Minggu, 28 Desember 2008

Fiqh an-Nisa - asy-Syaikh al-Albani

“ Najisnya Darah Haid”

298- يكفيك الماء ولا يضرك أثره
“ Air sudah cukup bagimu dan bekas-bekasnya bukanlah masalah untukmu”. ( Ash-Shahihah)

Syekh al-Albani rahimahullah berkata :
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/147-142 - dengan syarah Al-’Aun) dan Ahmad (2/38), keduanya berkata,
Qutaibah bin Said mengkhabarkan kepada kami, dia mengatakan bahwa Ibnu Lahii’ah memberitakan kepada kami dari Yazid bin Abi Habib dari ‘Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah, beliau berkata,
“Khaulah binti Yasar mendatangi Nabi  dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya hanya punya satu baju dan dipakai pula pada waktu haid, maka apa yang harus saya lakukan?” Beliau  bersabda, “Jika engkau telah suci, maka cucilah baju itu dan pakailah untuk shalat”. Khaulah bertanya lagi, “Kalau darahnya tidak keluar ?” Beliau lalu bersabda dengan hadits diatas”.

Hadits ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam “As-Sunan” (2:408) dari jalan Utsman bin Shalih, dia berkata bahwa Ibnu Lahi’ah telah memberitakan kami, dia mengatakan bahwa Yazid bin Abi Habib telah memberitakan kepadaku hadits ini. Dan keduanya mendapatkan mutaba'ah dari Abdullah bin Wahb, beliau berkata, “Ibnu Lahi’ah telah mengabarkan kepada kami hadits ini”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan juga Abul Hasan al-Qashshar dalam “Haditsuhu ‘an Ibni Abi Hatim” (2/2) dan Ibnul Himshi ash-Shufi dalam “Muntakhab min Masmu’atihi” (33/1) dan Ibnu Mandah dalam “Al Ma’rifah" (2/231/2).
Al-Baihaqi mengatakan sanadnya dha'if, “Ibnu Lahi’ah menyendiri dalam meriwayatkannya”

Saya berkata: Dan Ibnul Mulaqqin mengatakan dalam “Khulashatul Ibriiz linnabiih, Hafizhu Adiillatit Tanbiih” (lemb.1/266), “Mereka menganggapnya dha'if (lemah), tapi yang lainnya menganggapnya tsiqah (dapat dipercaya)”.
Al-Hafizh berkata dalam “Fathul Baari” (1/266), “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lain, dan didalam sanadnya terdapat perawi yang dha'if, namun hadits tersebut memiliki syahid penguat yang mursal”
Penulis “Aunul Ma’bud “ juga telah menukil hal ini dan mengukuhkannya (1/141-142).
Dan al-Hafizh mengatakan dalam “Bulughul Maram”, “Hadits ini telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan sanadnya dha'if”.
Berkata ash-Shan’ani dalam “Syarhu Bulughil Maram” (1/55) mengikuti acuan kitab asal yaitu “Badru at Tamam” (1/29/1), “Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi namun didalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah”.

Banyak dari para ulama ini yang mengikuti ucapan al-Hafizh dan menisbatkannya kepada at-Tirmidzi. Diantara mereka termasuk Siddiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” (1/17). Sebelum beliaa asy- Syaukani dalam “Nailul Authar,” beliau berkata (1/35), “Haditsnya diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Baihaqi dari dua jalur periwayatan dari Khaulah binti Yasar dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah.”
Demikian juga disebutkan oleh al-Hafizh dalam “At-Talkhish” (13), akan tetapi beliau tidak mengikutkan at-Tirmidzi dan Ahmad.

