Perhatian ulama Islam terutama para ulama generasi as-salaf dan penerus mereka terhadap masalah mashlahat dan mafsadat, dalam setiap tinjauan hukum-hukum syara' teramat besarnya. Bahkan hal ini merupakan kaidah yang muttafaq 'alaiha –disepakati- diantara para fuqaha dan ahlul hadist dan juga pakar disiplin ilmu selain mereka. Disebabkan dasar-dasar peletakan syariat Islam itu sendiri senantiasa mengacu kepada kemaslahatan seluruh hamba Allah dan peniadaan segala bentuk mafsadat bagi mereka. Bahkan sebagian fuqaha` Islam menyebutkan bahwa: syariat Islam kesemuanya adalah maslahat. Baik berupa penolakan setiap bentuk mafsadat atau pencapaian segala bentuk maslahat.
( Al-Muqafaqaat 2 / hal 6 dan 37 )
Hanya saja yang perlu ditekankan bahwa mashlahat dan mafsadah ini adalah permasalahan yang ketentuannya berpulang pada syara', dalam artian adalah mashlahat (kemaslahatan) syar'iyah dan mafsadah (kerusakan) syar'iyah, Bukanlah mashlahat ataukah juga mafsadah 'urfiyah – adat kebiasaan– ataukah nafsiyah -individualisme –atau juga hizbiyah/mazhabiyah– kelompok atau golongan- . Dimana mashlahat dan mafsadah dalam penerapan aturan-aturannya yang bersifat furu'iyah mestilah dikembalikan secara jelas pada setiap aspek maqashid syar'iyah –sasaran-sasaran syara'- yang muttafaq 'alaiha .
Dari sinilah dalam berbicara tentang mashlahat dan mafsadah tersebut, dalam beberapa tinjauan syara' diantaranya: -
Pertama : Agama / Dien Islam adalah suatu Ajaran yang bertujuan mendatangkan semua kemashlahatan baik itu kemashlahatan yang mutlaq/qath'iyah ataukah mashlahat yang rajih.
Berkata Asy-Syaikh Al-Faqih Al-Mufassir 'Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di dalam risalah beliau "Al-Ushul wal-Qawa'id Al-Jami'ah",
"Kaidah Pertama … Bahwa sesungguhnya syariat Islam tidaklah menyebutkan adanya perintah melainkan pada perintah tersebut dijumpai mashlahat yang khalishah – yang murni – ataukah yang rajihah (dominan). Dan tidak pula melarang suatu hal melainkan didapati padanya mafsadat yang khalishah ataukah rajihah…
Beliau berkata, "Hal oni adalah suatu kaidah yang mencakup keseluruhan syariat, yang mana tidak ada satupun dari hukum-hukum syara' yang terlepas dari kaidah ini, dan juga tidak dibedakan antara perkara yang berkenaan dengan masalah ushuluddiin ataukah masalah-masalah furu'iyah. Dan tidak juga dibedakan antara masalah yang berkaitan dengan hak-hak Allah atau yang berkaitan dengan hak-hak para hamba-Nya.
Allah subahanhu wata'ala berfirman, -
"Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada setiap perbuatan yang adil dan segala kebajikan, menyantuni para kerabat dan melarang dari segala perbuatan keji dan kemungkaran dan kesewang-wenangan, Allah ta'ala memberi nasihat ini bagi kalian agar kalian mau memikirkannya." ( An-Nahl : 90 )
Maka dalam ayat ini, tidak ada satu perbuatan adil, ataukah kebajikan dan tidak pula jalinan kekerabatan kecuali Allah memerintahkannya dalam ayat yang mulia ini … "
Dan selanjutnya beliau dalam risalah tersebut, menyebutkan sejumlah ayat-ayat perintah dan larangan lalu beliau berkata, "Perhatikanlah pada segala perintah yang terkandung pada ayat-ayat Al-Qur`an ini, yang mana telah mencapai taraf kebaikan yang paling tinggi. Dan juga perintah-perintah tersebut mengandung kebaikan, keadilan, kasih sayang, serta penegakan hak-hak yang wajib dan yang sunnah.
