلين ثم تصلين الظهر والعصر جميعا ثم تؤخري المغرب وتعجلي العشاء ثم تغتسلين وتجمعين بين الصلاتين فافعلي وتغتسلين مع الفجر وتصلين فكذلك فافعلي وصلي وصومي إن قدرت على ذلك
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : وهذا أعجب أمرين إلي
“Aku akan memintamu melakukan 2 perkara, mana saja yang engkau lakukan diantara keduanya, maka itu sudah cukup bagimu. Dan jika engkau mampu melakukan keduanya, engkau lebih tahu kemampuanmu sendiri."
Beliau melanjutkan sabdanya,
“Sesungguhnya ini adalah salah satu hentakan diantara hentakan-hentakan syetan yang membuatmu istihadhah. Maka anggaplah enam atau tujuh hari sebagai hari haidmu berdasarkan ilmu Allah, kemudian mandilah hingga engkau merasa dirimu telah suci. Lalu shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari, malam dan siangnya, dan berpuasalah. Yang seperti itu sudah cukup bagimu. Lakukanlah yang demikian itu setiap bulan sebagaimana kaum wanita umumnya mengalami masa haid dan masa suci.
Dan jika engkau mampu untuk mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar, maka mandilah. Lalu shalatlah dengan menggabungkan shalat dhuhur dan ashar. Kemudian bila engkau mampu mengakhirkan shalat maghrib dan mempercepatkan shalat isya, maka mandilah. Lalu shalatlah dengan menggabungkan kedua shalat itu. Dan hendaklah engkau mandi untuk shalat fajar. Begitulah yang harus Engkau lakukan. Shalat dan puasalah jika Engkau mampu melakukannya (dalam kondisimu seperti itu”).
Rasulullah  menambahkan sabdanya, ”Inilah yang lebih kusukai dari dua perkara ini.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ashabus Sunan kecuali An-Nasa`i. Juga diriwayatkan oleh selain mereka. Hadits ini juga terdapat dalam komentar pada kitab “al-Mu’jam” (hal 179/ juz 2) dan hadits tersebut hasan.

Tiga perkara yang telah kami sebutkan diatas adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Dan dalam Sunnah at-Tirmidzi (1/227) disebutkan, ”Ahmad dan Ishaq berkata tentang wanita yang istihadhah,
“Jika wanita tersebut mengetahui haidnya itu, yaitu masa datangnya darah dan masa berakhirnya. Yang dimaksud dengan datangnya darah yaitu ketika darahnya itu berwarna kehitaman dan yang dimaksud dengan masa akhirnya yaitu ketika darahnya berwarna kekuningan. Hukum yang berlaku atasnya adalah berdasarkan hadits Fatimah binti Abi Hubaisy.
Jika ia seorang wanita yang mustahadhah, sedangkan sebelum ia mendapatkan istihadhah ia telah mengetahui hari-hari kebiasaannya tersebut, hendaknya mandi dan berwudhu untuk setiap waktu shalat.
Adapun jika darahnya masih saja berlanjut, sedangkan ia tidak mengetahui hari-hari kebiasaan haidnya, maka hendaknya ia meninggalkan shalat sejumlah hari-hari haidnya. Kemudian hendaknya ia mandi dan berwudhu untuk setiap waktu shalat.
Bila darahnya masih tetap mengalir, sedangkan ia tidak mengetahui hari-hari kebiasaan haidnya, dan tidak mengetahui jenis darah yang keluar (yaitu darah yang keluar pada masa datangnya haid atau masa berhentinya haid), maka hukum yang berlaku atasnya adalah berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy.” Demikianlah pendapat Abu Ubaid.
Dan dalil tentang wajibnya seorang wanita mustahadhah untuk berwudhu setiap datang waktu shalat, adalah hadits dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah, “Bahwasanya Fatimah binti Abi Hubaisy mendatangi Nabi  dan berkata, “Aku sudah haid 1 bulan dan 2 bulan”. Maka Rasulullah  bersabda,
إن ذلك ليس بحيض إنما ذلك عرق فإذا أقبل الحيض فدعي الصلاة وإذا أدبر فاغتسلي لطهرك ثم توضئي عند كل الصلاة
“Sesungguhnya itu bukanlah haid tapi itu adalah darah dari urat /pembuluh darah. Jika darah haid yang datang maka hendaknya engkau meninggalkan shalat dan jika ia telah berakhir mandilah untuk bersuci kemudian berwudlulah untuk setiap waktu shalat.”
