Senin, 29 Desember 2008

Fiqh an-Nisa -asy-Syaikh al-Albani

Najisnya Darah Haid (bag. 2)

299- إذا أصاب ثوب إحداكن الدم من الحيضة فلتقرصه ثم لتنضحه بالماء (وفي رواية : ثم اقرصيه بماء ثم انضحي في سائره) ثم لتسلي فيه
“Jika pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid, hendaklah ia menguceknya dan mencucinya dengan air (dalam riwayat lain : kuceklah ia dengan air kemudian basahilah seluruhnya) lalu shalatlah dengan baju itu.” (Ash-Shahihah)

Asy Syaikh al-Albani rahimahullah berkata,
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik (1/79), al-Bukhari (1/325), Muslim (1/166), Abu Dawud ( juz 3 no. 386 - termasuk dalam shahih Abu Dawud), dan al-Baihaqi (1/13), semuanya berasal dari Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fatimah binti al-Mundzir bin az-Zubair dari Asma’ binti Abu Bakr as-Shiddiq, bahwasanya beliau berkata, “Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah , “Apa pendapat anda jika salah seorang dari kami bajunya terkena darah haid, apa yang harus dilakukannya ?” Maka Rasulullah  bersabda, …. al-hadits."
Terdapat mutaba'ah pada hadits ini dari Yahya bin Said dari Hisyam, yang mana sanad ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/264), Muslim dan al-Baihaqi (2/406) dan Ahmad (6/346,353)
Juga mutaba'ah dari Hammad bin Salamah dari Hisyam dengan tambahan, وانضحي ما حوله"“(Dan basuhlah/cucilah yang ada disekelilingnya).
Riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 387), an-Nasa`i (1/69), Abu Dawud, ath-Thayalisi (1638) dan tambahan ini berasal darinya, Sedangkan Abu Dawud menyebutkan makna dari lafazh tambahan tersebut.
Saya mengatakan: Dan sanadnya berdasarkan syarat Imam Muslim. Dan terdapat mutaba'ah dari riwayat Waki’ dari Hisyam.
Diriwayatkan oleh Muslim. Dengan mutaba'ah dari riwayat Yahya bin Abdillah bin Salim dan Amru bin al-Harits.
Diriwayatkan juga oleh Muslim dan al-Baihaqi. Dengan mutaba'ah dari riwayat Isa bin Yunus dari Hisyam.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Dengan mutaba'ah dari riwayat Abu Khalid al-Ahmar meriwayatkan hadits ini dari Hisyam.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah (1/217) beliau mengatakan Abu Bakr bin Abi Syaibah menceritakan kedapa kami, dia mengatakan bahwa Khalid al-Ahmar menceritakan kepada kami, …al-hadits. Dan lafadznya, "اقرضيه واغسليه وصلي فيه" (kuceklah bajunya, cuci dan shalatlah dengannya).
Terdapat mutaba'ah dari riwayat Abu Mu’awiyah, beliau mengatakan, Hisyam telah menceritakan kepada kami hadits ini.
Sanadnya diriwayatkan oleh Ahmad (6/345 & 353)
Juga terdapat mutaba'ah dari riwayat Sufyan bin Uyainah dari Hisyam, hanya saja lafazh haditsnya, "اقرضيه بالماء ثم رشيه" (kuceklah ia dengan air lalu siramlah)
Hadits dengan lafazh di atas diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1/254-255), ad-Darimi (1/239), as-Syafi`i dalam “al-Umm” (1/58) dan al-Baihaqi (1/2013/406).
At-Tirmidzi berkata: “Dalam bab ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ummu Qais binti Mihshan,"
Beliau berkata, “Hadits Asma’ adalah hadits hasan shahih” .