Demikian pula halnya dengan hal-hal terlarang yang mana mudharatnya demikian meluas serta keburukannya sangatlah besar. Syariat ini berupa segala macam perintah dan larangan termasuk diantara salah satu mukjizat Al-Qur`an dan Rasulullah yang terbesar. Bahwa syariat ini berasal dari wahyu Dzat yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji.
Semisalnya juga, sebagaimana yang Allah sifatkan atas hamba-hamba-Nya yang khusus serta para hamba-Nya yang terbaik didalam firman-Nya,
“Dan hamba-hamba Ar-Rahman, Rabb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi “Hingga firman-Nya,
“Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya.” ( Al-Furqan : 63 – 75 )
Dan firman Allah,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman” (Al-Mukminun : 1)
Lalu Allah menyebutkan beberapa sifat-sifat luhur mereka, kemudian diakhiri dengan menyebutkan ganjaran bagi mereka,
“Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mukminun 10 – 11)
Dan firman Allah,
“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim”
“Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Hingga firman-Nya,
“Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( Al-Ahzab : 35 )
Maka setiap sifat yang disebutkan pada ayat-ayat ini, yang merupakan sifat yang Allah sifatkan bagi sebaik-baik makhluk-Nya, Allah telah mengajarkan kebaikan, kesempurnaan, manfaat yang sangat besar dari sifat-sifat tersebut.
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Maidah : 50)
Keseluruhan syariat baik berupa peribadatan, muamalah/interaksi sosial perintah untuk menunaikan setiap hak-hak yang beraneka ragam rincian serta bagiannya yang disebutkan Allah pada ayat-ayat ini, serta semua yang telah diuraian oleh ulama berupa mashlahat setiap perkara yang diperintahkan dan manfaatnya, mudharat serta mafsadat dari setiap perkara yang dilarang termasuk dalam cakupan kaidan ini.
Olehnya itulah, fuqaha` Islam menyatakan keterkaitan sebab akibat hukum-hukum yang diperintahkan oleh syara’ dengan ragam mashlahat dan setiap yang dilarang dengan ragam mafsadat.”
Kedua : Mashlahat yang dituntut oleh Syara' adalah Mashlahat Syar'iyah bukanlah Mashlahat Bid'iyah. Baik dalam perihal Aqidah, Ibadah ataukah dalam perilaku/akhlaq.
Dari sini mestilah dipahami, bahwa dalam menjadikan dalil mashlahat dan mafsadat –yakni al-mashalih al-mursalah– sebagai landasan penetapan hukum-hukum 'amaliyah syar'iyah, haruslah suatu mashlahat atau mafsadat yang bersifat qath'iyah – yakin - ataukah ghalabah dzhann – persepsi yang dominan -, dan juga harus merujuk pada penunjukan syara' baik dalam tinjauan ushuliyah ataukah furu'iyah-nya.
Sebagian besar ulama ushul dan kalangan fuqaha' sendiri, lebih memilih untuk menolak pengandaian dalil dengan berpegang pada al-mashalih al-mursalah, dan sekiranyapun suatu hukum dari sekian hukum syariat akan bergantung pada tinjauan mashlahat dan mafsadat, menurut mereka – mayoritas ulama – disyaratkan adanya kesinambungan antara mashlahat yang muktabar/terakui dan signifikasi ushul syara'. Dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi'i, sebagian besar pengikut mazhab Al-Hanafiyah dan riwayat yang masyhur dikalangan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Benar terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik menjadikan kaidah ini sebagai pegangan/hujjah secara mutlak akan tetapi penisbatan kepada Imam Malik diingkari oleh sebagian ulama besar Al-Malikiyah semisal Al-Qurthubi dan Al-Baaji.
Berkata Al-Imam Asy-Syathibi t dalam kitab beliau Al-I'tisham 1/61–63 –berbicara sisi nazhar/logika sehat dalam membantah bid'ah-, " … Pertama: Bahwa adalah suatu yang telah dikenali dari kebiasaan dan pengalaman yang telah ada dialam ini, sejak awal dimulainya kehidupan dunia hingga hari ini, bahwasanya akal semata tidak akan bersendiri menjangkau mashlahat yang berlaku baginya, demikian juga dalam menghalau mafsadat atasnya. Dikarenakan mashlahat –demikian juga mafsadat, pen- cuma dua, mashlahat duniawiyah ataukah ukhrawiyah.