Saya katakan: dalam ucapan mereka semua (para ulama yang terhormat) ini mengandung beberapa kekeliruan yang tidak dapat diabaikan, maka saya mengatakan :
Pertama :
Penisbatan hadits tersebut pada riwayat dari at-Tirmidzi adalah kekeliruan mutlak. Karena sebenarnya at-Tirmidzi tidaklah menriwayatkan hadits ini secara langsung. Beliau hanya mengisyaratkan akan hadits tersebut pada akhir hadits Asma` berikut ni, dengan mengatakan,
“Dan dalam bab ini dari Abu Hurairah dan Ummu Qais binti Mihshan”.
Karena itu, ketika Ibnu Sayyidin-Naas memulai takhrij hadits ini, sebagaimana kebiasaan beliau apabila mentakhrij hadits-hadits dari at-Tirmidzi yang mu’allaqah, beliau tidak menambah dari ucapanbeliau, “Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad”. Beliau tidak menisbatkan hadits tersebut pada satupun tempat didalam kitab “Sunannya”, bahkan tidak pula didalam kitab-kitab beliau –at-Tirmdzi- yang lain. Demikian juga yang dilakukan oleh al-Mubarakfuri dalam penjelasannya tentang hadits tersebut. Hanya saja Beliau melakukan kekeliruan yang lain ketika ia mengatakan (1/28), “Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibnu Majah”

Kedua :
Memutlakkan kedha'ifan Ibnu Lahi’ah dan sanad haditsnya ini tidaklah benar. Karena sudah menjadi ketetapan para Imam hadits bahwasanya beliau adalah orang yang tsiqah, akan tetapi buruk hafalannya. Beliau membacakan hadits dari kitab-kitabnya. Dan ketika kitab-kitabnya terbakar, beliau meriwayatkan hadits dari hafalannya sehingga sering melakukan kesalahan. Sebagian Imam hadits menerangkan bahwa haditsnya shahih jika diriwayatkan dari salah satu tiga perawi yang bernama Abdullah yaitu : Abdullah bin Wahb, Abdullah bin al-Mubarak, dan Abdullah bin Yazid al-Muqri’.
Al-Hafizh Abdul Ghani bin Said al-Azdi berkata. “Jika para Abdullah ini meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah maka haditsnya shahih : Ibnul Mubarak, Ibnu Wahab dan al-Muqri’.”
As-Saajiy dan yang lainnya juga mengatakan hal yang sama.
Selain itu juga ada ucapan Nu'aim bin Hammad, Saya mendengar Ibnu Mahdi berkata, “Aku tidak menganggap apapun yang aku dengar dari Ibnu Lahi’ah kecuali dari hadits yang didengar oleh Ibnul Mubarak dan yang serupa dengannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar pun telah mengisyaratkan hal ini dalam “At Taqrib” , “Ia perawi shaduq, haditsnya menjadi tercampur baur setelah buku-buku beliau terbakar. Dan riwayat Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahb yang berasal darinya lebih lurus daripada riwayat perawi lainnya”.
Dan jika anda telah mengetahui semua hal ini, maka akan jelaslah bagi anda bahwa hadits ini shahih. Karena telah diriwayatkan oleh salah satu dari tiga perawi yang bernama Abdullah yaitu Abdullah bin Wahb, berdasarkan riwayat al-Baihaqi dan yang lainnya, seperti sudah disebutkan sebelumnya. Riwayat ini harus dibedakan dengan jalan periwayatan Abu Dawud dan yang lainnya dari Abu Lahi’ah, karena riwayat beliau berasal dari jalur yang dha'if.
Inilah penelitian seksama yang berasal dari penelitian para Imam ahli hadits dalam penjelasan tentang kondisi para periwayat hadits berdasarkan ilmu al-jarh wat-ta’dil (Studi kritis perawi hadits). Wabillahit Taufiq.