Diriwayatkan oleh ath-Thahawi (61) dari Abu Hanifah dari Hisyam, juga oleh al-Bukhari (1/264-265), at-Tirmidzi (1/217-219) dan ad-Daraquthni (76) dari Abu Mu’awiyah.
At-Tirmidzi berkata tentang hadits ini : “Hasan Shahih” seperti yang disebutkan dalam “Nashbur-Rayah” dari Abu Hamzah.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim (180), Abu Daud (44), an-Nasa-i (64), Ibnu Majah (214), ad-Darimi (198), at-Thahawi (62), ad-Daraquthni (76), dan Ahmad (4/84) dari banyak jalur dari Hisyam dengan matan yang sama tanpa lafazh, "berwudhu`lah untuk setiap waktu shalat." Lafazh tersebut merupakan riwayat al-Bukhari dan at-Tirmidzi. Karena itu sebagian dari mereka membahas tentang tambahan ini dan menganggapnya lafazh yang mudrajah ( lafazh yang dimasukkan dalam hadits ). Al-Hafizh menyanggah persangkaan ini dalam “al-Fath”. Terdapat Jalur riwayat lain pada hadits ini dari jalan Urwah bin az-Zubair yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (215), Ath-Thahawi (61), ad-Daraquthni (78), Ahmad (6/428 & 262) dari al-A’masy dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah.
Ibnu Majah menambahkan pada riwayatnya, “Ibnu az-Zubair juga meriwayatkan hadits ini dengan lafazh yang sama namun dengan tambahan, "Wًudhu`lah untuk setiap waktu shalat apabila darah tersebut menetes pada pembalut."
Para perawi hadits ini adalah para perawi asy-Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim). Hanya saja ia memiliki cacat karena terputusnya jalur antara Hubaib dan Urwah. Namun ia masih memiliki jalan periwayatan lainnya dari Fatimah dari Utsman bin Sa’d Al Katib dari Abdullah bin Abi Mulaikah ia berkata, Fatimah binti Abi Hubaisy telah menceritakan kepadaku, “Aku mendatangi Aisyah … " al-hadits. Dan di dalamnya ada sabda Nabi  kepada Aisyah,
مري فاطمة بنت أبي حبيش فلتمسك كل شهر عدد أيام أقرائها ثم تغتسل وتحتشي وتستثفري وتنظف ثم تطهر عند كل صلاة وتصلي…..
“Suruhlah Fatimah binti Abu Hubaisy untuk menahan diri (tidak shalat) beberapa hari dalam setiap bulan sebagai hari haidnya, lalu hendaklah ia mandi dan membalut (farajnya) dengan kapas dan mengalasnya dengan kain dan membersihkannya. Lalu hendaknya ia bersuci (berwudhu) setiap waktu shalat dan shalatlah …”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (6/464), ad-Daraquthni (80), dan al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (175) dan beliau berkata, “Hadits shahih”.
Adapun Utsman bin Sa’d al-Katib, perawi dari Bashrah, seorang perawi yang tsiqah memiliki banyak hadits dan haditsnya banyak dikumpukan oleh para perawi.
Saya mengatakan, ulama hadits selain al-Hakim mendha'ifkannya. Dan dalam “at-Taqrib” disebutkan bahwa ia perawi dha'if. Pada bab ini terdapat beberapa hadits lainnya, silahkan anda merujuknya ke kitab Nahbur-Rayah.
Adapun pendapat tentang wudhunya wanita mustahadhah di setiap waktu shalat, adalah pendapat asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan yang lainnya. Namun Abu Hanifah dan kedua murid beliau mengatakan, “Hendaknya wanita mustadhah berwudhu` untuk setiap waktu shalat. Dan pendapat ini adalah majaz yang terhapus, sehingga dibutuhkan dalil untuk menguatkannya."
Karena itu As Syaukani -mengikuti pendapat Al Hafizh-.membantah pendapat Abu Hanifah ini (240).