Untuk diperhatikan :
Semua perawi ini telah sepakat dengan riwayat dari Hisyam bin Urwah yang tidak menyebutkan nama wanita yang bertanya, kecuali Sufyan bin Uyainah dalam riwayat asy-Syafi’i dan Amru bin 'Aun dalam riwayat ad-Darimi. Mereka berdua sama-sama meriwayatkan bahwa Sufyan bin Uyainah berkata, “Dari Asma, dia berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah…”
Keduanya menjadikan Asma’, yang merupakan perawi hadits, sebagai wanita penanya.
Al-Humaidi dalam riwayat al-Baihaqi menyelisihi mereka berdua dalam hal ini. Demikian pula Ibnu Abi Umar dalam riwayat at-Tirmidzi. Keduanya mengatakan dari Sufyan bin Uyainah seperti apa yang telah diriwayatkan oleh kebanyakan perawi. Dan tidak diragukan lagi bahwa inilah riwayat yang mahfuzh.
Adapun riwayat asy-Syafi’i dan Ibnu ‘Aun adalah riwayat yang syadz karena menyelisihi riwayat mayoritas ulama dari Hisyam, riwayat al Humaidi dan Ibnu Abi Umar dari Sufyan. Karena itu an-Nawawi mendha'ifkannya dan beliau benar dalam hal ini. Hanya saja beliau tidak merinci sebabnya sehingga menimbulkan keraguan yang tidak diharapkan. Sehingga al-Hafizh mengkritik an-Nawawi dalam “al-Fath”. Setelah menyebutkan riwayat asy-Syafi-i ini, beliau berkata (1/264), “Dan an-Nawawi menyendiri dalam hal ini, Beliau mendha'ifkannya tanpa dalil, padahal hadits ini shahih sanadnya dan tanpa adanya illat. Dan tidak seharusnya seorang perawi meragukan namanya sendiri, seperti yang akan disebutkan dalam hadits Abu Said tentang ruqyah dengan Fatihatul Kitab”.
Dan beliau pun berkata dalam “At-Talkhish” (13),
“Perhatian: an-Nawawi dalam “Syarhul Muhadadzab“ menegaskan bahwa asy-Syafi’i meriwayatkan dalam “al-Umm” bahwasanya sanad yang menyebutkan Asma’ sebagai penanya adalah dha'if. Ini tidak benar, bahkan sanadnya sah. Seakan-akan an-Nawawi mengaitkan sanadnya dengan Ibnu Shalah. Bahkan sebagian besar ahli hadits menganggap orang yang menyanggah “Al Muhadzadzab” telah keliru, padahal justru merekalah yang keliru.”
Saya mengatakan, “Sama sekali tidak benar. Bahkan merekalah yang benar dan al-Hafizh telah keliru, meskipun keyakinan beliau ini didasarkan pada kekuatan hafalan asy-Syafi’i dan memang demikian adanya. Namun riwayat jamaah lebih akurat dan lebih terjaga.
Mungkin dapat dikatakan bahwa kekeliruan bukanlah dari asy-Syafi’i, akan tetapi dari Ibnu Uyainah sendiri. Dengan dalil, bahwa kedua riwayat hadits ini sama-sama berasal dari Uyainah, yaitu riwayat yang disepakati oleh jamaah (mayoritas perawi hadits tersebut) dan riwayat yang menyelisihinya. Lalu asy-Syafii meriwayatkan hadits ini dan juga riwayat yang kedua. Sedangkan al-Humaidi meriwayatkan hadits tersebut bersama lainnya sesuai dengan riwayat al-Jamaah. Riwayat inilah yang lebih utama dan lebih otentik, sedangkan yang menyelisihinya adalah riwayat dengan illat syadz. Meskipun al-Hafidz telah mengumpulkan banyak riwayat dari Hisyam, seperti yang kami lakukan, namun beliau tidak menyanggah an-Nawawi dan yang sependapat dengannya, bahkan beliau turut menyepakati mereka dalam menyalahkan riwayat hadist ini.
Sesungguhnya kema’suman hanya milik Allah.
Adapun ucapan beliau “dan tidak seharusnya seorang rawi meragukan …” maka ini benar, akan tetapi ucapan itu tidak menjadikan sebuah riwayat yang didalamnya terdapat penyebutan nama menjadi syadz seperti yang ada pada hadits ini.
Yang menguatkan hal tersebut bahwa Muhammad bin Ishaq menjadi mutaba'ah bagi Hisyam dalam riwayatnya, ia berkata, Fatimah binti Al Mundzir menceritakan kepadaku dari Asma’ binti Abu Bakar, Ia berkata,
“Aku telah mendengar seorang wanita sedang bertanya kepada Rasulullah  bagaimana ia membersihkan bajunya dari darah haid bila ia telah suci. Maka Rasulullah  bersabda,
إن رأيت فيه دما فحكيه, ثم اقرضيه بماء, ثم انضحي في سائره فصلي فيه
“Jika engkau melihat ada darah di baju itu, maka keriklah lalu kuceklah dengan air dan basahilah seluruh pakaian itu, kemudian shalatlah dengannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (385), ad-Darimi (1/239) kontek lafazh hadits ini pada riwayatnya dan al-Baihaqi (2/406). Sanad haditsnya hasan dan ucapan Asma’ “Aku telah mendengar seorang wanita”, sudah secara jelas menunjukkan bahwa dialah yang mendengar dan bukan yang bertanya.