Adapun mashlahat duniawiyah maka akal sama sekali tidak akan mampu mengejawantahkannya secara rinci, baik itu diawal penjabarannya demikian juga dalam peletakan setiap yang diharapkan dapat mengikuti alur mashlahatnya, baik dalam pendahuluan silogisnya dan yang selanjutnya. Dikarenakan yang paling pertama meletakkan –prinsip-prinsip– mashlahat tiada lain dengan pengajaran Allah ta'ala, dimana Adam 'alaihis salam, sewaktu diturunkan ke muka bumi, telah diajarkan bagaimana meraih mashlahat duniawiyah beliau, yang sebelumnya perkara ini sesuatu yang beliau belum ketahui. Kecuali dalam pandangan beberapa ulama yang berpendapat bahwa perkara tersebut telah tercakup dalam frman Allah ta'ala,
"Dan Allah ta'ala telah mengajarkan segala sesuatunya kepada Adam." (Al-Baqarah: 31)
Jikalau demikian, berarti pengajaran Adam bukanlah melalui jalur akal, dan dalam garis besarnya, setelah itu turun temurun diwariskan kepada anak keturunan beliau. Akan tetapi akal manusia mengadakan disposisi yang seolah-olah akal telah terpisah dari pengajaran tersebut, dan dalam disiplin ilmu Ushul telah mengalami intervensi dari luar mengikuti perkembangan zaman, akhirnya kemashlahatan pada setiap zaman yang berlalu tidak lagi murni, seiring dengan merebaknya fitnah, pembunuhan, dan munculnya beragam perbuatan fasad.
Sekiranya Allah ta'ala tidak berkenan kepada hamba-Nya dengan mengutus para Rasul, kehidupan mereka tidak akan istiqamah, dan keberadaan merekapun tidak akan selaras dengan kemashlahatan mereka yang sempurna, dan ini suatu yang maklum ditinjau dari kisah kaum terdahulu dan umat yang belakangan.
Sedangkan mashlahat ukhrawiyah, maka ini lebih tidak terjangkau lagi oleh akal ketika melihat sebab-sebab diadakannya, seperti segala bentuk ibadah misalnya. Dimana akal secara umum,tidak akan mengerti sebab keberadaannya, terlebih lagi mengetahuinya secara terperinci… "
…
Hingga beliau mengatakan, " … Dan kaum filosof mencoba mengungkap sejumlah disiplin ilmu ushul, lantas menguak tabirnya dimana mereka ini berkeinginan untuk menjabarkannya sesuai dengan pandangan akal mereka, dan menjadikannya sebagai suatu yang bernilai rasional tidak lagi sebagai suatu yang syari.
Dan tidaklah seperti yang mereka sangkakan, karena akal tidak akan berdiri sendiri selamanya, tidak akan berpijak tanpa adanya dasar, melainkan akal akan berpijak diatas suatu pondasi yang telah mendahuluinya dan secara mutlak mesti diterima, dan tidak mungkin ketika berbicara tentang perkara akhirat adanya suatu pondasi yang mesti dibenarkan melainkan pondasi itu datangnya dar wahyu, … Dan makna inilah yang akan secara panjang lebar akan dijelaskan nantinya insya Allah.
Jadi kesimpulannya, akal tidak menjangkau mashlahatnya tanpa bimbingan wahyu dan amal bid'ah berkebalikan dengan pondasi ini, dikarenakan bid'ah bagaimanapun juga bukanlah suatu sandaran yang syar'i, maka yang tersisa hanyalah sandaran yang mereka sangkakan dari akal semata."