Ketiga :
Sesungguhnya ucapan asy-Syaukani, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi melalui dua jalan dari Khaulah binti Yasar, dan dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah” juga keliru. Karena riwayat ini bukanlah pada hadits dari jalur periwayatan mereka kecuali dari jalan yang sudah disebutkan sebelumnya. yaitu dari Ibnu Lahi’ah dari Yazid bin Abi Habib dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah bahwasanya khaulah binti Yasar …
Jalur riwayat ini berhenti sampai Abu Hurairah saja tidak sampai ke Khaulah, dan yang meriwayatkan dari Abu Hurairah adalah Isa bin Thalhah, tidak selainnya.
Memang benar Ibnu Lahi’ah juga meriwayatkannya dalam sanad yang lain pada Syaikh beliau,, dia berkata dalam riwayat Musa bin Dawud adh-Dhabbiy, bahwa Beliau mengatakan, ibnu Lahi'ah menceitakan kepada kami dari Ubaidullah bin Abu Ja’far dari Isa bin Thalhah." Diriwayatkan oleh Ahmad (2/344).
Sanad ini jika benar, Ibnu Lahi’ah telah menghafalnya dari jalur lain yang berasal dari Isa bin Thalhah. Jika tidak, maka sanad ini termasuk salah satu kekeliruannya, karena riwayatnya bukan berasal dari salah satu dari tiga perawi yang bernama Abdullah. Bahkan sanad ini telah menyelisihi riwayat tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Maka sama saja, kedua jalan ini tidak dapat dikatakan sebagai jalan periwayatan yang lain dan juga sama-sama berasal dari Khaulah.
Mungkin yang dimaksud Asy-Syaukani dengan jalur lain itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi pada akhir hadits Abu Hurairah, dari jalan Mahdi bin Hafsh, dia mengatakan Ali bin Tsabit telah menceritakan kepada kami dari al-Wazi’ bin Nafi’ dari Abu Salamah bin Abdirrahman dari Khaulah binti Yaman, dia berkata,
“Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya haid. Sedangkan saya hanya punya satu baju dan baju itu terkena darah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cucilah baju itu dan shalatlah dengannya’” Saya berkata lagi, “Bekasnya masih ada”, Beliau menambahkan, “Itu tidak masalah.”
Al-Baihaqi berkata, " Ibrahim al-Harbi mengatakan, perawi selain al-Wazi’ bin Nafi’ yang lebih tsiqah, karena dia tidak pernah mendengar dari Khaulah binti Yaman atau binti Yasar kecuali dua hadits ini."
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Mandah dalam “Al Ma’rifah” (2/321/2) dan Ibnu Sayyidin-Naas dalam “Syarh at-Tirmidzi” (1/48/2) dari jalan Utsman bin Abi Syaibah, beliau mengatakan bahwa Ali bin Tsabit al-Jazari mengabarkan kepada kami, …al-hadits. Hanya saja perawi yang pertama dari keduanya hanya mengatakan “Khaulah” tanpa menyebutkan nasabnya. Sedangkan yang lain menyebut “Khaulah binti Hakim”. Hadist tersebut juga pada riwayat beliau dari jalan ath-Thabrani dari Ibnu Abi Syaibah. Begitu pula al-Haitsami menyebutkannya didalam “Al-Majma” (1/282) dari riwayat ath-Thabrani dalam “al-Kabir”, dia berkata, "Didalam sanadnya ada al-Wazi’ bin Nafi’ dan dia dha'if”.
Saya katakan, bahkan dia itu perawi matruk (ditinggalkan haditsnya), dan sangat dha'if. Adz-Dzahabi menyebutnya didalam “adh-Dhu’afa” dan berkata, “Berkata Ahmad dan Yahya, “Dia tidak tsiqah.” Karena itulah Ibnu at-Turkumani mengkritik al-Baihaqi yang telah meninggalkan tajrih (penyangkalan/kritk) seperti ini, dan meringkasnya dengan ucapan Ibrahim al-Harbi yang jelas keliru, yaitu, bahwa al-Wazi’ tsiqah tapi yang lain lebih tsiqah darinya. Padahal ia sama sekali tidak tsiqah.