Untuk diperhatikan :
Dalam riwayat ini ada tambahan: ثم انضحي في سائره"“. Ini adalah tambahan yang penting. Karena menjelaskan lafazh "ثم لتنضه" pada riwayat Hisyam, yaitu bahwa yang dimaksud bukan hanya menyiram bagian yang terkena darah haid saja, namun juga seluruh pakaiannya.
Hal ini dipertegas oleh hadits Aisyah ketika beliau berkata,
كانت إحدانا تحيض ثم نقرص الدم من ثوبها عند طهرها فتغسله وتنضه على سائره, ثم تصلي فيه.
“Ketika salah seorang dari kami haid, ia akan mengucek area yang terkena darah dibajunya jika telah suci, lalu mencucinya dan menyirami seluruh pakaiannya, kemudian ia shalat dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/326), Ibnu Majah (1/217) dan al- Baihaqi (2/406-407)
Lafazh hadits ini menyebutkan apa yang sudah disebutkan oleh hadits sebelumnya. Yaitu bahwa air saja sudah cukup untuk mencuci darah haid, dan tidak mesti menggunakan zat pembersih untuk menghilangkan bekasnya, seperti sabun atau daun bidara. Hanya saja ada dalili yang menunjukkan wajibnya menggunakan pembersih, seperti hadits berikut ini:


300- حكيه بضلع واغسليه بماء وسدر
“Keriklah dengan memakai kayu gaharu dan cucilah dengan air dan daun bidara” (Ash-Shahihah)
Berkata al-Albani rahimahullah :
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/41, dengan syarah Aunul Ma’bud), an-Nasa`i (1/69), ad-Darimi (1/239), Ibnu Majah (1/217), Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya (235), al-Baihaqi (2/407), Ahmad (6/355,356) dari banyak jalur dari Sufyan, dia mengatakan bahwa Tsabit al-Haddad telah menceritakan kepadaku, dia mengatakan bahwa Adi bin Dinar menceritakan kepada kami, dia berkata, saya mendengar Ummu Qais binti Mihshan berkata,
“Saya bertanya kepada  tentang darah haid yang terkena pakaian, maka Beliau  bersabda, " … ” al-hadits.
Saya berkata: Sanad hadits ini shahih dan semua perawinya adalah perawi yang tsiqah. Meskipun pada diri Tsabit al-Haddad, dia adalah Ibnu Hurmuz al-Kuufi maula Bakr bin Wa’il, ada sedikit perselisihan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu al-Madini dan yang lainnya menganggapnya tsiqah, sedangkan sebagian yang lain mempermasalahkannya tanpa alasan. Dalam “At-Taqriib” disebutkan : “Dia perawi shaduq dan sering melakukan kekeliruan.”
Sepertinya, inilah sebab mengapa al-Hafizh tidak menganggap sanadnya shahih, karena beliau berkata dalam “al-Fath” (1/266) : “sanadnya hasan.” Beliau berkomentar dalam “at-Tahdziib”, “Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan haditsnya tentang haid dalam dalam kitab shahih mereka. Dan Ibnu al-Qaththan menshahihkannya lalu berkata, “Aku tidak mendapati adanya cacat dalam hadits ini. Tsabit perawi yang tsiqah. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menganggapnya dha'if selain ad-Daraquthni”.
Tentang dishahihkannya hadits ini oleh Ibnul Qaththan dinukil dalam “At-Talkhish” (Hal.12-13). Dan beliau benar dalam hal ini.