Dalam Al-Madkhal 1/295 disebutkan –dalam menguraikan perbedaan antara qiyas/silogisme dan kaidah al-mashalih-, "Bahwa qiyas sesungguhnya merujuk kepada salah satu dalil tertentu, sedangkan kaidah al-mashalih tidaklah merujuk pada dalil tertentu, namun para fuqaha' menyebutkan: Kapan diketahui adanya pengakuan syara' terhadap kaidah al-masholih ini dalam sejumlah tempat dalam syariat Islam maka kami pun mengakuinya sebatas pengetahuan kami bahwa kaidah al-mashalih ini adalah suatu yang diinginkan oleh syara'.”
( lihat dalam Al-I'tisham 1/61–63, Irsyad Al-Fuhul hal. 403 – 405, Al-Musawwadah hal. 401, Al-Ihkam – Al-Amidi 4/17, Al-Madkhal – Ibnu Badran 1/295, Qawaidul Fiqh – Al-Kirkhi hal. 490 dan Al-Mahshul 5/231 )
Ketiga : Mashlahat bukanlah hujjah/pegangan untuk membenarkan kebathilan dan untuk menolak kebenaran/al-haq.
Tinjauan yang ketiga inilah yang seringkali terjadi kesalah pahaman diantara para da'i ilallah dalam 'amaliyah da'wiyah mereka. Dimana ketika terjadi benturan antara tujuan dan maksud yang mereka hendak capai –yang tidak jarang telah ternoda dengan keinginan duniawiyah – dengan dalil-dalil syara' serta kaidah-kaidah syar'iyah, mereka berupaya membenarkan tujuan/maksud tersebut dengan berpegang pada dalil mashlahat dan mafsadat.
Akhirnya, tidak sedikit, mereka membenarkan bahkan melakukan hal-hal yang keliru secara syara' bahkan merupakan suatu kemashiyatan dan sebab terpecah belahnya ummat Islam, demikian pula sebaliknya , seringkali mereka mengabaikan bahkan meninggalkan suatu wajib dan merupakan titian ulama as-salaf dengan berpegang pada kaidah mashlahat dan mafsadat. Fanatisme kelompok dengan dalih mashlahat tandhzim/pengaturan dakwah, semakin pudarnya makna Al-Wala' dan Al-Baro', sikap toleran bahkan menyokong dan bergandengan tangan dengan pelaku maksiat dan ahlil bida', sirnanya amar ma'ruf nahi munkar, mendiamkan kebatilan, dan selainnya, -sadar ataukah tidak - , mereka hanya meninjaunya dari sisi mashlahat menurut keterbatasan nalar mereka– dan mafsadat –menurut kepentingan yayasan/kelompok mereka -
Untuk itulah perlu diketahui bahwa pada hakikatnya, mashlahat dan mafsadat yang merupakan salah satu bentuk muhafadzhah/penjagaan syar'iyah, bukanlah suatu dalil yang berdiri sendiri ….
Dan juga perlu dipahami, bahwa mashlahat dan mafsadat adalah hasil dari penerapan dan peninggian ajaran-ajaran syara', bukan suatu yang muncul dari nalar/akal pemikiran si fulan ataukah si 'allan.
Jadi ketahuilah bahwa mencapai suatu manfaat/mashlahat dan menegah setiap mudharat/mafsadat adalah bertujuan untuk kebaikan hamba dan sarana untuk menuai keinginan mereka. Akan tetapi yang diinginkan dari bentuk mashlahat ini adalah sebagai bentuk muhafadhzah –pemeliharaan/penjagaan – semua tujuan-tujuan syariat – maqashidusy syara' –. Dan maqashidussy syara' ini yang berlaku pada hambanya ada enam perkara yang perlu ditinjau :
- Hifdzu/penjagaan Diin/agama
- Hifdzu An-Nafs ( jiwa/rohani )
- Hifdzu Al-'Ardlh ( kehormatan/harga diri )
- Hifdzu Al-'Aql ( akal sehat )
- Hifdzu An-Nasl ( keturunan )
- Hifdzu Al-Maal ( harta benda )
Maka semua yang bertujuan memelihara dan mengayomi ke-enam hal diatas dikatakanlah sebagai suatu mashlahat, sedangkan sebaliknya adalah mafsadat.