Mungkin yang dimaksud dalam riwayat al-Baihaqi dengan ucapannya “Binti Yaman” dan “Binti Hakim”, dalam riwayat ath-Thabrabi dan yang lainnya, adalah yang berasal dari Al Wazi’ ini.
Dan sangat mengherankan perkataan Ibnu Abdil Barr dalam “al-Isti’ab”, ketika menulis bografi Khaulah binti Yasar, setelah menyebutkan haditsnya yang terdahulu,
“Abu Salamah telah meriwayatkan darinya, Aku khawatir bahwa ia sebenarnya adalah Khaulah binti al-Yaman, karena sanad kedua hadits ini satu, yaitu sanad tersebut adalah ‘Ali bin Tsabit dari al-Wazi bin Nafi’ dari Abu Salamah, dengan hadits yang menyebutkan nama Khaulah binti al-Yaman (yaitu hadits : لا خير في جماعة النساء...) dan dengan hadits yang sedang kita jelaskan disini. Hanya saja perawi setelah Ali bin Tsabit terdapat perselisihan dalam dua hadits ini. Dan inipun butuh penjelasan lebih lanjut.”
Hal yang mengherankan disini adalah bahwa hadits yang dimaksud dengan “hadits yang sedang kita jelaskan disini” adalah hadits yang menjadi pembahasan kita sekarang yaitu: "ولا يضرك أثره" . Dan ini pula hadits yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam biografi binti Yasar.
Hadits ini bukanlah riwayat Abu Salamah dari Khaulah dan bukan pula dari selain Khaulah. Akan tetapi hadits riwayat Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah. Dan sanad ini adalah jalan periwayatan lain bagi hadits tersebut. Di dalam sanadnya terdapat nama khaulah yang dinasabkan kepada Yasar. Sanad yang seperti ini adalah benar. Mengapa kita harus khawatir salah dan menganggap yang benar adalah binti Yaman, sedangkan perawinya Ali bin Tsabit dha'if ?
Ibnu Abdil Barr telah mengisyaratkan kedha'ifannya. Bahkan ia bukan saja dha'if, tapi matruk (ditinggalkan haditsnya), sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Lebih mengherankan lagi, karena al-Hafizh Ibnu Hajar ketika mengutip ucapan Ibnu Abdil Barr sampai pada “karena sanad kedua hadits ini satu”, Beliau menanggapi dengan ucapannya, “Saya mengatakan, bukan suatu kelaziman bilaman sanad kepada kedua hadits ini satu, disertai perbedaan matan hadits hingga dianggap riwayatnya sama”.
Beliau menerima pendapat yang mengatakan bahwa sanadnya memang satu, meski kenyataannya tidaklah demikian. Padahal beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Mahasuci Allah yang tidak pernah lalai dan tidak pernah lupa.

Keempat :
Ucapan al-Hafizh “dan hadits ini memiliki syahid riwayat yang mursal,” juga keliru. Karena kami tidak mengetahui ada syahid riwayat penguat mursal untuk hadits ini. Al-Hafizh tidak menyebutkannya dalam “at-Talkish”, tapi beliau hanya menyebutkan syahid yang mauquf dari Aisyah, beliau berkata,
“Jika seorang wanita mencuci darah (haid dibajunya) dan (bekasnya) belum juga hilang, maka hendaklah ia mengubah (warnanya) dengan shufrah, rass atau za’faran”
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/238) dan al-Hafizh tidak mengomentarinya (13). Sanadnya shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim). Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang serupa (lihat Shahih Abu Dawud juz 3 no. 383).

[Fiqh Hadist]

Hadits ini adalah dalil najisnya darah haid berdasarkan perintah Nabi  agar mencucinya. Berdasarkan lafazh akhir hadits, darahnya cukup dicuci (dengan air) dan tidak harus menggunakan sesuatu untuk menghilangkan bekasnya. Hadits selanjutnya mempertegas hal tersebut.

(Bersambung)