Untuk diperhatikan :
Lafazh "بضلع" tertulis demikian pada setiap yang meriwayatkan hadits ini, yaitu dengan huruf adh-dhaad dengan harakat kasrah, dan huruf al-laam dengan harakat fathah dan harakat kasrah. Maknanya adalah al-'uud (kayu cendana).
Akan tetapi al-Hafizh dalam “at-Talkhish” (13) mengatakan, "Ibnu Daqiiqil ‘Iid menuliskan huruf adh-dhaad dengan harakat fathah dan huruf al-laam yang sukun setelahnya huruh al-'ain. Maknya adalah al-hajar (batu). Beliau berkata, “Pada beberapa tempat, dengan harakat kasrah pada huruf adh-dhaad dan fathah pada huruf al-laam. Mungkin ini hanya salah penulisan saja, karena tidak terkandung adanya makna pengkhususan adh-dhil'u (yaitu yang bermakna al-'uud) dengan keterangan itu." Demikian yang beliau katakan.
Akan tetapi ash-Shaghaani dalam “Al-‘Ibab” pada bab. dha-la-'a memberi penjelasan, “Dan di dalam hadits disebutkan, حتيه بضلع (Garuklah dengan kayu cendana)”
Ibnul 'Araby berkata, adh-dhal'u disini maksudnya adalah kayu cnedanya yang melengkung."
Demikian pula disebutkan oleh al-Azhari ketika menyebutkan kata yang sama, dan beliau menambahkan dari perkataan al-Laits, “Asal katanya adalah dhal'u al-haiwaan (tulang rusuk hewan),kemudian dipergunakan untuk kata al-'uud yang menyerupainya."


Fiqih Hadits
Dari beberapa hadits ini, kita dapat mengambil banyak hukum. yang terpenting diantaranya adalah :
Pertama :
Najis dapat dihilangkan dengan air dan bukan dengan zat cair lain. Karena darah haid sama kedudukan dengan semua jenis najis, tidak ada bedanya satu sama lain, sesuai dengan konsensus ulama. Pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama. Adapun Abu Hanifah berpendapat bolehnya mensucikan najis dengan zat cair yang suci.
Asy Syaukani (1/35) berkata, “Pendapat yang benar adalah bahwa air merupakan asal dalam bersuci. Karena al-Qur`an dan as-Sunnah telah mensifatinya dengan sifat yang mutlak sebagai pembersih dan yang mensucikan tanpa batasan.
Akan tetapi perkataan yang membatasi dan menniadakan penggunaan bahan cair selain air terbantah dengan hadits mengusap sandal/sepatu dan hadits tentang menggosok mani yang menempel di baju, juga tentang hadits menghilangkan mani dengan alat pengerik, serta hadits yang semisalnya banyak jumlahnya.
Pendapat pertengahan dalam masalah ini, yaitu hendaknya setiap jenis najis yang tercantum dalam nash al-Qur’an ataupun hadits, dibersihkan dengan pembersih yang memang sudah ditetapkan oleh nash tersebut.
Namun jika najis tersebut telah ditetapkan harus disucikan dengan air, maka tidak boleh menggantinya dengan zat cair selain air. Karena air memilki kelebihan/keistimewaan yang tidak dimiliki oleh zat cair lain.
Akan tetapi jika dianjurkan untuk bersuci dengan selain air, maka boleh menggantinya dengan air.
Adapun jika yang tertera dalam syara’ hanya perintah mutlak untuk bersuci, tanpa menyebutkan alat pembersihnya dari salah satu zat-zat pembersih melainkan hanya sebatas perintah yang mutlak untuk membersihkan najis, maka yang harus digunakan cukup air saja, karena dengan begitu akan terimplikasikan keteladanan dalam beramal dengan suatu yang yakin dan tidak terdapat keragu-raguan. Inilah jalan pertengahan antara dua pedapat yang tidak ada dalil untuk menghindar dari menitinya.
Saya mengatakan, inilah analisa yang tepat, maka pegang teguhlah.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa membersihkan darah haid tidak dibolehkan dengan selain air adalah sabda Nabi  dalam hadits yang kedua, يكفيك الماء. yang dapat dipahami dari hadits ini adalahbahwa selain air tidak dapat mencukupi pembersihannya. Maka perhatikanlah baik-baik hal ini.