Dan kesemuanya berujung pada penetapan syara' baik itu dari Al-Qur`an , As-Sunnah maupun Ijma'. Maka kesemua pencapaian mashlahat ataukah penjagaan dari segala bentuk mafsadat, mesti mendapatkan pembenaraan oleh syara', dalam hal ini dalil-dalil yang shahih lagi jelas.
Dan juga , perlu diketahui bahwa berbicara tentang mashlahat ataukah mafsadat berhubungan dengan hukum-hukum syar'iyah , terbagi atas tiga bagian :
1. Mashlahat dan mafsadat yang telah dilansir penunjukannya dalam Al-Qur`an maupun sunnah Nabi
2. Mashlahat dan mafsadat yang yang syara' menolak keberadaannya dan penunjukannya.
3. Mashlahat dan mafsadat yang tidak ada keterangan penetapan ataukah penolakannya dalam tinjauan syara', yang sering dikenal sebagai al-mashalih al-mursalah.
Jadi ungkapan mashlahat dan mafsadat sebagai dalil, selain mesti ada pembenaran dari dalil-dalil syara' – Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijma' – dan Qawa'id 'Ammah /aturan-aturan umum dalam syariat , juga haruslah dilihat pada bagian manakah mashlahat dan mafsadat itu termasuk.
( Lihat Ar-Raudhoh An-Nadhir – Ibnu Qudamah juz 2/ pasal. , Al-Mudzakkiroh hal 166–167, Al-Mustashfaa – Hujjatul Islam Al-Ghazali hal. 244, Al-Mantsur fil Qawaid 1/317, Syarh Al-Mahshul 6/219– 220 )
Berkata Al-Imam Asy-Syathibi t, "Jawaban dari hal itu, bahwa permasalah ini bukanlah masalah yang menjadi bahasan disini, dikarenakan perbuatan tersebut – yakni al-bid'ah – adalah perbuatan yang menyimpang dari yang dikehendaki syara'. Sedangkan amalan yang dilakukan oleh para ulama as-salaf dan yang menjadi kesepakatan ulama, tidaklah menyimpang dari ketentuan syara'. .. " – lalu beliau memisalkan amalan salaf seperti pengumpulan Al-Qur`an dalam bentuk mushhaf, -
Beliau kemudian mengatakan, "… Olehnya itulah penyatuan Al-Qur`an dalam bentuk mushhaf adalah suatu yang wajib, dan pendapat yang sangat tepat pada satu keadaan yang tidak dijumpai pada zaman sebelumnya, dan bukanlah ini sebagai suatu penyimpangan, jika ini dianggap sebagai suatu penyimpangan maka setiap hal yang tidak dijumpai dizaman sebelumnya akan dianggap sebagai suatu bid'ah, dan ini anggapan yang batil menurut ijma'. Akan tetapi amalan tersebut termasuk dalam kategori ijtihad yang selaras dengan kaidah-kaidah syariat, walaupun tidak diprediksikan dengan dalil tertentu, yang dinamakan oleh kalangan ulama sebagai al-mashalih al-mursalah, dan setiap amalan as-salaf ash-shalih termasuk dalam bagian ini, dan tidak akan menyimpang dari tinjauan ini dan bukannya sebagai suatu yang menyelisihi tujuan syara' … dimana Nabi bersabda,
مَا رآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
"Segala yang dipandang kaum muslimin sebagai suatu kebaikan maka sesuatu itu adalah kebaikan disisi Allah."
Dan sabda beliau,
وَلاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
"Tidak akan bersepakat ummatku diatas kesesatan."
Maka jelaslah bahwa yang semisal ini merupakan hal yang telah disepakati dan sesuai dengan tujuan syariat. dan didalam kaidah ini tidak tercakup adanya perbuatan atau penolakan yang menyimpang dari syariat. Sedangkan bid'ah yang tercela, yakni yang menyelisihi ketentuan syariat baik itu berupa amalan ataukah suatu penolakan, dan insya Allah akan dijelaskan dikemudian …"
( Lihat Al-Muwafaqaat 2 / 341 – 342 )